#Part16

122 16 1
                                    

"Assalamu'alaikum," sapa Joo Hwon. "Maaf Ustadz, saya terlambat."

"Wa'alaikumussalam," jawab Ustadz Ahmad dan kedua muridnya berbarengan.

"Kenapa? Apa kau sakit?" tanya Ustad Ahmad.

Joo Hwon mengambil duduk di sebelah Usman. "Iya. Saya terserang flu. Sudah dua hari ini."

"Apa kau sudah berobat?"

"Belum. Saya hanya minum obat flu biasa."

"Kau ini sembrono sekali." Ustadz Ahmad terlihat tidak suka dan sedikit marah. "Sudah dua hari sakit tapi belum berobat? Apa kau dokter dan cukup minum obat flu biasa saja?"

"M-maaf." Joo Hwon merunduk.

Usman dan Umar berpandangan. Mereka bergidik ngeri Ustadz Ahmad bisa marah.

"Bagaimana kau akan bertanggung jawab mengurus rumah tanggamu setelah menikah nanti kalau kau saja tidak bisa mengurus dirimu sendiri?" omel Ustad Ahmad. "Pergi dan carilah ruang kesehatan pondok. Periksakan keadaanmu dan dapatkan obat yang tepat. Di sana ada perawat dan dia akan memberikanmu obat. Katakan saja kau muridku. Jangan kembali sebelum kau dapatkan obat."

"Iya. Terima kasih. Maafkan aku, Ustadz," Joo Hwon mundur dan pergi.

Ustadz Ahmad tidak menjawab dan tidak memandang wajah Joo Hwon. Ia terlihat kesal. Setelah Joo Hwon pergi, Ustadz Ahmad kembali melanjutkan pelajarannya.

Rani dan Anisa sampai di kamar santri tempat Riana menunggu. Dengan sangat hati-hati Anisa menunjukkan foto Lee Joo Hwon gemuk dan sipit.

"Riana, kau harus tabah. Apa pun yang terjadi setelah kau melihat fotonya, kau harus kuat," pesan Anisa memegangi ponselnya.

"Cepat tunjukkan kepadaku!" Riana tidak sabar, khawatir, dan takut.

Anisa memberikannya secara perlahan. Rani diam menunggu di sebelah Anisa.

Riana melihat foto Lee Joo Hwon yang gemuk dan sipit. Wajahnya bulat dan hidungnya kecil. Rambutnya tipis dan terlihat lebih tua dari usianya. Riana melepaskan ponsel Anisa begitu saja di kasur. Ia mendadak lemas tidak bertenaga. Napasnya berat dan kepalanya pusing. Riana pingsan. Anisa dan Rani panik.

"Riana! Riana!" Anisa berusaha membangunkan Riana.

"Ayo, bawa ke ruang kesehatan!" usul Rani.

Anisa dan Rani lalu berusaha mengangkat Riana. Karena tidak cukup kuat dan mereka sama-sama bertubuh mungil, Rani lalu memutuskan untuk mencari bantuan. Dalam sekejap kamar mereka dipenuhi beberapa santri wanita. Mereka bergotong royong membawa Riana yang masih pingsan ke ruang kesehatan.

Joo Hwon kebingungan. Ia bingung harus bertanya kepada siapa,di mana letak ruang kesehatan. Sama sekali tidak ada petunjuk. Tiba-tiba Joo Hwon dikejutkan dengan keributan beberapa santri perempuan. Mereka bergerombol membawa seseorang yang sepertinya tidak sadarkan diri.

Joo Hwon menepi dan memperhatikan. Maksud hati ingin bertanya, tapi sepertinya mereka semua sedang sibuk. Joo Hwon melihat dua santri yang dilihatnya tadi di masjid juga ikut panik di tengah-tengah gerombolan.

Ketika rombongan tiba di depan Joo Hwon, Joo Hwon yang jauh lebih tinggi dari mereka melirik pada apa yang mereka bawa. Joo Hwon terkejut.

"Su-SUPER JUNIOR!" kata Joo Hwon yang berpapasan dengan rombongan.

Riana terbaring lemah. Wajahnya pucat dan matanya bengkak. Ia tidak sadarkan diri dibawa teman-temannya menuju ruang kesehatan.

Joo Hwon mematung. Ia mencemaskan Riana. "Apa yang terjadi? Apa dia sakit?"

"Assalamu'alaikum. Apa yang akhi cari? Ada yang bisa saya bantu?" seorang santri laki-laki menegur Joo Hwon.

"Ng?" Joo Hwon tersadar. "Saya mencari ruang kesehatan."

"Oo ... itu di sana!" santri itu menunjuk sebuah ruang yang dipadati gerombolan santri perempuan tadi. "Oh! Tapi, sepertinya sedang ramai. Akhi harus menunggu."

"Tidak apa-apa." Joo Hwon tersenyum di balik maskernya.

"Kalau begitu, mari saya antar," tawar santri itu.

"Terima kasih." Joo Hwon menurut.

Mereka menunggu di ruang tunggu ruang kesehatan. Beberapa santri yang tadi ikut sibuk sudah mulai mengurai diri dan suasana mulai sepi.

"Riana ...." Anisa membelai kepala sahabatnya dengan cemas.

Rani setia di sisinya. Ia juga ikut sedih.

"Nah, selagi Riana istirahat. Bisa saya tinggal sebentar? Saya ada pasien lagi," kata perawat yang bertugas.

Anisa dan Rani mengangguk.

Perawat itu pergi dan mendatangi Joo Hwon di depan. Joo Hwon masuk dan berhenti sejenak melihat Riana yang terbaring. Ia lalu masuk ke ruang periksa. Rani melihatnya sebelum pergi. Rani teringat sesuatu.

"Anisa. Kau tahu tidak? Tadi aku bertemu seseorang yang sangat tampan. Dia seperti artis," kata Rani.

"Apa?" Anisa tidak percaya.

"Sungguh. Dia sekarang ...."

"Kau ini bagaimana?" Anisa memotong. "Temanmu sakit. Kenapa kau malah membahas itu? Apa kau tidak lihat dia sakit karena kita? Harusnya kita biarkan dia tahu sendiri dari orang tuanya. Apa kau tidak mencemaskannya?"

Rani tutup mulut. Ia murung dan merunduk.

Tidak lama kemudian, Joo Hwon keluar ruang periksa. Ia berterima kasih kepada perawat dan membawa sekantung obat untuk flunya. Rani menoleh dan terkejut bahwa benar orang yang dilihatnya di masjid tadi ada di depannya. Rani ingin sekali memberi tahu Anisa, tapi Anisa sedang sibuk dengan Riana.

Joo Hwon kembali ke masjid dan Ustadz Ahmad sudah selesai dengan pelajarannya. Usman dan Umar sedang bersantai di teras masjid. Joo Hwon menghampiri Ustadz Ahmad.

"Apa kau sudah periksa dan mendapat obat?" tanya Ustadz Ahmad masih sinis.

"Sudah, Ustadz. Maaf membuat repot." Joo Hwon merunduk.

Ustadz Ahmad buang muka sejenak, lalu melihat Joo Hwon dengan iba. "Berikan aku fotomu. Riana belum melihatmu dan itu tidak adil. Aku akan menunjukkannya sebelum kalian bertemu nanti."

"Iya, Ustadz." Joo Hwon mengeluarkan foto yang sudah dipersiapkannya dari saku. Ia memberikannya.

"Sekarang, sebaiknya kau pulang saja. Minum obat dan istirahatlah di rumah. Besok kau harus berpuasa dan datang sebelum Maghrib untuk salat berjamaah di sini. Setelah itu kau akan kupertemukan dengan Riana."

"Ng?" Joo Hwon mengangkat kepala. "Tapi, saya baru sampai dan belum belajar apa pun."

"Aku tidak mau mengajar orang yang sedang sakit. Pulang dan istirahatlah."

Meski tidak ingin, tapi Joo Hwon akhirnya menyerah.

Bersambung ke Part 17

A Moment To Decide (Oppa Meets Santri KPop) - READY AT GRAMEDIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang