"Halo?"
"Halo."
"Kenapa, Zaf?"
"Nggak papa," Zafran bilang. "Apa kabar?"
Aku berpikir sebentar. "Kedinginan, mungkin. Barusan keramas. Rambutku belum kering. Kalo kamu?"
Zafran diam lama sekali sampai aku harus melihat layar ponsel untuk memastikan bahwa koneksinya masih tersambung.
"Tidak tahu. Aku bingung. Masa aku rindu?"
Aku diam.
Aku diam lama sekali karena harus membalut ulang rambutku dengan handuk baru yang kering. Kemudian aku ke kamar ibuku untuk mengambil sisir yang sampai kapanpun takkan menjadi milikku.
"Halo?"
"Eh, iya Zaf, maaf. Habis dari kamar Mama."
"Nggak papa," ucapnya. "Aku harus bagaimana, ini?"
"Bagaimana apanya?"
"Ya, kalau sedang rindu. Bagaimana cara mengatasinya?"
Aku tahu Zafran tak dapat melihat alisku yang berkerut tak mengerti. Tapi aku pura-pura tidak bingung, dan nurut bahwa rindu itu memang hal yang harus dibayar tuntas, seperti kata Eka Kurniawan.
"Sederhana, sih. Kau bertemu saja dengannya."
"Tapi aku harus pura-pura tidak malu dan harus pura-pura tahu harus bicara apa di depan dia."
"Tidak masalah. Yang penting rindumu tuntas."
"Kalau dia tersenyum, aku malah akan rindu lagi," keluhnya. "Kalau dia tertawa, nanti aku mati!"
Aku memaksakan sebuah tawa.
"Hahahah. Gimana, sih? Kamu ini ingin rindumu selesai atau tidak?"
"Ingin."
"Kalau begitu bilang padanya."
"Tapi aku lebih ingin dia rindu padaku juga."
"Ya sudah, ajak ketemu saja. Buat dia jatuh cinta padamu."
Zafran bergeming. Aku mendengar hening.
"Baiklah," ia bilang pada akhirnya. "Kamu kosong hari apa?"
Aku tahu Zafran tak dapat melihat mataku yang melebar tak percaya. Tapi aku pura-pura tak terkejut, dan nurut bahwa rindu itu memang hal yang harus dibayar tuntas, seperti kata Eka Kurniawan.
"Hmm... besok."
"Oke," katanya. "Aku telepon besok--- dua jam sebelum aku berangkat. Supaya kamu bisa siap-siap."
Zafran menutup telepon, aku menutup mata, membuka handuk yang sudah basah di kepalaku dan mulai menyisir rambut.
Kemudian aku berpikir, persetan dengan rambut yang belum kering.
Aku tidur dengan rambut basah. Besok paginya, bantalku basah juga dan harumnya seperti shampo laki-laki.
Dan persetan dengan shampo yang seksis!
Aku bangun, tidak langsung mandi, tapi bersih-bersih sepanjang hari. Setelah itu (untuk pertama kalinya selama hidupku) tanpa disuruh, aku ke halaman belakang sendiri untuk mencuci baju.
Pekerjaan rumahku selesai jam 12. Ibuku tidak memiliki alasan untuk melarangku pergi dengan Zafran siang ini. Aku mandi dan siap-siap bahkan sebelum Zafran menelpon.
Masalahnya, Zafran tak kunjung menelpon.
Aku menunggu di ruang tengah sampai aku kepanasan. Ibuku tanya, untuk apa aku pakai jaket jins di dalam rumah, dan aku pikir ia ada benarnya, jadi aku melepas jaket dan bahkan melepas blus di dalamnya, lalu menekan angka 3 pada kipas anginku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Dan Zafran
Teen FictionApa saja yang dapat mengingatkanmu tentang seseorang? Rintik hujan? Bahu jalan? Gerhana bulan? Headset baru? Sepasang sepatu? Noda saus pada baju? Mari aku ceritakan tentang Zafran yang jejaknya berkeliaran di Surabaya... Mungkin juga memberi sediki...