6 : Bertemu Dia

177 13 7
                                    

¤~¤


Di kafe itu, mati-matian aku menahan rasa kantuk yang menyergap. Padahal sudah minum kopi, tetapi tetap saja mengantuk.
Aku berusaha membunuhnya dengan fokus menatap layar monitor di depanku. Usai maghrib itu aku memilih duduk di kafe untuk menunggu Ranti yang sedang ada kegiatan lain di kampus. Aku memang pulang lebih awal karena kegiatanku lebih dulu selesai dibanding Ranti.

Beberapa kali aku menutup mulutku karena menguap. Bahkan mataku sampai berair.

Lama-lama, aku tidak kuat membuka mata lagi dan alhasil kepalaku terjatuh di atas papan keyboard. Sampai lupa bahwa ini masih di kafe. Namun, aku sudah tak sanggup. Mungkin karena terlalu kelelahan sehingga berefek pada tubuh yang meminta haknya. Ditambah, aku memang mudah sekali mengantuk dan tertidur dimana pun. Mungkin orang menyebutnya pelor alias nempel molor. He he he.

Baru beberapa menit menutup mata, aku merasakan suara seseorang mengusikku. Suara itu terdengar bergumam. "Mbak, Mbak bangun."

Dengan terpaksa aku mengangkat kepalaku dan perlahan membuka mata yang terasa berat. Dalam hati aku bergumam. Siapa lagi yang tega gangguin tidur gue?

Aku mengucek-ucekkan mataku untuk melihat siapa orang di depanku. Sampai akhirnya, figur di depanku terlihat jelas.

Pupil mataku kontan melebar. Membuat rasa kantukku hilang dalam sekejap. "K-kamu?"

"Hei. Mbak masih ingat rupanya," respon pemuda itu seraya mentatapku lamat-lamat. "Ternyata doa saya dikabulkan ya."

"H-hah?" aku tergagap heran. Ketika kesadaranku sudah terkumpul semua, yang aku lakukan adalah membereskan barang-barangku untuk segera beranjak dari sana.

"Loh, loh, Mbak? Mau kemana?" terdengar suara pemuda itu yang aku yakin sekarang tengah keheranan. Siapa suruh tiba-tiba nongol?

"Maaf, Mas. Saya permisi dulu," ucapku lalu segera pergi dari sana. Di tengah perjalanan, aku tergoda untuk menoleh ke belakang. Pemuda itu ternyata masih memandangku dengan bingung. Aku cepat-cepat memutar kepalaku dan melesat jauh.

Ah menyebalkan!

📝

"Semalam katanya mau nungguin gue? Kok bohong?" Pagi itu Ranti dengan teganya mendampratku karena semalam aku tidak jadi menunggunya pulang. Iya sih, gara-gara si pemuda aneh itu!

Lagipula, kenapa coba tuh orang bisa ada di sana dan menemukanku? Padahal aku sudah berharap cemas supaya tidak melihatnya lagi.

"Ah kebanyakan bengong deh, Vit," lanjut Ranti memasang tampang kesal.

Aku menarik napas gusar. Kadang suka tidak tahan menghadapi sifat keponya Ranti. "Entar deh gue jelasin," jawabku pada akhirnya. Masih sibuk merogoh sesuatu di tas.

"Nyari apa sih lo dari tadi ribet banget," decak Ranti.

"Flashdisk, Ran. Gue bisa mati nih kalau nggak ada," kesalku sambil terus mengorek isi tas.

Aku yakin sekarang gadis itu sedang mengerutkan keningnya. "Apaan sih orang cuma flashdisk doang."

Kontan mataku mendelik padanya. "Lo nggak tau, ini tuh penting banget buat gue. Satu lagi, benda itu punya orang lain."

"Siapa?"

"Kak Ilham."

"APA?!"

Ya Allah.. Aku refleks menutup kedua kupingku saat Ranti menjerit. Bikin kaget saja.

"Sedeket itu lo sama Kak Ilham sampe berbagi flashdisk?" tanya Ranti tak percaya.

Bola mataku berotasi. "Emang kenapa? Orang tunangannya juga tau kali."

"Hah?" Ranti ternganga. Kenapa sih nih orang! "Vit, lo kagak punya hati apa ya?"

"Punyalah. Kalau enggak, gue udah mati," balasku sekenanya.

"Jadi Kak Ilham ngasih benda itu sama lo di depan Kak Mutia?" Ranti menatapku lekat dan terlihat serius.

"Lebih tepatnya di depan gedung kampus."

Ranti menggeram. Detik berikut dia sudah ngeloyor sambil sesekali mengumpat. "Ah, bego. Cape gue ngomongnya. Tolong aku, ya Tuhaan. Punya temen gitu-gitu banget."

Menatap punggung Ranti yang berjalan meninggalkanku, aku cuma mendengus. Lalu mulai bergerak lagi mencari flashdisk. "Ck, hilang dimana sih tuh benda?" tanyaku pada diriku sendiri.

"Nyari ini, Mbak?" aku terperanjat kaget tahu-tahu sudah ada seseorang di hadapanku dengan tangan menyodorkan sebuah benda yang tengah kucari.

Wajahku mendongak dan mataku sukses membola. Shit! Kenapa dia lagi? Dan kenapa bisa ada padanya?

"Ini, punya kamu bukan?" tanyanya lagi. Aku masih melongo.

Sepersekian detik, tanganku sudah merebut benda itu. "Kenapa bisa ada di kamu?"

"Loh, Mbak lupa? Semalam kita ketemu di kafe. Saya nggak sengaja lihat sesuatu jatuh dari tas, Mbak. Saya mau panggilin, udah ngilang."

Aku memandangnya setengah tak percaya. "Bilang aja ngikutin saya."

Sebuah derai tawa menggema. Dan ini tentu saja berasal dari orang di depanku. "Terserah, Mbak deh."

Aku kesal sendiri mendengar panggilan 'Mbak'. Memangnya dia melihat aku setua itu? Dengan berat hati aku berkata padanya. "Oke, terimakasih banyak karena sudah memberikan ini ke saya. Tapi, Mas tolong jangan panggil saya 'Mbak'. Usia saya masih sembilan belas. Permisi."

Lalu setelah mengucapkan itu, aku melengos dan pergi tanpa menoleh lagi.

Satu hal yang pasti. Penglihatanku tempo hari tidak salah. Ternyata kami memang sekampus. Duh!

*****

I/12-10-18

Hijrah BersamamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang