3 : Inilah Hidup

231 13 5
                                    

¤~¤

BRAK!

Bunyi yang cukup keras itu bukan saja mengagetkanku, tetapi dapat kurasakan efeknya di bagian punggungku. Ngilu.

Beberapa menit yang lalu, ketika aku sedang berjalan-jalan di sekitar kampus, tetiba seseorang menyeretku secara paksa dan berakhir di depan gudang. Dengan secara tidak sopannya orang tersebut mendorongku sampai aku terhuyung dan punggungku menyentuh kerasnya daun pintu.

Aku tidak sempat meringis karena terlalu shock. Kendati rasa sakit di punggung tidak bisa diabaikan.

"Sakit kan?" Aku mendengar orang di depanku berkata dengan sinis. Tidak bisa kupercaya pelaku yang tidak ada urusan denganku ini ber-gender perempuan.

"Iyalah! Pake nanya lagi!" semprotku pada gadis itu.

"Itu nggak seberapa dibanding rasa sakit gue selama ini karena lo."

Keningku sukses berkerut. Tetapi aku berusaha bersabar dan mencoba mencari tahu apa masalahnya. "Maksud lo apa?" tanyaku.

"Awalnya gue nahan diri. Tapi lama kelamaan lo nggak tahu diri. Lo nggak usah kegenitan sama Ilham. Jangan sok cantik! Lo tuh jelek!" hardik gadis itu.

Darahku mendadak naik ke ubun-ubun. "Heh? Lo tuh waras nggak sih?Gue nggak punya urusan sama lo tiba-tiba lo nyeret gue dan maki-maki gue genit sama Kak Ilham. Hellow, maksud lo apa?"

"Gue nggak suka ngeliat lo deket sama Ilham!" bentak gadis itu.

"Apa masalahnya sama gue?" aku melotot. "Kalo lo nggak suka itu kan urusan elo bukan gue!"

"Kenapa sih lo berani ngelawan gue, huh? Gue itu senior lo!"

"Emang gue peduli? Mau senior kek mau apa kek gue nggak takut. Apalagi ngadapin cewek kayak lo!"

Plaaaakk!

Bisa kurasakan perih setelah telapak tangan gadis itu menyentuh keras permukaan pipiku. Kini bukan lagi marah, tapi rasanya ingin menjerit kencang. Tetapi aku tidak boleh kalah.

"Itu, karena lo udah berani ngelawan gue. Gue peringatin satu kali lagi, jangan deket-deket sama Ilham lagi. Lo sadar dong, dia tuh udah punya tunangan yang beda jauh sama lo. Lo cuma sampah yang nggak ada artinya. Ngerti?" ketus gadis itu dengan penuh penekanan di setiap kalimat.

Aku hanya diam sambil menajamkan mata. Sampai gadis yang berani menamparku itu berbalik dan pergi menjauhiku.

Sial! Kristal bening di pelupuk mata ini tak bisa kubendung lagi. Ia menetes ke pipiku. Padahal aku sudah berusaha menguatkan diriku untuk tidak menangis.

Sampah? Aku tertawa dalam hati. Ya, mungkin aku memang hanya dianggap sebagai benda tak berguna itu.

Kuhela nafasku kasar, lantas menyeka air mataku. Lo nggak boleh lemah, Vit. Lo kudu kuat! Hidup yang sebenarnya baru dimulai.

Setelah memoleskan sedikit bedak di wajah, aku bergegas untuk kembali ke gedung kampus. Bersikap biasa dan tidak terjadi apa-apa. Lagipula, hal seperti ini sudah sering kualami.

"Viiit!" lengkingan yang muncul di belakangku itu membuat aku refleks menoleh. "Lo dari mana aja sih? Quiz nggak ikutan, gue tadi cariin kemana-mana nggak ada."

"Sori, tadi abis dari toilet. Mencret," cengirku berbohong.

Ranti mendesis jijik. "Terus kenapa nggak ikutan quiz?"

"Telat, Ran."

"Alasan. Bilang aja malas."

"Ya Allah, Ran. Gue beneran telat. Suer. Kalo nggak percaya tanyain aja sama Kak Ilham."

Hijrah BersamamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang