Sunyi senyap masih menyelimuti desaku. Asap mengepul di mana-mana. Bahkan kobaran api pun masih terus membakar beberapa rumah di hadapanku. Menyeramkan suasana yang saat ini kulihat. Dihadapanku.
Sepertinya hanya aku yang tersisa. Semuanya sudah pergi lebih dulu, mengungsi ke tempat yang lebih aman. Menjauh dari daerah konflik yang tengah panas-panasnya. Dan hari ini, adalah puncak dari konflik dua kubu desa yang berseteru. Desaku kalah total. Mereka membakar semuanya.
Aku masih terus berjalan mencari seseorang yang mungkin aku kenal. Meninggalkan lubang bawah tanah dengan kedalaman dua meter dan lebar satu meter tempatku menghindari konflik. Aku tidak suka melihat pertumpahan darah di permukaan.
Satu dua mayat kulewati. Tak jarang aku harus melangkahinya untuk bisa terus melangkah maju. Dan yang paling parah, paling kubenci adalah ketika tidak sengaja menginjaknya. Itu menjijikan, juga menakutkan. Kakiku berlumuran darah yang bukan darahku. Masih terasa hangat di kulit.
Bruk!
Sebuah rumah di depanku runtuh. Kobaran api melalapnya ganas. Meninggalkan debu bercampur asap hitam yang membuatku kaget setengah mati. Hanya berjarak sekitar tiga meter dari tempatku berdiri. Untung saja aku berjalan dengan hati-hati.
Terlihat kerumunan orang-orang berbaju hitam dari kejauhan.
Itu warga desaku!
Aku segera berlari menuju kerumunan. Tinggal aku sendiri yang masih berada di area konflik. Terlihat beberapa kawanku di sana. Syukurlah kalau mereka selamat.
Tunggu!
Mereka, semua kawanku, diikat di pohon. Langkahku terhenti menyadari kejanggalan ini. Mungkinkah mereka menjebakku? Atau mereka mengkhianati desa?
Selangkah dua langkah, aku mulai mundur. Mereka masih belum menyadari kehadiranku. Asap tebal yang dihasilkan kobaran api masih menutupiku samar. Aku berbalik, lari secepat mungkin.
"Hei kau! Jangan lari!" Seru seorang berbaju hitam di kerumunan tadi.
Beberapa pria mengejarku sekarang.
Sebuah lubang tanah di depanku terbuka lebar. Aku tahu, ini jalur bawah tanah yang dulu dibuat warga desa untuk keperluan darurat. Tanpa pikir panjang, aku masuk ke dalam. Kalau pun mereka masuk mengikutiku, aku tidak punya pilihan lain selain membunuhnya. Keuntungan buatku jika mereka masuk, aku lebih tahu seluk beluk jalur ini.
Lubang ini bercabang sekarang, ke kiri itu buntu. Banyak jebakannya. Jalur kanan akan membawaku ke ruangan besar tempat warga desa biasa mengungsi.
Hey! Mungkin semuanya ada di sini!
Aku terus merangkak sejauh seratus meter. Ruangan besar ternyata sudah terisi beberapa warga desa yang selamat. Mereka menyambutku penuh syukur.
"Syukurlah kau selamat Asti. Aku mencarimu sejak tadi. Kukira kau ikut mengungsi." Peluk Tita, sahabat dekatku.
Aku tidak bisa berkata-kata lagi. Tangisku menyeruak. Dia satu-satunya kawanku yang tahu bagaimana keadaanku.
Semenjak ibu dan bapak ikut penyerangan ke desa sebelah, mereka tidak pernah kembali lagi. Orang-orang desa bilang, mereka gugur di sana, jenazahnya tidak sempat dibawa pulang. Kedua orangtuaku memang orang yang pemberani. Selalu ada di barisan terdepan saat konflik.
Tapi... Mereka sudah berkhir.
Melihat warga desa tersedu-sedu menangisi keluarganya yang gugur di area konflik, membuat amarahku memuncak.
Aku punya rencana.
🌀
Datuk Abdi, sesepuh desa, menyetujui rencanaku. Dia menarik semua prajurit yang masih berada di area konflik. Kami mulai melaksanakan rencana tahap demi tahap.
Para penggali dari desaku terkenal tangguh. Mereka bisa menggali sampai seminggu penuh tanpa istirahat. Aku memanfaatkan kebolehan mereka untuk terus menggali terowongan sampai ke desa sebelah. Jaraknya lumayan jauh dari tempat pengungsian kami. Setelah yakin berada tepat di bawah pedesaan mereka, kami membuat gorong-gorong besar.
Desa sebelah terkenal dengan prajurit gajahnya. Dengan menunggung gajah, aku yakin, mereka akan terperosok masuk ke dalam gorong-gorong.
Setelah membuat gorong-gorong, kami meneruskan membuat terowongan kecil lagi untuk tempat kami keluar. Penyerbuan dari depan belakang akan memudahkan rencana gorong-gorong.
Dua minggu berlalu. Para penggali sukses membuat terowongan dan gorong-gorong
Sebagian dari kami memancing mereka ke permukaan yang dibawahnya sudah dilubangi dengan gorong-gorong. Hanya sekitar lima puluhan saja yang menjadi pasukan pemancing. Yang lainnya bersiap di terowongan kecil untuk mengeksekusi mereka. Wanita dan anak-anak diamankan di gua tempat aku datang pertama kali ke sini, termasuk aku.
Riuh diluar mulai terdengar. Aku bisa merasakan getaran yang sangat kuat. Sepertinya pasukan pemancing berhasil. Aku tinggal menunggu suara...
Braaak!!!
Ya, itu suara kemenangan bagi desa kami.
Tak lama kemudian, suara teriakan gajah dan orang-orang yang terperosok mulai terdengar. Menyusul suara runtuhnya tanah mereka. Kami yang mengungsi saling berpelukan. Semuanya menangis haru. Selama ini desaku selalu kalah dalam pertempuran. Aku yakin mereka akan lebih berpikir panjang untuk menggempur kami di kemudian hari.
Datuk Abdi mengelus kepalaku. Dia sangat ramah dan lembut.
"Sudah dipastikan! Dengan runtuhnya tanah mereka, kitalah yang menang hari ini!" Datuk Abdi mulai berpidato. Semuanya bersorak kegirangan.
"Kita patut bersyukur kepada Tuhan karena telah menurunkan seorang anak remaja dengan ide cemerlangnya." Semuanya menoleh ke arahku, antusias.
Para pasukan yang bertugas mengeksekusi musuh kembali tanpa kurang seorang pun. Musuh yang masih hidup diikat kuat, diseret paksa menghadap Datuk Abdi. Semuanya menoleh ke arah mereka, pandangannya amat kasar dan tajam.
"Aku tidak akan membunuh kalian semua," ucap Datuk Abdi. "Hanya saja, aku minta mulai dari sekarang jangan ada lagi peperangan!"
Semuanya terpaku mendengar kata-kata Datuk Abdi. Termasuk aku. Bagaimana mungkin kami bisa berdamai, sedangkan korban berjatuhan dari desa kami sangatlah banyak. Tidk terhitung berapa nyawa yang harus menjadi korban demi perdamaian ini.
Beberapa dari kami menolak putusan Datuk Abdi. Aku juga. Aku tidak rela pengorbanan ibu dan ayahku sia-sia.
"Pengorbanan sanak saudara kalian tidaklah sia-sia. Tidak ada yang menumpahkan darah tanpa cita-cita. Semua yang telah gugur merindukan perdamaian ini. Percayalah. Hanya dengan memaafkan semua rantai kebencian ini akan musnah."
Kami tertegun mendengar ucapan Datuk Abdi yang sangat mengena di hatiku. Benar, hanya dengan memaafkan rantai kebencian ini akan selesai. Jika kami membalas dendam pada tawanan ini, bisa jadi saudara mereka akan terus melancarkan balas dendam. Dan kedamaian yang kami cita-citakan tidak akan pernah terwujud.
Semua tawanan dilepaskan. Datuk Abdi menulis surat untuk tetua desa sebelah, lantas menitipkannya pada tawanan yang kami bebaskan.
Dengan nama Allah Yang Maha Esa.
Kulayangkan surat ini agar kalian berlapang dada.
Tidak ada lagi gunanya kita berseteru sepanjang zaman.
Bukankah kita merindukan kedamaian?
Maka, aku dengan surat ini mengajak agar kita sama-sama melupakan sejarah kelam yang pernah dibuat oleh leluhur kita. Kuharap kalian mengerti dan mau memahami apa isi suratku.Datuk Abdi.
🌀🌀🌀
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepotong Kisah Kehidupan
Short Story#1 Sehari Kumpulan cerpen yang semoga menginspirasi. walaupun bukan kisah nyata semuanya, semoga bisa bermanfaat bagi para pembacanya. 😊