Keluargaku

803 18 8
                                    

Aduhhh...

Aku terlambat lagi pulang kerja. Jalanan semakin macet. Inikah kota yang diidamkan banyak orang? Aku sungguh ingin pergi dari sini.

Dani dan Silvia. Kedua anak kembarku -tak identik- selalu marah jika aku pulang telat. Tidak bisa makan malam bersama. Itu alasannya. Setiap kali aku pulang telat.

Namun aku sangat bersyukur punya istri yang sangat sholeha. Yang selalu bisa menenangkan hati anak-anakku jika mereka merajuk. Teduh seketika hati ini.

Kami hidup pas-pasan. Aku pulang pergi kerja menggunakan busway. Tetapi jalannya selalu macet. Banyak motor nakal yang masuk jalurnya. Hm... Aku hanya bisa bersabar.

Aku sampai di depan gang rumahku. Setengah jam lamanya aku berada di bus. Lebih cepat sepuluh menit dari biasanya. Semoga mereka tidak merajuk.

Tok! Tok! Tok!  Assalamu'alaikum!

Rumah terasa dingin. Tak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Gelap gulita. Aku tak bisa menerawang dari jendela.

Aku yang mulai resah segera meraih pintu belakang. Sama terkunci. Panik. Tegang. Semua bercampur jadi satu.

Apakah aku harus mendobraknya!?

Kebetulan ada seorang tetanggaku melintas di depanku. Bu Sri. Aku bertanya kemana keluargaku. Dia tidak tahu. Malah dia tidak melihat mereka keluar rumah.

Aku semakin panik.
Aku kalang kabut.
Tak tahu apa yang harus kulakukan.

Semoga saja tidak ada apa-apa. Aku sangat mengkhawatirkan mereka.

Andai saja istriku punya ponsel. Mungkin aku bisa menelponnya. Tapi, karena keterbatasan kami hidup sederhana.

Aku harus mendobraknya!

Ancang-ancangku sudah mantap. Tiga langkah dari pintu jarakku kini. Menyiapkan bahu. Semoga sekali tabrak.

Daakk!!

Sekali tabrak ternyata. Pintu ini memang sudah lemah.

Mataku terbelalak. Aku tak bisa menutup mulutku. Air mataku bercucuran. Melihat mereka tergantung dengan tali tambang. Mereka bunuh diri bersama.

Sepotong Kisah KehidupanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang