¤~¤
Tok! Tok! Aku mengetuk pintu kamar Rahani. Lalu, terdengar sahutan dari dalam. "Bentaar!"
Ceklek! Pintu terbuka. Menampilkan sosok Rahani yang selalu memakai jilbab kendati di rumah sekali pun. "Eeeh, Mbak Vita," sapanya. Sedetik, ia tersenyum jahil. "Pasti mau curhat. Ya kaan?"
Aku nyengir. "Tau aja kamu dek."
"Ya udah atuh masuk yuk!" ajaknya. Tanpa berkata apa-apa lagi aku mengikuti Rahani memasuki kamarnya yang rapi. Wangi bunga lily.
"Lagi ngerjain tugas dek?" tanyaku yang melihat Rahani menulis sesuatu saat aku sudah duduk di tepi ranjangnya. Sedang Rahani menulis di meja belajarnya.
"Nggak, aku lagi corat-coret aja," jawabnya. Tingkahnya seperti orang salah tingkah.
Ide usilku muncul. "Ciee nulis diary yaa. Ayo ngakuu."
"Corat-coret doang, mbaak." Kali ini Rahani beneran tersipu.
Aku mencibir. "Kalau perempuan udah nulis diary, itu tandanya dia lagi suka sama seseorang, lho."
Rahani memasang wajah terkejut. "Emang iya gitu?" tanyanya. Padahal mukanya udah merah seperti kepiting rebus.
"Udah, nggak apa-apa kalau gak mau ngaku. Setiap orang berhak menyimpan privasinya masing-masing. Setiap hal nggak harus selalu diumbar walaupun itu sama orang yang dekat sekali pun."
Aku melihat Rahani tersenyum tipis. Tiba-tiba aku teringat, apa dulu aku juga gitu ya? Memang, aku juga suka menulis diary. Buku harianku sudah tidak terhitung. Karena sejak kecil aku sudah senang menulis.
Kalau waktu masih SMA, aku rajin menulis catatan harian. Sejak memasuki dunia kuliah, semua kebiasaan itu lenyap. Entah apa sebabnya, aku seolah kehilangan bahan tulisan. Seakan-akan ada yang hilang. Tidak juga sih, kadang masih suka nulis puisi. Namun tidak sesering dulu.
"Mbak," sahutan Rahani menyentak lamunanku. "Kenapa?"
"Gak apa-apa, Ra."
"Ohya, katanya mau curhat?" tanya Rahani penasaran. Kini gadis bertubuh mungil itu memfokuskan matanya padaku.
Aku menghela napas panjang. Ini mungkin akan sedikit sulit. Tapi aku berharap Rahani bisa membantuku. Setidaknya aku mencoba. "Ra, mbak mau jujur. Waktu SMA, mbak suka sama seseorang. Tapi, orang itu cuma anggap mbak sebatas teman. Anehnya mbak tetap suka. Dan kamu tahu, bahkan sampai hari ini, mbak masih sering ingat dia. Mbak rindu dia. Mbak udah berusaha ngelupain dia dengan berbagai cara, tetap saja gagal. Menurut kamu mbak harus gimana?"
Rahani terdiam dengan telapak tangan menutupi mulutnya. Seperti orang yang kaget. "Ya Allah, mbak, aku nggak nyangka ternyata mbak bisa suka sama seseorang selama itu. Aku salut deh. Serius."
Melihat tingkah Rahani, aku hanya bisa tersenyum. Ya. Aku sendiri kadang tidak percaya. Namun ini memang benar terjadi. Tidak bisa kuelak lagi. "Makanya, Ra. Mbak bingung."
"Alasan mbak suka sama dia apa?"
Aku refleks menggeleng. "Nggak tahu. Mbak cuma kagum sama dia. Mbak sayang sama dia dan ingin ada di sampingnya kalau bisa. Mbak sedih kalau lihat dia sedih."
"Hmm, harusnya mbak bertanya sama yang lebih tahu. Kayak Ibu atau Nenek. Aku kan belum ngerti, belum pernah merasakan yang seperti itu."
Aku menatap Rahani kecewa. "Gitu ya, Ra?"
Gadis itu mengangguk mantap. Lalu mendekatiku dan duduk di sampingku. Kini ia meraih tanganku dan menggenggamnya lembut. "Tapi kalau aku boleh kasih saran, kalau sekiranya perasaan itu bikin sakit, lebih baik pelan-pelan dilepaskan. Kecuali, kalau perasaan itu membuat mbak merasa lebih dekat sama Sang Maha Cinta karena mbak selalu melibatkan Dia, menurut aku tidak ada salahnya diperjuangkan. Siapa tahu dia dan mbak ditakdirkan untuk bersama."
Aku speechless mendengar penuturan sepupuku itu. Bagaimana aku bisa selalu melibatkan Dia, bahkan sekedar sholat pun aku masih sering bolos.
*****I/14-10-18
KAMU SEDANG MEMBACA
Hijrah Bersamamu
Spirituelles#Buku2 Setelah dirimu pergi, kehidupan yang kujalani terasa hampa. Sampai akhirnya dia hadir. Dengan segala kesederhanaannya, dia mampu meluluhkan dan mengisi sudut hatiku yang beku. Lalu, hidayah itu datang dan mengetuk pintu hati yang telah lama...