1. Prolog

5.7K 107 7
                                    

1787


Hidup dalam masa kolonialisme penjajahan membuat beban kehidupan terasa sungguh berat. Perbedaan antara si kaya dan si miskin sungguh nyata. Hanya orang-orang tertentu saja yang mampu makan lebih dari sekali dalam sehari. Orang-orang yang menjadi abdi pejabat dan yang mampu dan mau bekerja sama dengan penjajahlah yang bisa merasakan hidup enak.
Demikian juga dengan keluarga Samitro dan Samini. Mereka sepasang suami istri yang dipertemukan oleh keadaan, nasib dan takdir membuat mereka menikah. Hidup mereka tertekan secara ekonomi. Tak banyak yang bisa mereka lakukan di lembah tandus yang mereka tempati. Karena tempat itu sungguh tidak bisa ditanami atau diolah menjadi apa pun Mereka sekeluarga tinggal di sana sebagai pengumpul batu yang mereka kumpulkan dan atas perintah kaum penjajah untuk membangun infrastruktur di daerah pertanian dan perdagangan nun jauh dari lembah. Mereka tidak mendapat upah apa pun selain jatah makan umbi-umbian dan air putih sebagai asupan gizi mereka.
Tak banyak pilihan yang bisa Samitro dan Samini lakukan. Sementara Samini sendiri sudah sering mengeluhkan keadaan mereka yang tak pernah berubah dari masa ke masa. Harta yang mereka punya hanya kain lusuh yang melekat di badan mereka yang kelihatan dekil dan lemah.
Setiap sore selepas mereka mengumpulkan batu-batu, Samini selalu merenung di depan gubuknya memandang jauh keluar lembah seakan menembus gelapnya malam. Samini  mengkhayalkan kehidupan yang lebih baik baginya dan anak-anaknya yang menderita kurang gizi. Tubuh mereka tampak kurus dan tidak sehat. Tulang-tulang iga mereka kelihatan menonjol dari balik kulit tubuh mereka yang kotor. Melihat pemandangan itu Samini selalu menangis dalam diam meratapi nasibnya. Dan dari balik dinding bambu yang melindungi mereka dari angin malam, Samitro memandangi istrinya dalam ketidak berdayaan.
Hatinya diliputi kegelisahan, malam itu hujan datang disertai petir yang bersahutan. Samini terjaga dari tidurnya saat ia mendengar ada suara yang memanggil-manggilnya.
"Saminiiii ... bangunlah. Keluarlaaaaahhhh ...." suara itu bergema di telinga, mendirikan  semua bulu kuduk wanita itu.
Samini masih duduk diam di tepi pembaringan kayunya yang lapuk. Udara terasa dingin menusuk tulang di malam hari dan terasa panas memanggang tubuh di siang hari. Ia melihat sekeliling. Samitro masih meringkuk memeluk Gayuh, si bungsu yang kedinginan. Basri, si sulung juga masih terlelap dibawa buaian mimpi.
"Saminiiiii ..., keluarlaaaaahhh ...." suara itu kembali terdengar.
Suaranya menyerupai bisikan panjang dengan irama yang membuai alam bawah sadarnya membawa Samini berdiri dan berjalan ke arah pintu. Dadanya berdebar kencang saat menempelkan wajahnya untuk mengintip keluar. Ia tidak melihat apapun dalam gelap. Hanya suara hujan disertai angin kencanglah yang mampu diterima indra pendengarannya. Bulu kuduknya kembali meremang dan membuatnya menggigil.
"Keluarlah Saminiii ... aku akan membawamu ke padaku ...,  jangan takut, sebab aku akan menolongmu dari semua kesulitan hidupmu ...."
Sejurus kemudian Samini diam. Antara ragu dan takut. Hanya saja, bisikan hati yang untuk mengetahui siapa yang memanggilnya membuat Samini nekat keluar gubuk dan melangkah mengikuti suara yang memandunya. Ia tidak  mengacuhkan segala kegelisahan dan rasa takut yang meliputi jiwanya sejak tadi.
Samini makin jauh melangkah melawan derunya hujan dan petir yang bergemuruh. Pakaiannya basah kuyup. Seperti terhipnotis, ia terus berjalan menembus gelapnya malam. Tanpa ia sadari, kakinya sudah jauh melangkah meninggalkan lembah tandus itu seorang diri.
Dari kejauhan ia melihat seberkas sinar berwarna keemasan dan suara itu terus menuntunnya melangkah ke sana. Hingga sampai di sumber sinar itu, mulutnya ternganga melihat sebongkah batu sebesar telur angsa yang bersinar menyilaukan mata.
"Ambillah aku ... bawalah aku pulang dan penuhi syaratku, maka akan kukabulkan semua keinginanmu."
Suaranya sepertinya benar-benar berasal dari batu yang berkilauan itu. Samini berlutut persis di depan batu dan memandanginya tanpa berkedip untuk memastikan jika ia tidak salah lihat.
"Ambillah aku! Dan jangan ragu-ragu. Tanamlah aku tepat di tengah rumahmu.  Lalu sembelihlah seekor ayam cemani yang akan muncul di rumahmu setelah engkau melakukan syarat pertamaku dan siramkan darahnya tepat dimana aku kau tanam. Masaklah ayam itu dan makanlah bersama dengan seluruh keluargamu. Lalu kau akan menemukan semua yang kau inginkan di tempayan air kamar mandimu. Dan ingat, saat menanam dan menyiramiku dengan darah ayam cemani, jangan ada yang melihatmu melakukannya."
Ragu-ragu Samini meraih batu itu. Cahayanya langsung padam saat tangannya menyentuh batu tersebut.

                   *-*

Samini sampai di rumah menjelang dini hari. Tubuh beserta seluruh tulang persendiannya terasa begitu nyeri dan letih. Samitro yang melihat kedatangan Samini tampak terkejut melihat pakaian dan rambutnya yang setengah basah. Ia menggigil kedinginan dengan bibir yang membiru dan gigi yang saling beradu menahan hawa dingin yang menyerangnya.
"Kamu dari mana Dik, kok basah?” Tanya Samitro.
Samini segera masuk ke dalam gubuknya dan duduk di tepi pembaringan, satu-satunya benda di ruangan itu yang mereka tiduri dan menjadi harta benda mereka.
" Aku jalan-jalan di luar Kang, mencari udara segar. Lalu kehujanan."
"Istirahat saja Dik, biarlah hari ini aku dan anak-anak saja yang mencari batu. Aku takut kamu sakit." Samini mengangguk.
Ia membaringkan badan tanpa mengganti pakaian basahnya. Rasanya tak sabar ia menunggu suami dan anak-anak pergi dan melakukan pekerjaan mereka, agar ia bisa melakukan permintaan dari batu yang dibawanya pulang. Ia belum sepenuhnya yakin jika apa yang dijanjikan oleh batu tersebut akan menjadi kenyataan.
Begitu hari sudah terang, Samitro dan anak-anaknya segera pergi. Dan Samini segera mengambil cangkul dan mulai menggali lubang tepat di tengah-tengah  gubuk reot itu dengan sigap, saat lubang itu dirasa cukup dalam, segera ia meletakkan batu itu dengan perasaan campur aduk antara penasaran dan tidak yakin.
Anehnya, begitu batu itu ditanam, Samini mendengar suara ayam dari luar gubuk dan membuatnya keluar untuk memastikan pendengarannya. Hatinya berdegup kencang melihat seekor ayam cemani yang benar-benar berada di sana dan terlihat begitu jinak, Samini  mengendap-endap mendekati ayam itu untuk menangkap dan memotongnya.
Ia tak menyangka ayam itu bisa ditangkap dengan mudah dan ia langsung memotong dan menampung darahnya serta menyiramkan di atas tanah tempat ia menanam batu tersebut. Setelah semua persyaratan ia laksanakan, Samini segera memanggang ayam itu dengan bumbu seadanya.
Saat tengah hari, suami dan anak-anaknya pulang. Mereka makan bersama olahan ayam Samini ditemani ubi rebus. Dua anaknya terlihat bahagia karena mereka tak pernah makan ayam sebelumnya. Samini menitikkan air mata. Samitro sendiri bertanya-tanya dari mana Samini mendapatkan ayam itu. Tapi ia tak ingin merusak suasana, anak-anak tampak bahagia, sesuatu yang hampir tidak pernah mereka lihat. Nyaris sepanjang usia mereka dihabiskan untuk mengumpulkan batu dari pagi hingga menjelang malam, mereka tidak memiliki waktu untuk bermain dan menikmati masa kecil yang seharusnya penuh warna dan kebahagiaan. Anak-anak itu bahkan jarang membersihkan diri karena sudah kelelahan dengan semua usaha mereka membantu orang tuanya untuk tetap bertahan hidup.
Setelahnya, mereka kembali pergi mengumpulkan batu selepas menikmati makan siang mewah mereka yang pertama kalinya. Begitu mereka pergi, Samini segera bergegas memeriksa tempayan air di belakang. Dan benar saja, tempayan air itu berisi penuh uang, emas dan perak berupa perhiasan. Samini tertegun, lidahnya terasa kelu karena rasa gembira yang tak tertahankan. Ia meraup harta benda dalam tempayan itu dengan kedua tangan dan meremasnya, Samini takut pemandangannya hanyalah fatamorgana dan akan lenyap begitu ia mengedipkan kedua mata.
Seumur hidupnya Samini tidak pernah melihat perhiasan dalam bentuk apa pun, tetapi kali ini, harta benda itu datang sendiri di dalam tempayan airnya. Samini menunggu suami dan anak-anaknya pulang setelah mengumpulkan batu. Dan waktu serasa berjalan lebih lambat daripada sebelumnya. Ada rasa tak sabar untuk menyusul ketiganya dan memberitahukan apa yang sudah terjadi. Tetapi ditahannya hati untuk tidak pergi karena takut benda-benda itu tidak ada di sana lagi begitu mereka kembali.
Tetapi ... tak sampai sore, penghuni lembah itu berbondong-bondong ke arah gubuk Samini dan menggotong Samitro yang kelihatan berlumuran darah di sekujur tubuhnya. Kedua anak mereka menangis dan berlarian mengikuti penduduk lembah itu menuju rumah mereka.
Samini tergopoh-gopoh menyiapkan tempat untuk Samitro, ia membentangkan sebuah tikar pandan lusuh di tengah ruangan, tepat di atas batu yang ia tanam. Beberapa orang membaringkan tubuh Samitro di tempat yang disediakan istrinya. Darah Samitro masih mengalir dan menetes ke tikar dan merembes mengalir ke bawah tikar. Samini menjerit histeris.
"Kenapa Kang Samitro? Apa yang terjadi?" jeritnya.
"Anu Yu, kang Samitro jatuh karena tanah yang dipijaknya longsor. Dan kami menemukannya dalam kondisi seperti ini." jawab Sukardi.
Samini mengelap darah di wajah suaminya yang tidak berhenti keluar. Tangisnya tak terbendung saat membayangkan apa yang akan mereka lakukan tanpa Samitro. Namun ia tahu suaminya masih hidup. Dan saat itu Samitro membuka mata.
"Dik ...." ucapnya parau.
Samini mendekatkan telinga ke wajah suaminya untuk mendengarkan apa yang diucapkan Samitro.
"Jagalah anak-anak kita, bawalah mereka keluar dari lembah ini. Aku ... tak mampu lagi menjaga kalian, mungkin sudah saatnya aku harus pergi." Bisiknya lemah.
Setelah kalimat itu selesai, tangan yang digenggam Samini itu terkulai lemas. Napasnya berhenti sampai disitu dan Samitro telah pergi. Jeritan Samini tak bisa ditahan lagi. Mereka sendirian kini.
Sesuai pesan Samitro, mereka meninggalkan lembah tandus itu dan memulai hidup baru. Samini membawa serta tempayan airnya yang berisi penuh emas permata dan uang. Hingga sampailah mereka di sebuah tepi hutan yang jauh dari lembah tandus tersebut, Samini membangun hidup yang baru dengan mendirikan sebuah rumah yang layak bagi anak-anaknya dan mulai mengolah tanah dengan berladang disana sebagai seorang janda kaya.


Pesugihan Gunung Larangan (Sudah Terbit) √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang