¤~¤
Indah. Itu yang aku alami sekarang. Rasanya menyenangkan bisa berkumpul dengan banyak teman yang asik. Aku, Ranti, Adim, Arya, Bayu, Chiko, dan Herman akhirnya memutuskan untuk makan lesehan di atas rumput hijau pinggir danau.
Ya. Itu pun setelah terlalu ribet memilih restoran. Jadi, ide itu muncul begitu saja. Dan hasilnya, terasa lebih menyenangkan. Udara yang sejuk. Banyak orang juga yang sedang duduk-duduk di taman ini.
"Jadi gimana nih kehidupan Jakarta?" tanyaku membuka obrolan pada Adim. Posisi duduk kami sekarang memang berhadapan. Ranti malah asik ngobrol dengan Arya sambil makan juga tentunya. Bayu sama Chico khusyuk menikmati makanannya.
"Seperti kata orang, keras dan kejam. Gaya hidup yang materialistis. Penuh formalitas belaka. Tapi ada sisi lain yang buat gue memandang ibukota tidak terlalu buruk."
Aku mengangkat alis seolah menanyakan.
"Begitu banyak pemimpi yang tetap semangat bisa bertahan di sana sampai akhirnya mereka sukses. Dan satu lagi, gue jadi bisa sering liat Maudy Ayunda."
"Uhuk!" aku tersedak makanan. Adim cepat-cepat menyodorkan air mineral dalam botol. Aku langsung meminumnya. "Gila lo, Dim," ucapku setelahnya.
Cowok itu cengengesan. "Gue emang ngeidolain dia. Sebagai inspirasi. Maudy tuh artis yang multitalented banget. Juga passionate. Lo tahu kan? Dia tuh bukan cuma aktris biasa. Dia bisa nyanyi, bisa main film, tapi tetap tidak melupakan pendidikannya. Buktinya, dia bisa lulus di Oxford University. Dia juga seorang penulis. Dia banyak berkarya. Bukan cuma ngandalin popularitasnya."
"Lo bener. Gue juga ngeidolain dia. Maudy tuh kayak benar-benar menikmati hidupnya. Selalu menyalurkan energi positif daripada ngelakuin hal yang nggak terlalu penting."
"Kok bisa samaan ya?"
"Ck, bukan cuma kita doang kali. Orang fans Maudy seabreg."
Adim cemberut. "Terserah deh. Udah lo makan yang banyak. Biar tambah gede."
"Berisik! Ini juga gue lagi makan. Ya udah sana jangan ngajakin gue ngobrol mulu."
Cowok itu cuma terkekeh kemudian berbalik dan ikut mengobrol bersama gerombolan Arya.
Di tengah itu, netraku justru menangkap satu sosok yang berhasil membuat jantungku berdebar. Sosok itu sedang fokus memotret sekeliling. Tanpa memikirkan makanan lagi, segera aku minum air lantas beranjak dan tak lupa mengambil tasku.
Aku berlari ke arahnya. "Mas Hasan!"
Wajah itu menoleh. Membuat aku seketika menahan napas. "Kebetulan di sini. Aku mau ngembaliin jaket yang kemarin mas pinjemin ke aku."
Bukannya menjawab, sebaliknya Hasan tersenyum kemudian mulai mengarahkan kameranya padaku. Aku tidak tahu apa yang dia lakukan. Namun aku tersadar dan cepat-cepat menghalangi wajahku dengan telapak tangan. "Mas Hasan jail ih! Stop!"
Tawa kecil terdengar. Sekarang aku tahu dia sudah menurunkan kameranya dan berjalan ke arahku. "Padahal nggak perlu cepet-cepet. Disimpan dulu aja. Asal jangan dibawa tidur. Apalagi dipeluk. Dosa."
Aku mendesis. Kurogoh jaket itu dari tas lalu kusodorkan padanya. "Nih. Makasih ya."
"Sama-sama," dia menerimanya sambil tersenyum.
"Umm, mau ikut gabung?" ajakku dengan canggung.
"Ikut nggak ya? Sebenarnya agak aneh sih. Biasanya juga ngehindarin saya. Tumben sekarang ngajakin," dia menatapku kemudian melanjutkan.
Aku tak bisa mengelak. "Soal itu maaf. Jadi?"
"Boleh deh."
Entah kenapa, hatiku berbunga saat itu.
***
I/10-2-19
KAMU SEDANG MEMBACA
Hijrah Bersamamu
Spiritual#Buku2 Setelah dirimu pergi, kehidupan yang kujalani terasa hampa. Sampai akhirnya dia hadir. Dengan segala kesederhanaannya, dia mampu meluluhkan dan mengisi sudut hatiku yang beku. Lalu, hidayah itu datang dan mengetuk pintu hati yang telah lama...