Aku dekat dengan Zafran tapi tidak terikat dengannya, meskipun sudah 3 semester kita terlihat duduk berboncengan di atas motor bebeknya.
Pernah suatu hari di bulan kelima, aku dijemput dengannya naik mobil. Itu mobil ibunya, jadi aku tidak mau pamer di media sosial bahwa kita sedang jalan-jalan naik mobil karena menurutku itu norak sekali, terutama fakta bahwa mobil ini bukan milik kita berdua juga.
Dia menjemputku dengan mobil bukan karena langitnya mendung dan ia tak mau aku kehujanan. (Sebenarnya ia mau aku kehujanan. Aku tahu sekali. Aku terlalu kenal Zafran. Dia suka hujan-hujanan, dan aku tak akan mau hujan-hujanan kecuali aku terlanjur basah kuyup duluan.)
Ada kejutan besar di jok belakang. Sebuah kandang yang berkarat. Kandang itu besar dan tinggi--- seukuran ban mobil. Bau kandangnya juga tidak enak. Aku tahu kalau ini kotoran kucing karena aku punya kucing juga.
"Kamu mau beli kucing?"
"Kok kucing? Aku mau beli kelinci."
"Lho? Ini kan kandang kucing?"
"Lihat dong," suruhnya. "Ada jendela untuk botol minumnya. Dan pintunya digeser ke atas, bukan ditarik ke luar."
"Emang harus selalu seperti itu?"
"Iya, lah."
"Tidak selalu," protesku, "dan kandangnya terlalu tinggi untuk binatang yang tidak bisa berdiri--- seperti kelinci."
Aku berpegang teguh pada pendapatku, seperti yang selalu aku lakukan ketika berdebat dengan Zafran, tentang hal kecil sekalipun. Zafran, kan, memang aneh. Dia menyebut keramas dengan cuci rambut. Dia menyebut jempol dengan ibu jari. Dia kadang terlalu baku. Dia unik karena itu. 'Apa kabar' berarti 'sedang apa' dalam kamusnya.
Nama kelinci baru Zafran adalah Fanta. Katanya, karena matanya merah. Zafran sangat sayang pada kelincinya itu sampai aku cemburu (meskipun aku tahu aku tak punya hak untuk itu). Tidak ada yang benar-benar tahu tentang sisi lembut Zafran yang ini, bahwa ia memelihara minuman bersoda, dan meskipun kelinci tidak bersuara layaknya kucing, tetap sering Zafran ajak bicara soal politik. Hanya aku yang tahu sisi Zafran yang ini. Aku juga satu-satunya orang yang tahu bahwa ia menabung lima-ribuan di kaleng Pringles untuk membelikan Fanta baju.
Sayangnya, pada bulan kedelapan, uang tabungannya ia pakai untuk membeli kaca spion baru, (karena yang kiri hilang sudah terlalu lama). Semenjak itu kalau kita mengobrol, aku akan condong ke bahu kirinya dan perlu aku akui, hal itu terasa lebih normal daripada harus condong ke kanan, meskipun aku pernah mendengar guru agamaku kala itu, kelas 3 SD, bahwa segala sesuatu harus dimulai dari kanan.
Aku ingat, aku memperdebatkan hal itu secara spontan. Namun tak ada guru yang mau mendengarkan celoteh anak kelas 3 SD yang bilang bahwa tangan setan itu tidak ada, dan tangan kiri sama sucinya dengan tangan kanan. Aku benar-benar tidak suka peraturan konyol itu. Aku sering menggunakan tangan kiri.
Aku mengelus leher kucingku menggunakan tangan kiri. Aku menahan wortel dan terong agar tetap berbaring di atas telenan, dengan tangan kiri. Aku juga memotong kuku tangan kiri terlebih dahulu. Dan aku menggunakan tangan kiri untuk memegang tangan Zafran.
Tangan kananku tidak akan pernah menggenggam tangannya, karena aku tidak bisa mengetik di ponselku hanya dengan tangan kiri. Kalau hanya dengan tangan kanan bisa. Jempol kanan--- lebih tepatnya. Memang itu bagian tubuh terbaikku yang sudah diakui oleh Zafran. Jempol kanan.
Jempol kananku akan membalas pesan dari dua atau tiga laki-laki yang namanya tidak sebagus nama Zafran, tapi sama menyenangkannya. Zafran akan melirik nama yang ada di layar ponselku dan pura-pura tidak peduli. Zafran menganggap mereka tidak penting. Tapi, kalau mereka benar-benar tidak penting, dan Zafran benar-benar tidak penasaran, nama orang-orang itu tidak akan muncul di kolom pencarian Instagram-nya. (Jangan bilang Zafran kalau aku tahu tentang ini.)
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Dan Zafran
Teen FictionApa saja yang dapat mengingatkanmu tentang seseorang? Rintik hujan? Bahu jalan? Gerhana bulan? Headset baru? Sepasang sepatu? Noda saus pada baju? Mari aku ceritakan tentang Zafran yang jejaknya berkeliaran di Surabaya... Mungkin juga memberi sediki...