Perpisahan 3

2.7K 105 5
                                    

Malam belum begiru larut, cahya purnama benderang menerangi kaki bukit Banowati. Pengasinan dipinggir sungai Lumeneng telah senyap kembali, setelah anak2 yang ramai bermain telah  pulang ke rumahnya masing2. Nokidin duduk sendirian diatas batu memandang bukit Banowati yang disiram cahya purnama. Ingatannya melayang kembali ke saat2 sayembara tanding lima tahun yang lalu. " Ah, itu sudah lima tahun yang lalu ", desah Nokidin. " Seperti apa mereka sekarang ? Tentunya mereka sudah punya anak paling tidak dua orang " bisiknya dalam hati. " Sementara aku? Aku masih saja sendirian belum ada pendampingnya " .  Ah, biarlah. Meteka ya mereka, aku ya aku. Tak ada kaitanya sama sekali ", demikian kata hatinya. Memang Kyai Astrajiwa, ayahnya itu sudah sering meminta Nokidin untuk mencari pendamping hidup, namun memang hatinya belum mau. Padahal umur Nokidin sekarang sudah dua puluh tiga tahun,  didesanya rata2 seumur itu sudah punya anak dua atau bahkan tiga. Tetapi Nokidin masih saja suka bepergian mengembara, mencari ilmu sambil berdakwah menyebarkan agama.
Tiba2 perasaannya mengatakan ada sesuatu yang memperhatikan dirinya, bukan bahaya tetapi seseuatu atau seseorang yang sedang memperhatikan dirinya. Dan betul, tiba2 muncul disebelah kirinya seekor macan kumbanng yang besar. Selanjutnya macan kumbang itu berubah menjadi seseorang dan berjalan menuju dirinya. " Kau ? ", agak terkejut Nokidin berkata. " Ya, aku Lukita ", jawab orang itu. " Aku dahulu sudah menduga  siapa sebenarnya engkau Lukita !" Nokidin berkata : " Tapi kupikir, itu bukan urusanku. Silakan duduk Lukita ! ". Lukitapun duduk disamping Nokidin. Sejenak suasana terasa lengang,  hanya bunyi jengkerik serta binatang malam saja yang terdengar. Sementara puncak bukit Banowati terlihat putih keemasan, ditimpa cahaya purnama. Sedang air sungai Lumeneng gemericik berkilat2 memantulkan sinar bulan yang semakin terang.
" Maafkan aku sebelumnya Nokidin ", Lukita membuka percakapan : " Aku ingin bertanya dulu kepadamu sebelum aku sampaikan maksudku ". ' Ah Lukita, engkau ini aneh. Lima tahun kita tidak pernah ketemu, kemudian engkau muncul sebagai seekor macan kumbang yang besar. Lalu kemudian engkau mau bertanya dulu. Baik, apa yang ingin engkau tanyakan ?, jawab Nokidin. " Maafkan sekali lagi Nokidin ",  Lukita melanjutkan : " Apakah engkau sudah beristri ? ". " Lukita, apa maksud pertanyaanmu ? ", Nokidin menjawab dengan nada agak tinggi : " Apakah maksudmu bahwa sekarang engkau telah mempunyai anak dua atau mungkin tiga, sementara aku malam2 seperti ini duduk sendirian merenungi sungai Lumeneng, begitu?". " Maafkan Nokidin, bukan itu maksudku. Tolong dengarkan dulu apa yang akan aku sampaikan " jawab Lukita.  " Baik2 Lukita, namun sebelum engkau mengatakanya, aku jawab dulu pertanyaamu itu " , Nokidin melanjutkan : " Aku belum beristri, puas? ". " Ya ya, terima kasih. Sekarang dengarkan apa yang aku sampaikan " , kata Lukita.
" Nokidin, aku kira engkau masih ingat ketika kita bertarung dalam sayembara tanding lima tahun yang lalu disini, di Pengasinan ini. Keadaanya tepat seperti sekarang ini, dibawah sinar purnama yang terang ", demikian Lukita mengawali kata2nya. " Lukita, engkau tidak usah berputar2. Langsung saja katakan maksudmu ! " potong Nokidin tidak sabar. Namun Lukita mengacuhkan saja kata2 Nokidin yang memotong : " Saat itu engkau mengajaku pura2 bertarung, karena engkau sebenarnya tidak bermaksud mencari istri. Kita pun pura2 bertarung sampai akhirnya aku yang menang, karena engkau memang tidak ingin menang. Padahal kalau bertarung sungguh2 aku belum tentu menang, apalagi saat itu aku terluka dalam ". " Ah itu  kisah lima tahun yang lalu, tidak usah dibicarakan lagi ", kata Nokidin. Lukita terus melanjutkan : " Aku datang kesini untuk meminta pertolonganmu, ini tentang istriku !". " Maksudmu sekarang engkau sedang bertengkar?", tanya Nokidin. " Bukan, bukan....aku tidak sedang bertengkar !", jawab Lukita.  " Lalu ? ", tanya Nokidin lagi. " Aku akan pulang ke duniaku, ini adalah permintaan istriku sendiri setelah mengetahui siapa aku. Gara2 peristiwa kematian pengantin di desa Danasari itu ". " O jadi engkau yang menerkam pengantin perempuan itu ?", Nokidin memotong.  " Bukan, bukan aku, tetapi teman2ku yang melakukannya ketika mereka mengajaku berburu ".
Suasana hening sejenak, Lukita melanjutkan lagi : " Dulu aku memang sudah diingatkan oleh salah seorang tetua bahwa manusia memang beda dengan bangsa siluman. Pada saatnya istriku akan tua, sementara aku masih seperti ini. Disamping itu, juga tidak bisa mempunyai keturunan ". Nokidin bertanya lagi : " Lalu apa hubungannya dengan aku ?". " Nokidin, tolong dengarkan dulu. Jangan kau potong kata2ku ! ", Lukita melanjutkan : " Aku sudah memutuskan untuk pergi malam ini juga. Aku mohon engkau bersedia mengawini Nyai Sedi untuk memberi keturunan setelah aku pergi.

Bersambung.........

Perkawinan Dua DuniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang