17: Reminder

1.3K 111 9
                                    

Kali ini aku memilih untuk berdiam di istana. Sekarang aku sedang menenun bersama para ladies-ku. Mereka pasti merasa heran dengan kelakuan anehku pagi ini. Sebenarnya ini kegiatan normal yang dilakukan oleh para wanita istana, namun akan terlihat aneh kalau aku yang melakukannya. Ah, masa bodoh. Aku harus melakukan sesuatu untuk mengalihkan pikiranku dan membuatku tenang.

            Aku tidak pandai menenun, jujur saja. Hasil tenunanku pun pasti jelek. Namun aku tidak peduli. Yang penting ada sesuatu yang bisa kulakukan selagi dinginnya udara membuat kegiatanku yang biasanya kulakukan jadi terhambat.

            Urusan pekerjaanku dengan Sebastian, tentu saja sudah selesai. Sebastian tahu kalau pikiran dan hatiku sedang tidak tenang, jadi tadi kami tidak begitu berbincang banyak. Sebenarnya aku ingin sekali menanyakan anjing yang Sebastian janjikan ingin ia bawa ke istana untuk menemani Sturdy. Tapi untuk itu nanti saja dulu, aku benar-benar tidak bisa memikirkan sesuatu yang menyenangkan untuk saat ini.

            Tiba-tiba pintu kamarku terbuka, aku dan para ladies-ku menoleh. Kami semua berdiri begitu melihat itu adalah Ibuku, lalu kami membungkuk padanya.

            "Tinggalkan kami," perintah Ibuku pada para dayang-dayangku. Mereka membungkuk lalu pergi meninggalkan kamarku. Ada apa lagi ini?

            "Ada apa, Ibu?"

            "Perang saudara? Apa itu benar?"

            Dahiku berkerut, bagaimana ia bisa tahu? Padahal aku baru memberitahu berita ini hanya pada Robert pada hari ini. Tidak mungkin secepat itu berita ini menyebar sampai ke telinga Ibuku. "B-Bagaimana kau bisa tahu?"

            "Aku melihatmu berbincang serius dengan Sebastian tadi pagi. Lalu kau langsung terburu-buru berjalan ke tempat Robert dan aku mengikutimu. Begitu kau keluar dari ruang kerja Robert, aku langsung menanyakan apa yang sedang terjadi. Aku berhak, bukan?"

            "Ya, kau berhak, Bu." Aku kembali duduk. Kekhawatiran kembali menggerogoti pikiranku. "Kita harus segera menyelesaikan perang ini. Kita tidak bisa membuat orang harus kehilangan nyawa hanya karena masalah agama."

            "Darimana kau tahu mengenai berita ini?"

            "Sebastian. Kakeknya memberitahu soal ini lewat surat."

            "Dan ... siapakah kakeknya itu?"

            Aku menoleh, menatap wajahnya yang sudah memincingkan rasa kecurigaan padaku. Apakah masih sempat-sempatnya dia menguak kebohonganku di tengah kegentingan seperti ini? Apakah ia benar-benar Ibu yang kurang kerjaan?

            "Mana ku tahu, Ibu. Aku tidak mengenalnya," balasku dengan nada sedikit tinggi. Tentu saja ia memancing emosiku dengan mudah.

            "Apakah kau percaya pada teman yang berasal dari hutan itu, hm? Bagaimana kalau ia mengada-ngada? Ia hanya ingin membuat kekacauan dan membuatmu resah."

            "Apa untungnya membuat diriku resah? Sebastian memiliki kesibukan lain yang harus ia pikirkan. Tidak sepertimu."

            "Keresahan di istana ini membuatnya dengan mudah memasuki pemerintahan ini. Bagaimana kalau ia diangkat oleh kakakmu sebagai salah satu penasihatnya?'

            "Ya lalu memangnya kenapa? Selama hal itu bisa membuat Inggris ke jalan yang lebih damai, mengapa tidak?"

            "Kau tidak bisa semudah itu mempercayai orang, Azaria."

            "Bu, aku melihat sendiri bagaimana orang-orang itu murka! Mereka sampai berhasil mencelakai Robert! Dan siapa yang menyelamatkannya? Sebastian. Richard juga mengatakan hal yang sama kalau sekarang adalah waktu yang genting. Apa kau masih tidak percaya juga? Apa harus mengorbankan Richard supaya kau percaya kalau perang dan percekcokan ini benar-benar ada?"

The Sword PrincessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang