¤~¤
Sepulang kuliah sore itu, aku memilih berjalan-jalan di sekitar kampus. Belum mau pulang. Tapi entah kenapa pikiranku berkelana kemana-mana. Ranti sedang ada kegiatan lain katanya. Yah, dia memang aktif anaknya. Tidak sepertiku.
Saat itu aku melihat gerobak tukang siomay di tepian jalann. Kebetulan sekali aku sedang lapar. Lantas aku memercepat laju langkahku menuju tukang siomay tersebut.
"Pak, pesan siomaynya dong!"
"Pak pesan siomaynya dong!"
Aku terkejut. Sebab, baru saja aku mengucapkan itu bersamaan dengan seorang pemuda. Begitu menoleh, dia juga sama terkejutnya denganku.
"Wah, bisa barengan gini ya, teh," ujar pemuda itu santun dengan logat sundanya sambil tersenyum ramah.
Melihat keramahan yang ditujukan si pemuda, aku ikut melebarkan bibirku. "Iya, mas. Lucu juga ya," balasku.
"Jodoh kali mas sama mbaknya," timpal bapak penjual siomay yang hanya kami balas tawa. "Jadi siapa dulu nih?"
"Ladies first aja deh, Pak," jawab si pemuda lalu ia mulai bermain ponsel. Meski tidak enak hati, tapi aku menerimanya. Pemuda itu baik sekali.
Aku memilih duduk di bangku panjang terbuat dari kayu di dekat penjual. Tiba-tiba, seseorang menepuk bahuku. Reflek aku menoleh. Pemuda yang tadi. "Iya, mas?"
"Teh, daripada sendirian di sini, gabung aja sama saya dan temen saya yuk," ucapnya dengan ramah.
"Eh, nggak usah, mas. Nggak apa-apa kok," tolakku sehalus mungkin.
"Ya sudah kalau begitu tunggu di sini ya, saya panggilkan teman saya dulu."
Pemuda itu kemudian melesat entah kemana. Aku kembali menikmati siomay dalam piring di genggamanku. Namun tak berapa lama, aku kembali melihat si pemuda.
Tapi tatapanku justru tertuju pada sosok pemuda di belakangnya. Hah? Dia lagi?!
Sial! Kini mereka duduk di sampingku sambil sama-sama menikmati siomay. Dan aku terjebak di sini. Pemuda ramah itu menoleh lalu tersenyum ke arahku dengan sungkan.
"Kamu kuliah di sini juga ya?" tanyanya.
"Iya, mas," jawabku seadanya.
"Semester berapa?"
"Dua, mas."
Pemuda berambut ala Kevin Aprilio itu terus mengajakku berbicara. Dan diam-diam aku justru mencuri pandang ke arah pemuda di sampingnya yang duduk manis saja. Namun sesekali aku lihat dia tersenyum-senyum sambil menatap ponselnya lalu menatapku bergantian. Tumben pemuda itu diam saja.
"Bentar nih, dari tadi ngobrol tapi belum tahu nama. Kenalin deh, nama saya Arman. Kalau yang di samping saya, ini Hasan. Kamu siapa namanya?"
"Vita," jawabku sungkan. Jadi, cowok misterius itu namanya Hasan?
Tanpa sadar, siomay di piringku sudah habis. Aku meminta izin kepada Arman untuk membayar duluan. Rasanya ingin segera pergi dari situasi ini. Situasi yang membuatku tak nyaman. Terlebih ada pemuda bernama Hasan itu.
Tapi baru saja selesai membayar, tiba-tiba ada tetesan air mengenai tubuhku. Aku menyaksikan orang-orang kocar-kacir. Ternyata aku baru sadar hujan sudah turun. Bergegas aku berlari untuk mencari tempat teduhan saat tetes itu semakin besar dan cepat.
Di tengah berlari, aku merasakan kehadiran seseorang di dekatku. Bau maskulin seketika menusuk hidungku. Dan anehnya, seharusnya tetesan hujan itu mengenai kepala dan wajahku, tapi kenapa tidak?
Kuputuskan untuk menoleh. Detik itu aku melotot. Pemuda misterius itu kini berlari menyandingiku dengan kedua tangan di atas menyangga jaket yang menutupi kepalaku dan kepalanya. Seolah menjadikannya payung untuk menahan hujan.
"Semoga ini bisa membantu," ucapnya di sela-sela ketertegunanku dengan sikapnya.
Mau tak mau aku meloloskan senyum kecil. "Makasih."
Hari itu, pertama kalinya kurasakan dadaku menghangat karena diperlakukan seperti ini. Oleh pemuda yang awalnya aku hindari. Oleh pemuda yang mengingatkan aku pada seseorang.
Dia, Hasan.
*****I/20-11-18

KAMU SEDANG MEMBACA
Hijrah Bersamamu
Spiritual#Buku2 Setelah dirimu pergi, kehidupan yang kujalani terasa hampa. Sampai akhirnya dia hadir. Dengan segala kesederhanaannya, dia mampu meluluhkan dan mengisi sudut hatiku yang beku. Lalu, hidayah itu datang dan mengetuk pintu hati yang telah lama...