Bukan Kesanggupan

443 20 2
                                    

Namanya Nina. Nina Nur Rahmi. Dia adalah kembang desa di daerahku. Semua pemuda, bahkan yang sudah duda sekalipun ingin meminangnya. Dia tak hanya cantik, namun juga sholihah. Dia berpendidikan. Sekarang gelarnya sarjana pendidikan agama islam. Setingkat denganku yang begerlar sarjana pendidikan bahasa inggris.

Nina kerapkali berpenampilan rapi. Hijabnya yang menutup hingga perut, cadarnya yang menutupi wajah bagian bawah, bajunya yang longgar semakin menarik hatiku untuk ikut terjun dalam perjuangan meminangnya. Mendapatkan sang bunga desa, yang matanya sangat tajam jika kau dapat melihatnya. Tidak heran jika dia begitu rapi, cantik dan terpelajar. Dia berasal dari keluarga yang cukup berada.

Ayahnya pemilik perkebunan karet seluas lima puluh hektar, dan pemilik perusahaan pembuatan perabotan rumah tangga berbahan dasar plastik. Sedangkan ibunya sudah lama meninggal dunia. Dari sanalah sumber keuangan Nina untuk menempuh pendidikan yang tinggi.

Menurut kabar yang kudengar, kemarin Nina sudah dilamar oleh tiga laki-laki. Satu diantaranya seorang perwira dari desa sebelah. Namun semua lamaran itu ditolak mentah-mentah oleh ayahnya. Mereka yang datang kini bukan lagi orang kampungan sepertiku. Mengingat kini Nina pun sudah menjadi seorang yang berpendidikan. Bahkan minggu lalu, seorang pengusaha martabak yang sudah memiliki tujuh puluh cabangpun ditolak oleh ayahnya. Dan yang membuatku kagum adalah, Nina tak pernah protes sedikitpun dengan keputusan ayahnya. Itu yang kudengar dari Bi Elah, pembantunya yang sering kutemui untuk meminta info tentang Nina. Menurutnya pula, Nina tak pernah berbicara jika tak perlu. Sampai-sampai semua ucapannya dalam sehari semalam bisa dihitung jari. Aku semakin bersemangat untuk mengikuti kompetisi ini. Kompetisi untuk mendapatkan seorang bidadari dunia. Walaupun aku terkadang terbebani oleh pikiran yang terlintas. Aku belum mempunyai pekerjaan yang tetap. Berkali-kali aku gagal di ujian CPNS. Namun, aku harus segera meminangnya sebelum ada orang yang lebih bisa meyakinkan ayahnya untuk menerima lamaran seorang calon suami anaknya.

Berbekal tekad dan keberanian, aku langkahkan kakiku menuju rumah Nina yang ukurannya jauh lebih besar dibandingkan rumahku yang sederhana. Sebelumnya aku tidak mengabari orangtuaku. Karena jarak yang jauh. Maklum aku perantauan di kampung ini. Dan waktu itu pulsaku habis. Sesampainya di rumah Nina, aku melepas kedua alas kakiku. Kulihat Bi Elah memberi isyarat yang baik. Sepertinya Nina sedang ada di rumah. Kuucap salam dengan penuh keyakinan.

Assalamu’alaikum…” Lama ku menunggu, tak ada jawaban juga.

Assalamu’alaikum Warahmatullah…” Salamku yang kedua tak ada jawaban juga. Jika yang ketiga ini masih tak ada jawaban, terpaksa aku harus pulang.

Assalamu’alaikum Warahmatullah Wabarokatuh …”

Wa’alaikumsalam Warahmatullah Wabarokatuh…” Tiba-tiba terdengar suara yang menjawab salamku ini. Alhamdulillah

“Eh ada tamu.” Sapanya sambil membuka pintu. “Duduk duduk!.” Kami pun duduk di kursi teras rumah. Tak kusangka responnya terhadapku sangat baik. Padahal menurut kabar yang kudengar, beliau selalu berlaku angkuh terhadap semua lelaki yang datang untuk melamar anaknya.

“Bi! Ambilkan minum dua ya!.” Teriaknya pada Bi Elah. “Kamu mau minum apa dek?.” Tanyanya padaku.

“Ehh… air putih saja pak.” Jawabku dengan gerogi.

“Air putih aja dua bi!.” Aku terkejut dengannya. Kenapa dia bisa begitu ramah padaku?. Apakah ini jebakan?. Aku takut jika nanti disini aku hanya dipermalukan olehnya. Tapi, aku harus tetap teguh dengan keyakinanku.

“Langsung saja dek, siapa nama antum? Antum mau ngelamar anak bapak kan? Nina?.” Tanyanya sambil menebar senyum padaku.

“Eh, nama saya Ahmad Muammar pak, ii..iya saya kesini bermaksud untuk mengkhitbah anak bapak, Nina.”

Sepotong Kisah KehidupanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang