Puisi Cinta

627 22 8
                                    

Aliran sungai ini selalu deras. Sungai dipinggir kampung ini, tempat terbaiku berbagi cerita. Sungai ini sahabat terbaiku sejak lama. Aku amat menyayanginya.

Sepuluh tahun yang lalu, sungai ini amat bersih. Airnya jernih. Tak ada sampah yang terapung diatas permukaannya. Ketika itu, aku masih berusia lima tahun. Baba (ayah) yang membawaku kesini. Kami selalu menjaring ikan. Rutin.

Dulu mataku sangat jelas bisa melihat ikan berenang di dalamnya. Pasir yang menjadi dasar sungai amat aman. Tidak berbahaya jika kita berenang. Beda dengan sekarang, jika kita masuk ke sungai, ketika kaki menyentuh dasarnya, kau akan tenggelam. Ada lumpur yang amat dalam di dasar sana.

***

Siang ini aku kembali menyendiri di pinggiran sungai. Kembali membuat beberapa bait puisi cinta. Bukan cintaku pada sesama manusia. Namun, puisi ini kubuatkan untuk sungai ini. Jika selesai, biasanya akan kubacakan dihadapan sungai yang amat lebar ini. Walaupun bau airnya menusuk hidungku. Aku menyayanginya.

Aku berteduh di bawah pohon kersen. Pohon yang berbuah kecil. Mirip seperti ceri. Terkadang aku memetiknya jika dekat dengan posisiku berteduh di dahannya. Ya, maksudku aku tidak berteduh di bawah pohonnya. Melainkan, di atas dahan dan di bawah puncaknya.

Aku masih sibuk berkutat dengan pulpen merahku. Menulis beberapa kata. Merangkainya menjadi sebuah kalimat. Hingga akhirnya menjadi sebait. Aku mulai mantap melanjutkan puisi ini. Sepertinya akan bagus.

Akan kubacakan.

Kau masih mengenalku?
Wahai teman lama
Kau masih ingat wajahku?
Wahai tempat mengaduku
Ku dengar kau sakit
Kau tak seindah dulu
Bahkan tak seelok saat kita pertama bertemu
Tapi jangan khawatir
Wahai sahabatku
Aku akan selalu menjagamu
Tak peduli cibiran mereka
Aku akan selalu bersamamu
Memakan buah kersen yang kecil ini
Berteduh di beberapa dahan yang kau tumbuhkan
Indah?
Ya, bagiku saat seperti itu selalu indah
Jangan bersedih sahabatku
Puisi cintaku selalu untukmu

Lega rasanya. Jika puisi yang kubuat sampai terdengar oleh alam di sekitar sini. Aku tak bisa mendengar mereka berbicara. Tapi, deru angin ini membuat mereka bersuara. Aku anggap deru angin yang menerpa dedaunan itu sebagai tepuk tangan mereka. Terima kasih.

***

"Zulaikha! Kamu dimana?"

Sepertinya aku tahu suara itu. Aku mengenal suara itu. Tapi siapa? Aku masih belum mau beranjak dari sini. Aku masih nyaman disini. Bahkan jika perlu, aku akan tinggal disini sampai malam.

"Zulaikha!"

Suara itu mulai mendekat.

Aku ingat. Itu suara Sahma. Sepupuku. Kami berdua seumuran. Sepertinya aku harus menghampirinya.

Aku melompat dari dahan kedua pohon ini. Dari ketinggian sekitar dua meter. Walaupun menggunakan pakaian tertutup. Aku masih bisa bergerak bebas. Terkadang banyak orang yang memanggilku tomboy. Padahal penampilanku sangat feminim. Seperti muslimah kebanyakan.

Sahma menyambutku dari bawah.

"Mamakmu mencarimu Aik. Dia akan bertamu ke rumah Datuk Maesaroh."

Apa? Ke rumah datuk Maesaroh? Apa yang dilakukan mamak ke  rumah dermawan itu?

"Bilanglah aku tak akan ikut." aku memalingkan wajahku, hendak naik ke dahan lagi.

Sepotong Kisah KehidupanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang