"Kemarin, aku mimpi aku dan kamu menikah."
Zafran belum melepas mata dari ponselnya. Ada enam orang di meja ini, tapi aku tahu ia bicara pada siapa.
"Menikah yang mana?" tanyaku, sedikit cekikikan. Istilah itu menggiring kita pada dua kesimpulan. Pertama, pesta sakral tentang jabatan tangan; yang kedua, malam pertama yang memabukkan.
Zafran tersenyum. "Semuanya," ia bilang, benar-benar serius.
Jujur saja, akan lebih mudah bila kalimat itu hanya berupa candaan. Aku baru beberapa hari kenal dengan Zafran. Pernyataan itu agak susah untuk ditelan. Namun, memang benar--- aku merasa aku dan Zafran memiliki ikatan.
"Zafran," panggilku. Aku suka nama itu. Namanya bagus. "Mungkin, tidak, kalau mimpimu bukan sebuah keinginan--- melainkan sebuah ingatan?"
Zafran percaya reinkarnasi. Aku yakin. Aku tak perlu jawaban. Yang barusan bukan sebuah pertanyaan, maupun pancingan, tapi sebuah kesimpulan.
Aku semakin yakin ada sesuatu di antara aku dan Zafran, ketika suatu hari, aku menelponnya dan bilang aku terjebak di pinggir kota. Sendirian. Tak banyak basa-basi, Zafran berangkat. Aku terselamatkan.
Hari itu, aku dan Zafran dan hujan menciptakan sejarah. Tiga jiwa berpetualang, melahirkan dongeng dalam bentuk prosa.
Perasaanku ketika berkendara bersama Zafran selebihnya begini.
Aku dirasuk Rasa pada tiap tetes hujan. Zafran bilang gerimisnya sedang galak karena tajam-tajam. Aku setuju karena kulitku pun ikut ditikam.
Dari punggungnya, aku dapat melihat banyak hal. Aku melihat kepala Zafran dari belakang, sedikit rambutnya lebih panjang dari helmnya. Aku mengamati kerah jaketnya. Aku membaca label kemejanya. Aku bercermin di spion kanan (karena yang kiri hilang entah ke mana).
Dari sudut yang sama aku dapat menikmati Dinoyo. Aku dan Zafran berselancar dengan motor. Aku mendongak ke pohon-pohon. Cepatlah sampai, cepat--- Zafran memohon. Kita mengendarai angin seperti meminta usia 'tuk cepat dipotong.
"Apa hujan-hujanan di atas motor termasuk dalam list Hal-Hal Paling Romantis milik Zafran?" tanyaku, kepala condong ke kiri.
Aku mendengar senyum Zafran, "yoiiii!"
Maka tentu dua cangkir kopi sama romantisnya. Dan dua pasang sepatu yang dilepas. Dan bantal kursi yang menyimpan basah milik celana. Dan sidik jari yang melapisi sekujur meja. Dan HP yang diabaikan karena percakapan panjang. Dan aku dan Zafran.
Aku dan Zafran bersama.
Aku dan Zafran. Yang tak mendengar suara hujan. Aku dan Zafran dan air-air tajam yang tenggelam. Aku dan Zafran dan suaraku dan suara Zafran. Dan rokoknya. Dan rokokku--- kertas dan pena.
Tapi aku dan Zafran bertanya. Dengan suasana yang sedemikian intimnya, mengapa, di antara aku dan Zafran, tidak ada yang jatuh cinta?
Cerita tentang aku dan Zafran tembus seribu kata. Aku dan Zafran yang menantang romansa. Aku yang pemula di dunia perkopian dan Zafran. Aku, dan Zafran yang bagiku adalah sebuah pilihan.
Aku dan Zafran yang mematahkan teori tentang kencan romantis. Aku dengan kemeja putih yang tipis. Basah, dan menerawang. Zafran yang karena almarhum Bundanya--- menangis. Dan hilang.
Kalau iya situasi tertentu melahirkan cinta, maka aku menolak. Entahlah dengan Zafran, apa ia akan menjawab iya atau tidak. Bagiku sebaliknya. Cinta yang melahirkan situasi tertentu. Dan aku saja tak yakin apakah aku pernah merasakan cinta.
Maka busuk, lah, romansa!
Kalau iya aku dan Zafran pernah bertemu, maka aku akan setuju. Kata Zafran kita pernah bertatap muka di kehidupan yang dulu. Di tempat makan siang tengah kota, tidak saling kenal tapi saling senyum. Sesederhana itu.
Jadi, busuk, lah, romansa.
Untuk seseorang yang belum jadi siapa-siapa, Zafran benar-benar terduga. Sulit untuk berkenalan dengan Zafran ketika aku familiar dengan segala sifatnya. Sulit untuk tidak menantang romansa ketika aku yakin, aku tak merasakan apa-apa.
Jadi, aku dan Zafran itu siapa?
Sepasang manusia yang sangat patuh pada arti nama? Sepasang seniman yang sangat rapuh dalam hal Rasa? Atau sepasang nama? Sepasang rasa? Sepasang indera yang terlalu peka?
Aku sudah khatam terhadap Zafran. Aku mungkin akan selalu menitip pesan pada hujan--- yang pada akhirnya, akan menguap dan kembali ke awan. Mengirim surat ke kotak pos milik Tuhan.
"Tuhan, kalau aku boleh meminta, aku ingin jatuh cinta. Aku tidak ingin mati rasa. Aku ingin menyelami romansa."
"Lah, ya salahmu dewe, to?" Tuhan bilang.
Aku tercengang dan diam. Tuhan bisa bicara? Kalau iya, pun, aku rasa tidak harus dengan suara Zafran.
"Mana ada orang mati rasa yang menginginkan cinta? Wong kamu ngomong gitu itu tandanya kamu hidup kok, ya? Yang butuh disayang ya orang hidup!"
Hujan diam.
Terang.
Matahari keluar, aku mencari binar.
Mulut Zafran kembali betuah, "tutup pintu. Netralkan dirimu. Kalau kau buntu, baru boleh coba padaku."
Aku tertawa lepas. Zafran mendengus keras. Zafran tidak lihai menggoda, jelas. Sekarang dia menunduk seolah mencari semut di dalam gelas.
"Zafran," panggilku. Aku selalu suka nama itu. "Menurutku, aku sudah khatam padamu."
Zafran tersenyum simpul. Dari matanya aku tahu ia paham betul. Lebih bagus lagi--- aku rasa ia setuju. Aku menyesap habis latte-ku saat ia memasukkan bungkus rokoknya dalam saku. Pertemuan ini sudah ditutup.
"Kuantar pulang?" tanya Zafran.
"Tidak usah," aku mengangkat ponsel--- layarnya menunjukkan aplikasi ojek online. Ia membalas dengan anggukan. Driver-ku sudah di jalan. Aku keluar duluan, meninggalkan Zafran.
Nostalgia aku dan Zafran terhadap kehidupan lama, berakhir di sana.
Tulisan ini panjang. Tidak ada kata 'kita'.
Hanya ada aku dan Zafran dan hujan, yang oleh Tuhan dititipi balasan doaku--- ralat, bukan doa--- tapi pesan:
"Masih banyak label kemeja pria yang harus kau baca, sedangkan dia; masih banyak wajah perempuan yang harus ia lihat dari spion kanan."
Surabaya, 26/12/17
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Dan Zafran
Teen FictionApa saja yang dapat mengingatkanmu tentang seseorang? Rintik hujan? Bahu jalan? Gerhana bulan? Headset baru? Sepasang sepatu? Noda saus pada baju? Mari aku ceritakan tentang Zafran yang jejaknya berkeliaran di Surabaya... Mungkin juga memberi sediki...