Aku Dan Zafran Dan Bulan

945 94 0
                                    

Aku merasa ada yang berubah dengan Zafran, semenjak ia membelikanku sepatu dan berlagak seperti bisa membeli satelit sekalipun.

Semakin lama kenal dengan Zafran, aku jadi semakin sering berkelana dengannya, pagi sampai malam. Zafran selalu punya target untuk dipotret. Pagi hari menjelajahi Pasar Pabean, dan di atas maghrib ke pasar malam Tjap Toendjoengan.

Zafran memang berubah, namun ia masih Zafran yang akan menjauh dari pepohonan kalau sedang bulan purnama. Ia masih Zafran yang saat bulan purnama menawarkan, apakah aku ingin diantar beli roti bakar atau tidak, karena gerobak roti bakar di dekat rumahku itu berjualan di lapangan.

Yang aneh dari Zafran adalah ia tak pernah mau mengakui kalau ia cinta mati pada bulan.

Kau ingat, kalimat aneh pertama dari Zafran untukku? Ia bilang bahwa ia mimpi aku dan dia menikah. Itu adalah hal paling aneh yang pernah aku dengar seumur hidup--- mengingat aku dan Zafran baru kenal beberapa hari.

Namun kita sama-sama percaya, bahwa mungkin itu bukan bayangan, tapi malah sebuah kenangan. Dan semenjak aku tahu Zafran percaya reinkarnasi, sejak itu aku tahu ia mengidolakan sosok bulan.

Aku sadar akan hal itu dari lama sekali--- sejak bulan purnama pertama di perkuliahan. Saat itu aku dan teman-temanku baru saja selesai mengerjakan tugas ospek. Kita ngopi di Karang Menjangan. Tanpa Zafran.

"Bulan purnama," ketikku di layar ponsel. Aku mengirimnya begitu saja. Tanpa basa-basi, seperti biasa.

Dan Zafran, dengan segala kejutan yang dimilikinya, membalas pesanku beberapa detik kemudian dengan mengirimkan foto bulan. Kamera ponsel, sih. Aku ingat hasil fotonya. Bulannya jauh, tapi cantik, dan penuh.

"Aku di jemurannya tetanggaku," tambahnya. Aku tersenyum, dengan alis mengerut karena bingung. Aku ingat ketika itu aku diajak mengobrol teman-temanku tentang jadwal malam keakraban, tapi aku mengabaikan mereka.

"Jemuranku tidak terlalu strategis. Ada banyak pohon. Aku tidak suka pohon," jelas Zafran. Aku membutuhkan waktu sedikit lebih lama untuk membalas pesannya.

"Kalau bulan, suka?" tanyaku.

Jawaban Zafran seperti sebuah pengalihan, "aku menyukai segalanya yang indah."

Malam itu, dalam perjalanan pulang, kepalaku mengikuti kemana bulan berada, dan mataku terus memindai langit untuk mencari dimana cahayaku malam itu. Aku tak hanya suka pada bulan. Aku kagum. Tapi kekaguman ini hanya berlangsung dua malam dalam sebulan.

Ketika aku sampai di rumah, (saat mandi lebih tepatnya), aku penasaran apakah Zafran sudah turun dari jemuran rumah tetangganya apa belum. Dan saat sikat gigi, aku melihat ke dalam kedua mataku sendiri, dan berpikir bahwa mungkin ini waktu yang tepat untuk meditasi.

Maka aku bertanya ke Zafran, "Zaf, kamu pernah meditasi tidak?"

Pesanku dibalas setengah jam kemudian, persis sebelum aku bersiap tidur, "belum. Tapi aku ingin coba."

"Mau coba sekarang?"

"Tidak," kata Zafran. Empat detik kemudian muncul pesan baru, "aku masih sibuk dengan bulanku."

"Kau masih di jemuran tetanggamu?"

"Masih."

Aku bergumam sendiri saat itu, mengeluhkan betapa tidak punya kerjaannya Zafran ini. "Kembalilah ke jemuran rumahmu sendiri, jam 12 tepat."

"Kenapa?"

"Pepohonan di halamanmu tidak akan bisa menghalangi, kalau posisi bulanmu tepat di atas kepala."

Maka Zafran menuruti saranku, dan paginya ia berterimakasih untuk itu. Dari 13 bulan yang telah kita lalui, 9 di antaranya dia yang mengabariku kalau nanti malam akan ada bulan purnama. Aku percaya pada horizon yang dibangun bulan penuh, jadi aku akan tetap terjaga sampai benar-benar larut.

Dua purnama terakhir ini, Zafran selalu menawariku untuk beli roti bakar bersama-sama. Setelah itu, kita akan selalu memakannya di lapangan. Aku akan bercerita panjang lebar tentang masa kecilku, tapi Zafran--- dia hanya diam mendengarkan, tak melepas pandangannya dari bulan purnama.

"Dulu aku suka roti bakar rasa coklat karena dilarang sama ibuku," ceritaku. "Sekarang biasa saja, karena tenggorokanku sudah kebal sama meses murah. Aku jadi suka keju."

Zafran mengangkat kepala, menatap lurus ke angkasa. Aku, kalau jadi bulan, ditatap seperti itu sama Zafran, mungkin bisa mati tersesak nafas.

Karena ceritaku tak mendapat respon, aku menunduk, menatap lurus ke roti bakarku yang tinggal seperempat. Aku jadi tak ingin makan lagi, meski ini rasa favoritku--- secuil apapun. Ini roti bakar pertama dari Zafran. Akhir-akhir ini, kalau kita pergi bersama, aku tak pernah membeli sesuatu dengan uangku sendiri. Aku bingung dengan Zafran, dan jadi makin enggan untuk makan.

"Kenapa sih, akhir-akhir ini, kau membuang uang terus untukku?"

Aku tak mendapat jawaban.

"Apa ada yang berkata sesuatu padamu?"

Zafran tetap diam. Yang kudengar hanya gerobak bakso lewat.

Aku mendesah. Aku benar-benar mati gaya kalau sudah didiamkan seperti ini. Lebih baik kalau memang aku ada salah, jadi aku bisa minta maaf. Masalahnya, Zafran selalu menjadi seaneh ini ketika bulan purnama.

Aku pun bisa merasakan sensasi yang berbeda ketika bulan sedang penuh. Ada orang yang kepalanya berat setiap bulan purnama. Ada yang pusing dan lelah seharian. Ada yang gelisah dan marah. Aku? Aku teringat pada kesalahan-kesalahanku di masa lampau.

"Zaf," panggilku, sembari memikirkan bagaimana cara menanyakan hal ini tanpa menyinggung hatinya. "Kenapa kau sangat suka melihat bulan?"

Zafran membutuhkan dua kedipan untuk kembali ke kenyataan.

"Karena," jawabnya, "yang aku tahu, Bulan adalah perempuan yang angkuh. Dengan adanya bulan purnama setiap 29 hari, aku bisa larut memandangnya tanpa harus muncul kembali di garis takdirnya."

Malam itu mengubah hidupku. Bulan bukanlah sebuah benda di mata Zafran.

Ternyata Bulan adalah tokoh.

Surabaya, 15/3/18

Aku Dan ZafranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang