4 : Sepercik Rindu

215 19 7
                                    

¤~¤

"Ran, gue kepingin jalan-jalan deh, kemana gitu," cicitku mengutarakan keinginanku pada Ranti. Tidak tahu mengapa, baru saja perjalanan panjang ini dimulai aku sudah membutuhkan waktu untuk refreshing. Bukan saja karena tugas-tugas kampus dan jadwal yang seenak Super Keju, tetapi jiwaku rasanya penuh dengan tekanan di sana-sini.

Ranti berhenti memainkan ponselnya demi menolehku. "Tumben banget. Lo ngidam ya?"

Seharusnya aku tidak segan lagi untuk mendamprat Ranti, namun hari itu aku sedang malas sekali marah-marah. Jadi yang aku lakukan hanya melengkungkan bibirku dan menatap haru pada Ranti. Cewek itu terdiam keheranan.

"Iya, gue ngidam ketenangan," jawabku pada akhirnya.

"Bukannya selama ini lo tenang-tenang aja ya?"

Menghela nafas gusar, aku memilih menyedot jus stroberiku yang tinggal setengah. Tenang dari mananya! Tiap hari gue mesti tahan ngadapin haters yang masalah awalnya cuma gara-gara gue deket sama Kak Ilham-- Padahal kalau dipikir-pikir tunangannya adem ayem aja. Atau gara-gara dosen fakultas suka muji-muji karena tugas Bahasa dan Sastra gue selalu bagus. Aelah! Hidup berat banget yee, batinku ngedumel.

"Heh, jawab!" decak Ranti mengejutkanku. "Lo lagi ngayal ya?" Kini ia menatapu curiga.

Aku mendesah. "Iya, gue ngayal seandainya ada seorang pangeran datang ke gue dan membuat hidup gue lebih berwarna. Kapan ya?" kataku seraya menopang dagu dengan kedua tangan. Sebenarnya aku sedang menghindari perasaanku yang sebenarnya dari Ranti.

Selama ini, meskipun Ranti adalah satu dari sekian banyak mahasiswi yang mau jadi temanku, namun aku tidak pernah memberitahu perihal masalahku. Bukan karena tidak percaya, atau sok bisa ngatasin masalah sendiri. Alasannya lebih kepada, aku tidak mau orang tahu betapa kerasnya hidup yang kujalani. Cukup Tuhan dan diriku saja yang mengerti.

Itulah alasan mengapa Ranti selalu menyebutku tenang-tenang saja, karena dia hanya tahu luarnya. Tapi tidak di dalamnya.

"Udahlah," gumam Ranti sambil menaruh ponselnya ke dalam tas. Sekarang, gadis berambut cokelat itu menatapku lekat. "Ngayal nggak akan bikin keinginan kita jadi nyata. Lebih baik persiapin diri buat hal-hal yang akan lo hadapi nanti. Lagian, suatu hari nanti pangeran lo akan dateng kok. Pasti."

Aku terenyuh mendengar penuturan Ranti. "Njir, kata-kata lo bikin gue mau nangis, Ran."

"Lebay ah. Udah yuk, balik kampus. Sebelum telat. Sepuluh menit lagi nih." Ranti menyedot es kelapanya sekilas kemudian berdiri dari kursinya.

Sesaat aku sebal karena ulahnya. Padahal, kata-katanya tadi benar-benar seperti asupan energi untukku. Meski pada akhirnya, aku tetap melangkahkan kaki untuk menyusulnya. "Ran, tungguin gue!"

📝

Sewaktu berjalan di kampus, aku merasa sedikit kebingungan sekaligus jantung deg-degan. Okelah, kampus IPB memang luas. Tidak mustahil, ribuan orang menempuh pendidikan di sini. Namun, apa kebetulan dan takdir memang berjalan tipis?

Saat ini, aku hanya berharap penglihatanku beberapa menit lalu memang salah. Meskipun rasanya terlihat sangat jelas.

Iya. Jelas-jelas tadi pandanganku menangkap sosok yang tempo lalu sempat mengingatkanku pada seseorang di masa lalu. Sosok pemuda yang kutemui di kafe. Sosok pemuda yang tak ingin kutemui. Setidaknya, selama aku masih bertahan dalam perasaan gamang ini.

Hijrah BersamamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang