23: Being Suspicious

1.1K 105 5
                                    

"Kau benar, Sebastian," ucapku sambil masih memeluknya erat. Sebastian pasti tahu kalau aku menangis karena bajunya yang basah dan suaraku yang bergetar hebat. "Kau benar, tidak heran kalau aku tidak memiliki teman. Aku bukan orang yang baik yang disukai dan dicintai banyak orang. Aku hanya memiliki keluarga, dan bahkan dua orang keluargaku tidak menyukaiku. Jadi tidak heran juga, kalau kau sekarang meninggalkanku." Aku tersenyum miris, bahkan nyaris tertawa, menertawakan malangnya hidupku. Kalau dipikir-pikir, hidupku memang tidak sebagus itu untuk dibanggakan.

            "Azaria...." Akhirnya Sebastian bersuara, akhirnya ia memanggil namaku dengan lembut, akhirnya ia mengelus rambutku dengan penuh kelembutan, dan akhirnya ia membalas pelukanku. "Maafkan omonganku semalam, aku hanya emosi. Kau tahu aku tidak bermaksud berbicara seperti itu."

            Aku menggeleng. "Tapi yang kau ucapkan memang benar. Bahkan jika saja Robert mendengar ini, atau Bartholomew, mereka pasti akan setuju. Aku juga heran mengapa Bartholomew mau berteman denganku." Aku tertawa di sisa sesenggukanku. Sebastian melepas tubuhku dari pelukannya, matanya menatapku teduh, membuatku tak bisa melepaskan tatapannya begitu saja.

            "Azaria, aku adalah temanmu, dan kuharap aku bisa menjadi teman terbaikmu untuk selamanya." Aku tersenyum mendengarnya. "Sebenarnya, itu memang benar. Kau wanita yang mudah emosi dan temperamental." Sebastian terkekeh, begitu juga aku. "Mungkin banyak orang yang membencimu karena itu, tapi aku mencintaimu karena itu. Aku tidak peduli pada kekuranganmu, setiap orang memiliki kekurangan, aku juga yakin kalau kau mau berteman denganku dan kekuranganku, kan?"

            Aku mengangguk berkali-kali.

            "Dan kenapa aku tidak?"

            Aku tersenyum lebar, lalu memeluk Sebastian erat. "Kau memang yang terbaik." Aku kembali melepas pelukannya, namun senyumku belum luntur.

            "Azaria, aku mencintaimu." Ia mengucapkan itu secara terang-terangan, dengan tatapannya yang terpaku dengan tatapanku. "Tapi aku tidak pernah sekalipun berpikir egois. Tidak pernah sekalipun aku membenci Francis atau siapapun yang membuat kita tidak bisa bersatu. Aku tidak mungkin repot-repot untuk menyingkirkan Francis dan memikirkan cara agar bisa bersatu denganmu, tidak, aku tidak pernah berpikir selicik itu.

            "Tapi kalau kau membutuhkan seseorang untuk melindungimu, orang yang selalu meluangkan waktunya untukmu, dan berkorban apapun untukmu, maka aku adalah orang yang paling tepat yang ingin kau cari."

            Aku tersenyum, memegang pipinya yang hangat. Ingin sekali aku menciumnya.

            "Maka dari itu, melihatmu tidak percaya padaku dan menuduhku semalam, hal itu sangat menghacurkan hatiku, Azaria." Mataku membulat, aku melepas tanganku dari pipinya perlahan. "Selalu sakit bagiku setiap kali orang-orang membicarakan pertunanganmu dengan Francis, apalagi mengingat kepergianmu ke Perancis, itu sangat menyakitkan, sesungguhnya. Namun aku tidak tahu, kalau tidak mendapat kepercayaan dan rasa sayang darimu, jauh lebih menyakitkan."

            "Sebastian, maafkan aku." Aku memegang tangannya erat. "Aku berjanji tidak akan berbuat hal sekonyol ini hanya karena emosiku yang tidak terkontrol. Aku juga berjanji, sebisa mungkin, tidak menyakitimu."

            Sebastian tersenyum, mengecup pipiku, dan memelukku. "Waktumu untuk meninggalkanku bukan sekarang, Azaria."

            Mataku berkaca-kaca, ingin sekali aku menangis lagi. Tapi aku tidak mau. Aku sudah menangis di depan Sebastian, dan itu sudah cukup. "Jangan buat aku menangis lagi, kumohon."

            Sebastian tertawa dan melepas pelukannya dariku, aku pun juga tertawa.

            "Aku selalu menanamkan pada diriku untuk tidak menangis di depan siapapun, apalagi lelaki. Tetapi kau menghancurkan segalanya," ujarku lalu memukul perut Sebastian pelan. Sebastian tergelak puas.

The Sword PrincessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang