Setiap Minggu Jo Hwon belajar agama dari pagi hingga sore dan pulang setelah salat Isya. Ia menghabiskan waktu di kelas dan di dalam masjid. Joo Hwon belajar satu demi satu bab ilmu fikih per minggunya. Memasuki bab ketujuh, Ustadz Agus berhalangan mengajar karena keluarganya sakit dan harus pulang ke Semarang. Ustadz Ahmad yang menggantikan meski tidak bisa bahasa Inggris. Selama delapan minggu Joo Hwon belajar tapi tidak pernah bertemu Santri SUPER JUNIOR, yang pernah dijumpainya pertama kali karena tempatnya terpisah antara laki-laki dan perempuan.
Memasuki minggu kesembilan, Joo Hwon mulai mempelajari bab terakhir ilmu fikih tentang pernikahan. Joo Hwon mulai berpikir untuk menikah karena ternyata agama mengatur pernikahan dengan sangat indah.
"Setiap manusia membutuhkan orang lain termasuk pasangan. Untuk itulah perlunya aturan untuk menikah. Agama memahami pada titik tertentu manusia akan merasa jenuh dan lelah. Ia membutuhkan teman di kala sendiri. Ketika lelah bekerja, ketika malam hari di mana teman-temanmu sudah tertidur, ketika masalah datang dan tidak bisa kau bagi dengan sembarang orang. Ketika itulah kau butuh pasangan bukan sekadar teman. Pasangan seperti apa yang baik untukmu dan akan membawa kebaikan untuk agama, orang sekitar, dan kehidupan sosialmu secara luas ke depannya. Maka dari itu Islam juga mengajarkan kriteria memilih pasangan yang baik menurut syariat."
Ketiga murid mualafnya tersenyum, termasuk Lee Joo Hwon.
"Rasulullah juga mewasiatkan empat kiat memilih istri. Pertama kesalihan." Ustadz Ahmad melanjutkan pelajarannya. "Hadist Riwayat Abdullah Bin Humaid, bahwasanya Rasulullah pernah berkata, 'jangan kamu menikahi wanita semata-mata karena kecantikannya, boleh jadi kecantikannya itu akan membinasakannya dan janganlah kamu menikahinya semata-mata karena hartanya, boleh jadi harta itu akan menyebabkan kedurhakaannya, tapi nikahilah olehmu yang beragama. Sesungguhnya wanita yang tak berhidung lagi tuli, tetapi beragama lebih baik bagimu.'"
Para santri mualaf mendengarkan.
"Kedua, subur dan romantis. Nikahilah wanita yang penuh cinta kasih dan subur. Karena sesungguhnya aku merasa bangga dengan jumlah kamu yang banyak pada hari kiamat nanti. Riwayat Imam at-Thabrani dan al-Hakim." Ustadz Ahmad memandang satu per satu wajah muridnya. "Ketiga, berkenan di hati. Sebagaimana perintah Rasul kepada al-Mughirah bin Syu'bah agar melihat calon istrinya sebelum melamar. Keempat, diutamakan yang masih gadis atau perawan. Sabda Rasulullah, 'nikahilah wanita yang masih perawan karena mulut mereka lebih segar dan manis atau budi bahasanya indah, dan lebih subur serta lebih ridha dengan kesederhanaan atau tidak banyak tuntutan.' Diriwayatkan Imam at-Thabrani."
"Ustadz, lalu bagaimana dengan kriteria suami yang dianjurkan agama?" tanya Umar Hao.
"Dalam memilih suami, wanita dititipi tiga pesan. Pertama, hendaknya mencari suami yang penuh tanggung jawab dan amanah. Dalam QS At-Tahrim ayat 6, Allah memerintahkan orang-orang beriman agar memelihara anak dan istrinya dari siksa api neraka. Kedua, lelaki bertakwa pada Allah. 'Barang siapa menikahkan putrinya dengan orang fasiq, sesungguhnya dia telah memutuskan tali kasih sayangnya', Hadits riwayat Ibnu Hibban. Ketiga, memiliki ilmu pengetahuan. Menjadi tanggung jawab suami untuk mendidik anak dan istrinya."
Ketiganya mengangguk. Lee Joo Hwon merunduk sendirian. Pada saat kedua temannya sedang senyam-senyum membayangkan indahnya pernikahan, Lee Joo Hwon justru murung. Ustadz Ahmad melihat kemurungan Joo Hwon, tapi ia tidak berkomentar.
"Dalam Islam, tidak ada istilah pacaran. Pacaran yang dimaksud adalah pacaran sebelum menikah. Yang ada hanya pacaran setelah menikah." Lanjut Ustad Ahmad. "Tapi, tidak usah khawatir. Islam menyediakan sebuah media perkenalan yang lebih aman dan jauh dari fitnah, yaitu ta'aruf. Ta'aruf yang dilakukan harus berkomitmen dan bukan sekadar berkenalan, dekat dan membiarkan begitu saja tanpa ada komitmen kapan akan menikah."
Pelajaran selesai. Selepas Isya, Umar dan Usman pamit pulang duluan. Joo Hwon baru menyelesaikan salat sunnahnya. Ia mencari Ustadz Ahmad untuk pamit. Ustadz Ahmad baru keluar masjid dan menuju batas suci untuk mengambil sandal dan pulang. Joo Hwon menyusul Ustadz Ahmad dan menyalaminya.
"Apa Ustadz akan langsung pulang?" Tanya Joo Hwon.
"Iya. Kau sendiri belum pulang?" Ustadz Ahmad duduk di teras.
"Saya baru mau pulang," jawab Joo Hwon.
Joo Hwon mengikuti Ustad Ahmad. Mereka duduk berdampingan mengambil alas kaki masing-masing.
"Lee Joo Hwon, kulihat tadi kau mendadak murung. Padahal sebelumnya kau terlihat senang dan sangat menyimak. Apa ada masalah?" tanya Ustad Ahmad.
Joo Hwon tersenyum. "Tidak. Saya ... tidak mungkin tidak tertarik pada bagian ini. Apa yang Ustadz katakan soal titik jenuh seorang manusia itu ... saya merasakannya."
Ustadz Ahmad tersenyum.
"Saya ... tinggal sendirian di apartemen. Seharian sibuk bekerja dan pulang kelelahan, makan lalu tidur. Ternyata, hidup saya sangat monoton dan rupanya, saya kesepian juga." Joo Hwon tertawa merunduk.
Ustadz Ahmad memahami. "Berapa usiamu?"
" Ng?" Joo Hwon memandang wajah Ustad Ahmad. "Dua puluh tujuh tahun."
"Benar. Di usiamu kau sudah pasti merasa kesepian. Karena kau sudah dewasa. Kenapa kau tidak menikah saja?"
Joo Hwon tertawa dan merunduk sejenak. "Apa ...tidak berlebihan?"
Ustadz Ahmad tidak mengerti.
"Saya, saya suka tempat ini. Saya memang kesepian, tapi tidak pernah saya pikirkan. Karena saya hanya fokus pada pekerjaan dan belajar. Semuanya hilang ketika saya tiba di sini," kata Joo Hwon. "Lagi pula, apa saya pantas?"
Ustadz Ahmad bingung melihat senyum sendu Joo Hwon.
"Saya hanya seorang mualaf. Saya merasa, perjalanan saya masih panjang untuk masuk dalam kriteria suami yang dianjurkan agama. Saya minim pengetahuan. Saya juga ingin suatu saat memiliki seorang istri yang saliha. Tapi, wanita seperti itu pasti juga ingin suami yang salih. Bagaimana saya bisa memimpin? Saya baru hampir tiga tahun menjadi mualaf. Bagaimana caranya?"
Ustadz Ahmad tersenyum. Ia mengerti. Ternyata itu yang dipikirkan Joo Hwon dan membuatnya murung sewaktu belajar tadi.
"Kau tidak boleh berkecil hati begitu. Keimanan dan ketaqwaan seseorang hanya Allah yang tahu. Laki-laki yang baik hanya untuk perempuan yang baik, begitu juga sebaliknya. Sekali-sekali, lihatlah dirimu." Ustadz Ahmad menepuk bahu Joo Hwon. "Kau tampan. Wanita mana yang bisa tahan menolakmu?"
Joo Hwon tertawa.
"Tapi ... jika kau serius, aku bisa membantumu."
"M-mwo?"
Ustadz Ahmad melongo tidak mengerti.
"Ma-maksud saya, apa? Apa ...bisa?"
"Bisa. Minggu besok, datanglah lebih awal. Akan kukumpulkan beberapa wanita pilihanku untukmu. Jika kau percaya kepadaku, aku akan memilihkan beberapa yang terbaik untukmu dan kau sendiri yang memutuskannya. Selanjutnya, kau bisa melakukan taaruf dan menentukan sendiri kelanjutannya."
Mata Joo Hwon terbelalak lebar. "Saya ...."
"Nah, sudah, ya! Istri dan anakku sudah menunggu. Assalamu'alaikum." Ustadz Ahmad pergi meninggalkan Joo Hwon yang masih bingung harus berkata apa.
"Wa'alaikumussalam. Maksud saya ... saya memang kesepian, saya memang tertarik untuk menikah, tapi bagaimana menjelaskannya, ya, supaya tidak terkesan aku berharap dan terkesan terburu-buru?" Joo Hwon bergumam, kemudian ia pun pergi.
Bersambung ke Part 6
KAMU SEDANG MEMBACA
A Moment To Decide (Oppa Meets Santri KPop) - READY AT GRAMEDIA
Romance(Sudah Terbit Oktober 2018) Bayangkan jika ada Oppa Korea ala ala Park Hae Jin-Oppa dan selevelnya tiba-tiba menjadi soleh? Hmm...nyaris sempurna dong ya? Apa kisahnya akan se-dramatic K-Drama sungguhan? Buat kamu... Sebuah novel oleh Dian Dhie (Dia...