¤~¤
Aroma buku ketika dibuka terendus bersamaan dengan petrichor yang baru saja lahir akibat persentuhan air hujan dengan tanah kering. Aku berada di sebuah kafe saat fenomena itu terjadi. Ah, momen yang selalu ditunggu.
Kutarik sudut bibirku. Dari jendela kaca, pandanganku menyaksikan rintik hujan di luar sana. Cukup deras. Sesekali aku menyesap kopi yang masih mengepulkan uap. Kemudian tenggelam dalam samudera kata-kata.
Namun deringan ponsel tanda panggilan masuk terpaksa menyetop kegiatanku. Aku meraihnya dari atas meja. "Iya, Ran?" tanyaku langsung. Sedang malas berbasa-basi.
"Oke. Gue juga malas basa-basi jadi langsung ke intinya aja." Aku menyeritkan bibir sesaat setelah kalimat itu terlontar. Bagaimana dia bisa tahu isi pikiranku? "Lo dimana?" lanjutnya.
"Di kafe."
"Jabluk, tega bener ninggalin gue. Mana hujan lagi. Nih fotokopian lo seabreg mau dikemanain?"
"Ya bawainlah, Ranti cantik."
"Heh? Enak bener hidup lo."
"Emang enak. Udah ah bawel. Lagian gue sebel sama si tukang fotokopi, genit."
"Alesan mulu. Tunggu gue di situ jangan kemana-mana."
"Jangan lam-" Aku mendecak sebal. Kebiasaan Ranti, orang belum selesai ngomong sudah main tutup saja. Tidak sopan!
Huh. Aku menghela nafas. Detik itu, tak sengaja pandanganku tersapu pada sosok pemuda yang baru saja masuk ke dalam ruangan kafe. Tubuhnya setengah basah. Mungkin tersiram hujan sewaktu mencari tempat teduhan.
Pemuda itu menyibak rambutnya yang basah. Jantungku merespons cepat. Aku tidak sadar di detik kapan aku mulai menahan nafas. Pemandangan itu mengingatkanku pada satu sosok. Bagaimana ia berjalan dan terlihat tidak nyaman dengan keadaannya yang terbasuh hujan persis dengan yang sering dilakukan sosok di masa laluku.
Kualihkan wajahku dengan menunduk kala sadar retina pemuda itu menangkap pandanganku. Aku bisa mendengar langkah kakinya ketika berjalan. Wangi Bvlgari langsung menusuk hidungku begitu ia lewat.
Aku menggeleng. Mencoba fokus untuk kembali melanjutkan membaca novel. Menyingkirkan desiran aneh yang sering muncul tiap kali ada yang membuatku teringat pada sosoknya.
"Permisi," suara bariton dengan aksen berat membuat aku tersentak dan spontan mendongak. Jujur, aku terkejut. "Maaf, boleh saya duduk di sini?" tanyanya seraya melirik kursi kosong di depanku. Pemuda itu membawa secangkir kopi di tangannya.
"M-memangnya tidak ada kursi lain?" Aku juga tidak tahu sejak kapan mulutku menjadi kaku seperti ini. Yang jelas aku baru sadar pertanyaan yang barusan kulontarkan terasa agak 'kurang cerdas'. Tapi ya itulah yang muncul pertama kali di otakku dan meluncur begitu saja dari mulutku. Jadi jangan salahkan aku.
Aku kira dia akan marah. Sebaliknya pemuda itu tersenyum tipis. Manis.
"Saya kira daripada duduk dan meratap sendiri, akan lebih baik jika punya teman. Ya setidaknya untuk mengobrol atau berkenalan... mungkin. Memangnya Mbak tidak sadar semua yang ada di sini tidak duduk sendirian. Lagipula, kita sama-sama orang Indonesia kan?"
Heh? Aku sukses melongo. Panjang sekali jawabannya. Sampai bawa-bawa nama negara. Kenapa tidak sekalian bawa nama benua? Sudah dipastikan dia tipe orang yang suka berkelit. Terlepas dari sindirannya yang secara halus menyebutku jomblo, memang ada apa dengan status itu? Lagipula, aku tidak ada masalah.
"Tapi tentu saja saya tidak akan memaksa," ucap pemuda itu lagi.
"Nope. Duduk saja, Mas."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hijrah Bersamamu
روحانيات#Buku2 Setelah dirimu pergi, kehidupan yang kujalani terasa hampa. Sampai akhirnya dia hadir. Dengan segala kesederhanaannya, dia mampu meluluhkan dan mengisi sudut hatiku yang beku. Lalu, hidayah itu datang dan mengetuk pintu hati yang telah lama...