9: The Risks for Revolution

2.6K 171 9
                                    

Aku menatap Bartholomew yang sedang terkulai lemas di atas ranjangnya. Ia juga tampak terkejut melihatku masuk ke dalam kamarnya, namun dia juga tidak memiliki niatan untuk mengusirku. Wajahnya pucat dan tubuhnya menggigil. Aku tidak dapat berkata apa-apa dan hanya menganga kecil melihat tubuhnya yang tidak seperti biasanya.

"Azaria," panggil kakek itu lalu duduk di kasur, dibantu Sebastian. "Apa yang kau lakukan?"

"Aku hanya ingin melihatmu."

"Sudah ada Sebastian di sini, aku baik-baik saja." Bartholomew terbatuk, membuatku tambah iba. Ini tidak bisa didiamkan.

"Aku tidak akan berpergian lagi." Kali ini Sebastian yang berbicara. "Aku akan tinggal di sini, sampai kakek sembuh."

"Aku pasti akan membantumu, Bartholomew. Kau tidak perlu khawatir. Aku ingin kau selamat dan selalu sehat. Nanti akan kukirimkan dokter yang dapat kupercaya kemari. Mungkin besok atau lusa. Bertahanlah."

Bartholomew terkekeh dengan suara seraknya. "Tidak perlu. Yang aku butuhkan hanya cucuku untuk merawatku. Mungkin suatu saat nanti aku akan butuh doktermu kalau aku sudah punya uang yang cukup."

Aku memutar bola mataku. "Siapa yang menyuruhmu untuk mengeluarkan uang untuk membayar dokter? Aku hanya menyuruhmu untuk bertahan sampai dokterku bisa tiba di sini."

"Lalu bagaimana aku bisa membalas jasa dokter itu?"

"Dengan menuruti perintahnya untuk menjaga tubuhmu untuk sehat. Dan sekarang tugasmu adalah istirahat dan tidak memikirkan hal macam-macam. Kalau butuh sesuatu, kau memiliki Sebastian dan aku."

Akhirnya Bartholomew tersenyum, kurasa sudah tidak ada penolakan lagi setelah ini. "Terima kasih, Azaria."

"Oh ya, aku rasa aku tidak bisa terus menerus membiayakan kesehatan dan juga makanan bergizi untukmu," ucapku, namun Bartholomew tetap tersenyum. "Maka dari itu, aku akan memberikan pekerjaan untuk Sebastian." Aku menatap Sebastian yang sudah menatapku tidak percaya. "Aku akan memberikanmu sebuah posisi di kerajaan."

"P-Pekerjaan? Di kerajaan?"

Aku mengangguk sambil tersenyum.

"Posisi apa?"

"Seperti yang sudah kau katakan, penjaga di istanaku sangatlah payah. Maka dari itu aku memintamu untuk melatih mereka bersamamu. Raja juga melihat potensi yang ada pada dirimu."

Sebastian terkekeh malu. "Apa kau yakin? Kau terlalu baik, Highness, kau sudah membiayai kesehatan kakekku dan sekarang kau memberikanku pekerjaan. Kurasa ini berlebihan. Aku tidak pantas menerimanya."

"Kau pantas," ucapku dengan tegas.

"Tapi—"

"This is the king's and princess' order. Kau tidak berhak untuk menolak sebuah perintah," balasku dengan dagu yang kuangkat dan tidak menyinggung senyum sedikitpun.

"B-Baiklah." Sebastian tersenyum. "Terima kasih banyak atas kebaikan yang kau berikan pada kami."

Aku tersenyum. "Sudah tugasku sebagai sahabat."

Sebastian berjalan ke arahku dengan senyum bahagianya. Tak kusangka, ia memelukku, erat. "Aku sempat bingung dan kau datang seakan memberikan jawaban di tengah kebingungan dan kekhawatiranku. Terima kasih."

Aku tersenyum dan membalas pelukannya. "Senang dapat membantumu."

Kami melepas pelukan kami dan saling menatap manik satu sama lain. Di saat-saat seperti ini bersama Sebastian membuatku lupa kalau aku dan keluargaku sedang dilanda masalah, dan juga lupa kalau kedatangan ku ke sini bukan untuk mengabadikan adegan romantis—sebenarnya aku tidak yakin ini bisa dikatakan romantis atau tidak—tapi yang jelas tujuanku bukan ini.

"Sebastian," ucapku sambil mengalihkan mataku darinya, namun matanya tidak terlepas dariku. "Aku ke sini juga untuk menanyakan sesuatu, lebih baik kita perbincangkan ini di luar saja." Aku meninggalkan kamar Bartholomew dengan tergesa. Aku harus menyulap diriku kembali menjadi seorang wanita yang fokus dan tidak mengabaikan permasalahan yang ada di depan mata.

Aku duduk di kursi yang biasa aku duduki kalau sedang mampir di rumah Nostadamus, Sebastian pun duduk di tempat satunya.

"Apa yang terjadi pada kakakku tadi di hutan? Aku belum menanyakan apapun padanya mengenai hal tadi. Aku ingin ia istirahat total."

Wajah Sebastian berubah tidak enak, sepertinya setelah ia mengingat kejadian mengerikan tadi. "Mereka semua, orang-orang tadi yang berjalan beriringan sambil membuat kerusuhan, ternyata adalah pemberontak kakakmu, sang raja."

Mulutku menganga dan tanganku reflek menutupnya. Sudah kuduga.

"Maka dari itu, begitu mereka melihat kehadiran kakakmu, mereka tidak lagi mengincar aku atau para pengawal, tapi kakakmu."

"Dalam hal apa? Dia adalah raja yang baik. Bahkan Ayahku jauh lebih keji daripadanya."

"Agama. Semenjak kakakmu menganggap katolik dan protestan adalah sama, banyak massa katolik yang mengamuk hebat karena tidak ingin disamakan dengan protestan."

Dahiku mengernyit bingung, aku memang tidak mengerti jalan pikiran orang-orang ini. "Mengapa mereka harus semarah itu? Bahkan kami tidak merendahkan katolik dan meninggikan protestan."

"Aku tidak mengerti. Sebenarnya aku setuju begitu kakakmu mengeluarkan kebijakan seperti itu, namun aku yakin, justru kebijakan yang baik itu adalah malapetaka besar. Orang-orang belum bisa menerima pendapat dan pemikiran seperti itu untuk sekarang ini."

"Padahal kakakku hanya ingin menyamakan derajat mereka karena bagi kakakku, semua orang adalah sama. Ia tidak ingin menghukum orang hanya berdasarkan agama atau kepercayaannya. Kakakku hanya ingin menghukum mereka yang salah dan memberikan penghargaan kepada mereka yang jujur."

"Pemikiran luas seperti itu masih belum bisa diterima, dan kurasa sang raja sudah memikirkan matang-matang risiko yang ia terima, dan inilah risikonya."

Aku hanya termenung, yang kupikirkan sekarang ini adalah perang. "Apakah menurutmu akan ada perang?"

Sebastian mengangguk. "Perang saudara. Dan kalian benar-benar harus menjaga ketat keamanan kerajaan kalian. Bisa saja mereka berhasil menyentuh kerajaanmu."

"Maka sekarang saatnya kita harus berangkat ke kerajaaan, bersama kau juga. Lebih cepat kita melatih para penjaga, maka akan lebih baik. Cepat, bereskan barangmu dan kita berangkat sekarang."

Sebastian menganga cukup lebar, mungkin dia memang belum siap. Namun siap atau tidak, dia harus siap. Ini perintah kerajaan, ia tidak berhak menolak.

"B-Baiklah. Tunggu sebentar." Ia pun pergi meninggalkanku. Aku dapat melihat antusiasme juga di balik kegugupan Sebastian. Lebih banyak antusiasmenya sebenarnya daripada gugupnya. Dia adalah laki-laki yang penuh rasa penasaran dan jiwa petualang. Tentu saja kesempatan yang kuberikan kali ini padanya membuatnya sangat semangat.

"Bagaimana dengan Bartholomew?" dia kembali muncul di hadapanku.

"Aku akan mengirimkan dokter ke sini sebelum kita pergi. Kau bersiap-siap sekarang, dan aku akan membawakan dokter itu untuk merawat kakekmu."

"Terima kasih banyak, Your Grace. Aku—"

"Aku harap kau bisa membalas kebaikanku dengan melatih para penjaga istanaku dengan baik." Aku tersenyum, setengah tegas setengah lembut. "Aku akan memanggilkan dokter."

"Baiklah. Aku akan bersiap." Kami pun berpecah, melakukan kegiatan yang seharusnya kami lakukan. Kehidupanku lagi-lagi tidak akan sama seperti sebelumnya. Setelah Ayahku meninggal, aku pikir aku akan memulai hidup baru, dan ternyata, lagi-lagi aku menemukan kalau aku akan memulai hidup baru lagi.

Begitu juga kalau menikah nanti, aku akan lagi-lagi memulai hidup baru. Dan jika saja aku berkesempatan menjadi Ratu Perancis, kehidupan baruku akan jauh lebih dahsyat lagi.

Semoga saja aku bisa menghadapi semua ini.[]

The Sword PrincessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang