Aku tak bisa menentukan apakah aku sedang sial atau justru beruntung, ketika Zafran tahu bahwa dia adalah tokoh di balik sebuah tulisanku.
Dua kalimat sialanku tanggal 13 Februari lalu.
Bagaimana kejadiannya? Kira-kira begini. Malam itu, tiga minggu yang lalu, mungkin setengah 11 malam (karena adik-adikku sudah tidur), saat aku masih suka-sukanya dengan Free Fire--- game tembak-tembakan online untuk ponsel--- Zafran membuatku reflek misuh karena ia menelponku di tengah permainan.
Itu aku lagi perang! Nyawa tinggal dikit--- ditelfon! Aku langsung keringat dingin, sumpah. Pake hapeku nge-lag, segala! Aku cepat-cepat mematikan panggilannya dan kembali ke game, tapi sudah terlambat.
"Halo? Nor?" panggil teman mabarku, Wira, setelah aku hilang 4 detik dari percakapan.
"Jancok!" keluhku. "Zafran nge-freecall aku, cok!"
Wira terpingkal-pingkal dan suara tawanya terdengar jelas di headsetku. "Yak opo iki? Lanjut main ta? Kon matek ngono." (Gimana ini? Lanjut main, nggak? Kamu mati gitu.)
"Sek sek," pintaku. "Kon mabar karo Yudha sek ae." (Bentar, bentar. Kamu mabar sama Yudha dulu aja.)
Dan astaga, betapa baiknya aku, Zaf! Aku menghentikan permainanku karena takut kau terjebak dalam keadaan darurat--- seperti menabrak mobil atau apa.
(Aku ingat--- lima bulan sebelum 13 Februari yang sial itu--- Zafran pernah lapor kalau ia habis menabrak pesawat terbang. Kali ini, aku penasaran odong-odong daerah mana lagi yang akan ia rusak.)
Keadaan darurat lainnya mungkin saat Zafran sadar bahwa besok ada tugas membuat berita, lalu menelpon orang yang rumahnya selalu sedia printer dengan tinta.
Dan benar, menjadi pertolongan pertamanya Zafran, berarti harus siap mental ketika ia tiba-tiba menelfon untuk meminjam apapun--- seperti jaket almamater, catatan kuliah, bahkan helm.
(Atau lebih tepatnya, siap mental untuk menerima kabar bahwa ia sudah ada yang punya.)
"Untuk apa?" tanyaku waktu itu.
"Ya untuk dipake, lah!"
"Kan, kamu udah punya?"
"Ya bukan buat aku, Nor, buat Rena."
"Rena siapa lagi, duh."
"Renata Adi Lestari! Pacarku, gimana sih?" balasnya. "Gimana, boleh kan? Kamu kan ga butuh helm."
(Di sini aku mbatin karena tidak peduli dengan nama di akte kelahiran perempuan itu.)
"Leh, yaopo rek!" bantahku, mulai jowoan karena sebal. Atau marah. Atau cemburu. Entahlah. "Aku butuh, yo!"
"Duh, awakmu lak ambek Hasan se? Hasan kan mobilan. Ga ngarah kepake helmmu," jelasnya. "Lek kuliah yo atek helm gojek. Beres, to?" (Duh, kamu kan deketnya sama Hasan, sih? Hasan kan bawa mobil. Ga akan kepake helmmu.) (Kalo kuliah ya pake helm gojek. Beres, kan?)
Di titik ini, aku sudah kehilangan kata-kata. Teleponnya aku matikan dan aku menjerit kesal. Bagian paling sensitif dari diriku mulai terkuak.
Zafran tidak harus membawa-bawa Hasan ke dalam percakapan kita. Pasti dia sengaja! Ia tahu aku risih dengan cowok itu. Walaupun dia kaya raya dan pintar, aku sama sekali tak tertarik karena aku sedang fokus menjadi teman baik bagi Zafran. Dasar bodoh. Tidak peka.
Si utusan iblis itu datang dua jam kemudian--- mengambil helmku, dan pamit begitu saja. Aku kesal berat (bukan cemburu lho, ya) karena sepertinya, dari baunya, Zafran menyiram seluruh tubuhnya dengan parfum. Ini tidak adil! Harusnya hanya aku yang bisa mencium bau parfumnya. Sekarang, kalau Zafran lewat, ibu-ibu tukang sapu kompleks depan pun bisa!
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Dan Zafran
Teen FictionApa saja yang dapat mengingatkanmu tentang seseorang? Rintik hujan? Bahu jalan? Gerhana bulan? Headset baru? Sepasang sepatu? Noda saus pada baju? Mari aku ceritakan tentang Zafran yang jejaknya berkeliaran di Surabaya... Mungkin juga memberi sediki...