Dia dan Kisahku

528 23 7
                                    

Seiring berjalannya waktu. Aku merindukannya. Seseorang yang tak pernah kuingat wajahnya. Seseorang yang seharusnya menyayangiku. Dan aku tahu itu.

Ini terjadi ketika usiaku tiga tahun.

Hal yang seharusnya tifak pernah kuingat. Namun, foto ini. Foto yang sedang kugenggam selalu membuatku mengenang semua itu. Kebahagiaan seorang gadis kecil yang direnggut sang maha pencipta.

Aku sudah tak setegar dulu.

Aku selalu mendengarkan cerita dari tanteku akhir-akhir ini. Menceritakan semua tentang masalah yang terjadi di masa lalu. Masalah pada keluargaku.

Ibuku, namanya Siti Aminah. Dan ayahku Salim Amir. Kata tanteku mereka pasangan yang manis. Ibuku memang cantik. Ayahku juga tampan. Aku pernah melihat foto pernikahan mereka.

Setiap hari minggu, kata tanteku juga, kami bertiga selalu pergi jalan-jalan. Ke tempat-tempat baru. Mereka sepertinya berpacaran setelah nikah. Hihihi romantis ya.

Di perjalanan, kata tanteku. Aku banyak maunya. Mengganggu mereka yang ingin berduaan. Aku juga rewel. Manja. Tapi ku lucu, dan mereka tak bisa menolak kelucuanku.

Setiap hari, mereka pergi bekerja. Kami masih tinggal di rumah nenekku dari ibu. Aku dititipkan pada nenek. Ketika dititipkan, kata tanteku, aku selalu kabur. Mencari ibu. Menyebrangi jalan sendirian. Berlari-lari. Entah apa yang ku pikirkan ketika itu. Hihihi.

Membuat orang-orang cemas sudah biasa kulakukan. Katanya pula aku agak tomboy. Kerewelanku semakin berkurang. Aku menjadi anak yang tangguh.

Hingga suatu hari. Di usiaku yang baru menginjak tiga tahun, nenekku meninggal dunia.

Ibu sangat sedih. Begitu juga dengan semua saudaranya. Air mata dimana-mana. Aku tak tahu apa yang harus ku lakukan. Masa kecil ini sungguh sangat indah. Tak ada yang perlu ditangisi.

...

Satu bulan terakhir ayah dan ibuku pisah rumah. Itu terjadi sebelum nenek meninggal. Mertua ibuku egois. Dia memaksa ayah untuk tinggal disana meninggalkan kami. Ya, tanpa membawa kami.

Di bulan kedua, ayah masih belum pulang. Ini bersamaan dengan meninggalnya nenek. Yang membuat ibu sangat sedih. Aku mulai membenci ayah dan ibunya ketika mendengar cerita itu dari tanteku.

Ibuku jatuh sakit. Dia menghabiskan banyak waktunya di rumah sakit. Rumah sakit Hasan Sadikin Bandung. Dengan diagnosa terkena magh kronis.

Satu bulan. Bulan ketiga. Ibu tak kunjung sembuh. Ayah masih belum pulang walau hanya untuk menjenguk ibu atau melepas rindu denganku. Aku semakin membencinya.

Ibu pulang ke rumah setelah dua minggu di rawat di rumah sakit. Namun bukan ke rumah kami. Dia dibawa ke rumah adik ibunya. Seorang guru SD.

Disana ibu dirawat sangat baik. Keadaannya sempat membuat kami berharap banyak. Membaik. Semakin membaik.

Aku dirawat oleh anak dari adik nenekku yang kedua. Bukan yang guru SD.

Kami menghabiskan banyak waktu bersama. Bermain apa saja yang aku inginkan. Dan makan apa saja yang ku suka. Tapi dia sangat ketat tentang kesehatanku. Dia menyayangiku. Tak henti-hentinya memelukku.

Dia sudah seperti ayah bagiku. Semua yang kumau selalu dia berikan. Aku mulai bisa melupakan sosok ayah setiap kali bersamanya.

Sampai sekarang aku selalu ingat ucapannya ketika memanggilku.

"Puut, sini!"

Ucapannya selalu terngiang ditelingaku. Setelah memanggilku, biasanya dia menggendongku. Membawaku berlari-lari. Dan aku tertawa. Kata tanteku, dia amat menyayangiku.

Seminggu ibu dirawat di rumah -sebut saja kakekku- kakekku. Kondisinya kembali memburuk. Badannya berubah kurus kering.  Tak berdaging. Ayahku masih belum muncul menjenguknya. Aku semakin membencinya mendengar cerita ini.

Ibu kembali dilarikan ke rumah sakit. Kali ini ke rumah sakit Al Ihsan. Semua histeris melihat kondisi ibu yang sudah sangat melemah. Aku masih tertawa gelak melihat video lucu diponselnya.  Walaupun aku lihat dia juga menangis.

Seminggu dirawat di rumah sakit Al Ihsan. Ayahku muncul. Kami semua sangat membencinya. Kata tanteku. Tapi ibu masih menyayanginya. Jadi kami menyembunyikan rasa kesal kami pada ayah. Kata tanteku juga.

Ketika ayah datang, ibu sempat membaik. Namun, ayah tak bisa berlama-lama. Dia kembali pergi meninggalkan ibu. Aku lagi-lagi geram mendengar kisah tentang ayah. Ayah sangat kekanak-kanakan kata tanteku.

Ibu divonis menderita TBC paru-paru. Ternyata diagnosa sebelumnya belum lengkap. Selain magh, ternyata masih ada penyakit lain yang sangat mematikan di tubuh ibu. Aku menangis mendengar kisah ini.

Dua minggu dirawat, akhirnya ibu menghembuskan nafas terakhirnya. Beberapa suster membimbingnya untuk mengucapkan asma ALLAH. Mengagungkannya sebelum meninggalkan dunia yang fana ini.

Ketika itu aku masih tidur. Dia menjagaku di rumahnya. Walaupun menangis. Dan sebenarnya aku tahu itu.

...

Jenazah ibu sudah sampai di rumah. Selesai dimandikan. Juga sudah dikafani.  Dia membawaku melihat ibu langsung. Aku sempat bertanya siapa orang yang dibungkus kain kafan didepanku. Dia menjawab, itu adalah ibumu. Aku hanya memandanginya. Bertanya-tanya lucu. Tak ada sedih sedikitpun. Kata tanteku.

Andai saja aku sudah bisa mengerti tentang arti menyayangi, mungkin aku akan memeluk jenazah ibu saat itu. Tak akan melepaskannya.

Ayah datang hari itu. Dia terlihat menjauh dari posisi ibu dibaringkan. Malah semua ynag hadir menyangka bahwa dia adalah ayahku. Dan aku berharap begitu.

Kata tanteku aku sangat riang ketika bertemu ayah hari itu. Memeluknya riang. Dia tak sedikitpun menangisi ibu. Dia tampak dingin. Kata tanteku juga.

Jika aku sudah sedewasa ini, aku tidak akan sudi memeluknya seperti itu. Aku sekarang sudah sangat membencinya. Tidak ingin lagi melihat matanya.

Kemana dia ketika ibu sakit? Kemana dia ketika aku rindu padanya? Kemana dia ketika aku rewel? Sungguh, jika ALLAH mentakdirkan ibu untuk hidup kembali, aku akan membujuknya menikahi dia.

...

Setelah ibu meninggalkan kami, aku diasuh oleh tanteku.  Terkadang dia menjengukku. Dia merindukanku. Sama sepertiku.

Terkadang pula ayah datang menjemputku. Membawaku ke kampungnya. Dan aku mau saja waktu itu. Aku sangat menyesal jika ingat hal itu. Sekarang aku tidak mau lagi jika diajak ayah pergi kesana. Kenapa tidak dulu saja ketika ibu masih sehat?.

...

Usiaku sekarang menginjak tujuhbelas tahun. Kelas duabelas SMA. Aku tumbuh di keluarga tanteku. Walaupun aku anak piatu, aku merasa yatim piatu. Karena aku sudah tak pernah bertemu ayah selama tujuh tahun terakhir. Aku tidak tahu apa kabarnya. Dan tidak mau tahu. Sedikitpun.

Aku selalu mengunjunginya. Dia sudah beristri. Anaknya baru satu. Dan dia lucu. Sama sepertiku ketika kecil. Katanya.

Aku merindukan ibu setiap kali main kesana.  Dia selalu bercerita tentang manisnya ibu. Cantiknya ibu. Sama sepertiku sekarang. Manisnya sama. Aku tertawa ketika mendengar kisah yang itu.

Dia juga selalu mengingatkanku untuk tidak membenci ayah. Karena mungkin ayah sekarang sudah berbeda dengan yang dulu pernah ku benci.

Selama dia yang memintanya akan aku turuti. Semoga aku bisa berdamai dengan keadaan ini. Semoga saja.

---

Sepotong Kisah KehidupanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang