Ibu

570 23 5
                                    

Manis pahitnya rasa kopi... Sebenarnya tergantung waktu kita meminumnya. Apakah keadaan hati kita sedang manis? Atau pahit? Seenak apapun kopi yang kau minum, sebaik apapun kualitas kopi yang kau teguk, tetap akan terasa buruk jika hatimu sedang kacau.

Sambil tetap meminum kopi, aku membolak-balik halaman koran hari ini. Iklan baris lowongan pekerjaan menjadi sasaran utamaku setiap kali mendapat koran edisi terbaru. Ibu menggeleng-gelengkan kepalanya setiap kali melihatku asyik bersantai di pagi hari tanpa beranjak sedikitpun sampai kopiku habis. Dan saat kopiku habis, aku menyeduh kopi yang baru.

"Nak, kapan kamu mau bekerja? Kasihan bapak, dia sudah tua." Ibu tiba-tiba datang dari belakangku.

"Sabar dong bu, Rian juga lagi cari kerjaan yang cocok ini!" Jawabku kesal dengan nada agak menyentak.

Ibu kembali masuk, membanting pintu dengan keras. Brak! Dia sakit hati mendengar ucapanku. Aku sedikit menyesal dengan apa yang kukatakan tadi. Tapi, aku lebih kesal pada ibu.

Aku hanya tamatan SMA yang bahkan tidak ternama. Ibu yang memasukanku. Dulu nilai ujian nasional SMP-ku terbilang tinggi. Bahkan cukup untuk masuk ke SMA terbaik di kotaku. Apalagi saat itu ada tawaran beasiswa miskin yang bisa saja aku ambil. Tapi ibu melarang. Dan aku hanya bisa menuruti ibu saat itu.

Sekarang, aku menerima imbasnya. Hampir semua alumni SMA-ku menjadi pengangguran. Hanya sedikit yang kuliah, itupun sulit sekali atau hanya masuk di jurusan yang kurang peminat saja.

Deritaku tidak hanya sampai disitu. Ijazah yang kugunakan melamar pekerjaan bukan hanya ditolak, lebih parah lagi, tidak diakui!

Terpaksa aku selalu mencari pekerjaan yang menerima ijazah SMP. Tapi pekerjaan apa yang gajinya besar dari sekadar tamatan SMP? Ah aku berkhayal terlalu tinggi sepertinya. Tidak mungkin ijazah SMP selalu kuandalkan.

Di halaman kedua iklan baris lowongan pekerjaan, aku menemukan peluang yang bisa kuisi. Sebuah perusahaan swasta mencari office boy untuk ditempatkan di Jakarta. Gajinya lumayan, 2,8 juta plus uang makan perhari lima belas ribu.

Dengan kegirangan aku berlari masuk ke kamar. Berantakan. Kubuka lemari tempat berkas-berkas penting biasa kusimpan. Mengambil ijazah dan semacamnya yang diminta sebagai persyaratan. Setelah siap, kukemas dalam amplop cokelat.

Siap!

🌀

Jam tujuh pagi.

Aku sudah siap, rapi dengan kemeja biru muda berlengan panjang dan celana formal hitam. Ibu menatapku heran.

"Mau kemana kamu Yan?" Tanya ibu seraya menghampiriku.

"Rian mau ngelamar kerja bu. Ada lowongan jadi office boy." Jawabku sumeringah.

"Tempat kerjanya dimana nanti?"

"Di Jakarta bu. Rian mau belajar merantau."

"Kamu yakin? Kamu ada kenalan memangnya?" Ibu bertanya khawatir.

"Yakin bu. Untuk kali ini tolong jangan halangi Rian bu. Rian gak mau terus-terusan diatur sama ibu. Rian punya hak buat nentuin pilihan Rian sendiri."

Ibu terdiam menatap mataku. Kukeluarkan segala kekesalanku pada ibu. Aku tidak membencinya, hanya saja aku merasa kesal karena sejak kecil ibu tidak pernah mendengarkan keinginanku. Dia selalu memaksakan kehendaknya, mengenhampingkan apa yang kumau.

Sepotong Kisah KehidupanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang