Yang paling aku benci ketika diterpa hujan di atas motor, adalah rintik-rintiknya yang hinggap di kacamataku.
Pertama sedikit-sedikit, lalu semua sekaligus! Dan kecepatan motornya sangat berpengaruh. Di angka 20, pandanganku akan terhalang empat sampai sepuluh tetes saja. Di angka 50, aku bisa minum satu teguk air hujan hanya dengan membuka mulut!
Zafran tidak tahu rasanya karena ia tidak pakai kacamata. Aku ingin sekali jujur dan bilang, bahwa aku kerepotan kalau harus selalu membersihkan kacamata tiap pergi dengannya. Dan dengan bajuku! Baju yang sama kotornya.
Tapi tak bisa kupungkiri--- sebenci-bencinya aku dengan rintik yang mengganggu, aku lebih benci untuk tidak pergi dengan Zafran dan terpaksa memendam rindu.
Seperti pernah saat itu, ketika Zafran menantangku untuk datang ke Tunjungan Plaza tanpa naik ojek online. Ia memberikanku dua pilihan, naik angkot atau taksi konvensional. Karena aku masih waras, akhirnya aku memilih naik angkot yang harganya sepuluh kali lipat lebih murah.
"Jangan berhenti di depan TP-nya langsung," pesan Zafran ketika aku lapor bahwa aku sudah duduk di angkot. Saat itu aku duduk di sebelah ibu-ibu yang bau bawang. Aku ingat.
"Kenapa?"
"Kamu harus coba lift jembatan penyebrangannya Ranch Market!"
Aku tersenyum karena menurutku hal itu tidak penting, dan Zafran tahu betul yang menarik bagiku adalah hal-hal tidak penting.
"Kau mau kita bertemu di sana?"
"Tentu saja," jawab Zafran mantab.
Namun pada saat itu cuacanya tidak mantab. Zafran si pawang hujan, tiba-tiba harus ikut rapat BEM di kampus. Dan sebagai orang penting di organisasi, ia tak mungkin akan mementingkan teman, jadi hilang sudah harapanku untuk menggeser hujan.
Dan hilang juga harapanku untuk menghabiskan siang bersama Zafran.
Aku berdiri di trotoar Basuki Rahmat, kesepian dan tak berdaya, sudah siap untuk naik ke jembatan penyebrangan sendirian, tapi bimbang menggunakan lift atau naik tangga saja. Aku tahu liftnya untuk orang dengan disabilitas, tapi aku benar-benar penasaran!
Kemudian semesta berbicara.
Aku baru saja akan melangkahkan kaki masuk ke lift, ketika aku mendengar guntur dahsyat dan petir yang membelah langit Surabaya. Kaki kiriku masih berada di udara, belum menapak lantai lift, dan aku langsung sadar bahwa itu peringatan untuk tidak bersenang-senang dengan fasilitas yang tak berhak aku nikmati.
Jadi aku mundur, dan lari menuju pintu masuk TP. Betapa konyolnya, betapa memalukannya, dan betapa sialnya diriku ketika hujan langsung mengguyur deras punggung dan kedua kaki usilku.
Sejak aku kenal dengan Zafran, aku tak pernah kehujanan sendirian.
Jadi saat aku sampai di depan mall, naik tangga, dan duduk di bangku panjang tepat di depan pintu otomatis TP 1, aku kedinginan dan aku ingat Zafran yang tak pernah menggigil masuk angin. Ketika aku menunduk dan menatap sepatuku yang basah, aku ingat sandal jepit hijau Zafran yang jelek dan norak sekali.
Dan rinduku memuncak ketika aku menatap ke jalan, ke arah pepohonan tempat seharusnya tukang siomay berjualan, ada sepasang teman (tidak semua pria dan wanita itu kekasih--- contohnya aku dan Zafran) yang berteduh bersama dan tertawa-tawa karena kebodohan si pria, hanya membawa satu jas hujan.
Jadi jas hujan itu mereka buka lebar-lebar, dan mereka jadikan payung raksasa (seperti daun pisang bagi anak-anak kecil dengan kaus kutang) dan mereka berjalan pelan-pelan ke arahku, sehingga aku dapat menyaksikan dengan jelas si pria melangkah lebih dulu agar wanitanya tak menginjak kubangan air.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Dan Zafran
Teen FictionApa saja yang dapat mengingatkanmu tentang seseorang? Rintik hujan? Bahu jalan? Gerhana bulan? Headset baru? Sepasang sepatu? Noda saus pada baju? Mari aku ceritakan tentang Zafran yang jejaknya berkeliaran di Surabaya... Mungkin juga memberi sediki...