¤~¤
Aku bergegas turun dari ojek karena takut terlambat. Hari ini aku lupa ternyata ada jadwal kuliah. Mana ada quiz lagi. Ini bukan sepenuhnya salahku. Salahkan kantuk yang selalu datang tanpa bisa dicegah. "Ini ongkosnya, Bang. Makasih ya. Kembaliannya ambil aja deh," ucapku setelah menyodorkan selembar uang dua puluh ribu kepada si tukang ojek.
"Neng!" Baru saja tiga langkah, abang ojek memanggilku. Aku mendecak kesal. Dia tidak tahu apa kalau aku sedang buru-buru.
"Apalagi sih, Bang? Kan saya udah bilang kembaliannya ambil aja," kesalku.
"Wong edan, Neng nih. Kembalian dari mana. Yang ada saya rugi. Ini ongkosnya kurang, Neng."
Aku sukses melotot. "Eh, Bang. Kerja itu harus konsisten dong. Biasanya juga lima belas ribu. Udah syukur saya kasih bonus goceng tuh. Gimana sih?" aku mendumel pada si tukang ojek tidak tahu diuntung itu sambil berkacak pinggang.
"Lah kok malah Eneng yang marah ke saya. Tarif saya emang segitu, Neng," kilah si tukang ojek tetap kekeuh.
"Bang, saya tuh lagi buru-buru. Ini tuh penting buat saya. Antara hidup dan mati. Jangan cari gara-gara deh."
"Neng, siapa yang cari gara-gara? Orang saya cari rezeki."
Aku mendengkus sebal. Kesal sebab si tukang ojek tidak mau mengalah. Mataku melirik arloji di tangan. Detik itu pula aku terlonjak kaget. "Anjrit!"
"Jangan kabur dulu, Neng. Bayar lima ribu lagi aja susah banget," celetuk si tukang ojek yang bikin aku pengin nelan orang.
Baru saja aku hendak menyemprotnya, satu lengan kekar lebih dulu terjulur dan sukses membuatku cengo.
"Ini, Bang. Lima ribu lagi kan?" tutur si pemilik tangan tersebut yang kini menyodorkan uang berwarna cokelat. Aku mendongakkan kepala. Kaget.
"Wah makasih, Mas. Daritadi kek. Mas, kasih tahu pacarnya tuh. Jangan pelit-pelit. Saya permisi dulu, Mas. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh," jawab sosok itu.
Setelah tukang ojek itu pergi. Kini tersisa aku dan pemuda di sampingku. "Kak Ilham, ngapain sih dibayarin segala?" ketusku pada pemuda yang kupanggil Kak Ilham itu.
Sekadar catatan. Siapa yang tidak mengenal seorang Ilham Armana? Iya. Layaknya bapak negara. Hampir semua orang di kampus akan langsung mengenal Kak Ilham yang tersohor dengan ciri-ciri berikut:
1.Ganteng ; dengan sepasang alis tebal, hidung mancung, rahang tegas. Pakai kacamata minus. Sekali senyum, jangankan manusia, makhluk astral juga bakal meleleh.
2.Gagah
3.Tajir ; anak sang pemilik pesantren besar yang ada di Bogor.
4.Pintar juga smart ; terbukti ia banyak aktif di setiap kegiatan.
5.Alim bin rajin ibadah. Subhanallah!
6.Tapi... udah punya tunangan!Setidaknya itu yang aku dengar dari kasak-kusuk beberapa orang. Kasihan yang suka sama dia ya? Padahal awalnya aku juga sempat suka. Dia pernah jadi pembimbingku waktu ospek. Beruntung sekali hamba ya Allah. Lumayan buat cuci mata.
Setelah tahu siapa tunangannya. Fiks! Saat itu juga aku memilih turut mengundurkan diri. Kalau dipikir-pikir rasanya nggak mungkin jugalah lelaki sesempurna Kak Ilham melirik perempuan pecicilan sepertiku. Ini bukan dongeng. Aku menatap dari realita. Lelaki baik hanya untuk wanita yang baik pula. Seenggaknya itu kata sepupuku.
"Kalau di zaman Nabi, kita bisa melihat Rasulullah dan Bunda Khadijah. Atau Bunda Fatimah dan Sahabat Ali. Kalau di zaman sekarang, lihat saja Muzammil Hasbalah dan Sonia Ristanti. Atau yang lagi tenar baru-baru ini, teh Anisa Rahma dan bang Anandito Dwis. Mereka adalah bukti dari hadits tersebut," terangnya waktu itu. "Makanya, Mbak jangan taunya cuma SongSong couple aja."
Kalau sudah bersama sepupuku, waktu terasa bagaikan melambat. Dan hari serasa panjang. Sebab aku harus mendengar ceramahnya yang panjang kali lebar sama dengan luas. Tetapi untuk sekarang, sepertinya aku harus menyetop pembahasan ini karena akar dari materi panjang tersebut kini justru sudah berlalu meninggalkanku.
"Kak! Kak Ilham!" teriakku seraya bergegas mengejarnya. Sebodo amat dengan tatapan orang-orang. Aku belum selesai urusan dengannya. Dia main pergi gitu aja.
Sadar ada yang memanggilnya, pemuda berkacamata minus tersebut berhenti dan berbalik menghadapku. "Apa?" tanyanya santai. Sambil melipat kedua tangan di dada.
"Kakak belum jawab pertanyaanku. Dan karena itu juga aku jadi punya utang," kataku dengan sekali tarikan nafas.
"Siapa suruh tadi malah bengong?" ujarnya sembari geleng-geleng kepala. "Tadi saya hanya membantu. Dan soal utang, tidak usah dipikirkan. Kamu paham kan, Vita?" jelas Kak Ilham dengan nada seperti biasa.
Aku merengut. "Y-ya udah deh. Tapi ikhlas nggak?"
"Ikhlas." Kak Ilham meyakinkan. "Ohya, tadi saya lihat teman-teman kamu sudah masuk semua."
Nafasku keluar. "Ya memang hari ini ada quiz."
"Dan kenapa kamu masih di sini?"
"Percuma, Kak. Udah telat. Gara-gara si tukang ojek yang tadi tuh. Terus tahu sendiri kan dosen fakultasku kalau telat penyakit killer-nya minta ditonjok."
Kak Ilham tertawa kecil. "Dasar. Kamu tuh memang hobi ngeles ya?" tanyanya sambil mengajakku berjalan. Aku merelakan bolos hari ini walau sebenarnya tidak rela. Eits, itu bukan sengaja ya. Silakan jadi saksi atas kesialan yang menimpaku hari ini.
"Enak aja. Aku ngomong berdasarkan data dan fakta."
"Iya deh iya."
"Ohya, Kak Ilham lagi ngapain di sini?"
"Lagi ada kegiatan Hima, Vit."
Aku mengangguk sambil ber'oh' ria. Kita berdua sudah sampai di depan tangga. Kelas Kak Ilham berada di lantai atas.
"Saya duluan, Vit. Inget ya, jangan marah-marah lagi kayak tadi," pesan Kak Ilham sambil mengulum senyum.
"Semoga deh, Kak," cengirku. Kak Ilham geleng-geleng kepala lagi sebelum akhirnya berbalik dan menaiki undakan tangga.
Ohya, aku belum memberitahu tentang betapa beruntungnya aku. Meskipun Kak Ilham sudah punya tunangan, dan walaupun perempuan banyak menggandrunginya, aku adalah salah satu yang bisa dibilang tidak terlalu menyedihkan.
Aku juga tidak menyangka bisa dekat dan berteman dengan Kak Ilham. Orang-orang sering iri padaku karena hal itu. Termasuk temanku sendiri, Ranti.
Ini semua berawal di waktu ospek. Aku merupakan satu-satunya calon maba yang paling lola dan banyak komentar dibanding yang lainnya. Kak Ilham sering pusing karena kelakuanku. Sumpah, aku bukan sengaja hanya untuk cari-cari perhatian. Tetapi aku memang benar-benar bingung dan kurang paham waktu itu.
Karena ulahku itu, Kak Ilham dan teman-teman sampai betul-betul mengenalku. Dari situlah, aku jadi banyak konsultan padanya. Lalu tak disangka kita menjadi teman sampai sekarang. Saat itu aku ingin bilang; Maka nikmat Tuhan yang manakah yang kamu dustakan?
Omong-omong soal itu, aku jadi teringat akan nasibku sekarang. Nggak ada teman. Ketinggalan quiz. Oh, Tuhan apa salah hamba?
Akhirnya aku memilih berjalan-jalan di sekitar kampus. Sambil menunggu quiz selesai. Dan juga menunggu Ranti.
*****
I/26-09-18

KAMU SEDANG MEMBACA
Hijrah Bersamamu
Spiritüel#Buku2 Setelah dirimu pergi, kehidupan yang kujalani terasa hampa. Sampai akhirnya dia hadir. Dengan segala kesederhanaannya, dia mampu meluluhkan dan mengisi sudut hatiku yang beku. Lalu, hidayah itu datang dan mengetuk pintu hati yang telah lama...