21. Menjebak Jamin

2.2K 62 5
                                    

Ketakutan Pariyah belum benar-benar sirna, namun hidup harus terus berjalan sebab waktu tak pernah berhenti dan menunggu siapa pun. Karenanya, Pariyah kembali memulai aktivitasnya berjualan kembali. Setelah ia dan Tarsini meliburkan diri dari berbagai rutinitas hariab mereka untuk beberapa waktu sejak menimbun kotak perhiasan itu.
Baik Pariyah maupun Tarsini tidak ingin membicarakan apa yang mereka lakukan di kamar belakang itu. Bagi Pariyah, harta itu sengaja ia singkirkan karena tidak mendatangkan manfaat untuknya selain kecemasan. Sedangkan Tarsini berpikir bahwa rumah yang mereka tempati ‘berpenunggu’ sebab setelah kejadian tersebut, Tarsini selalu merasa dingin di tengkuk dan semua bulu kuduknya merinding setiap melewati kamar itu. Ia tidak berani mengatakan pada Pariyah, sebab majikannya seperti tidak merasakan sesuatu yang berbeda. Pintu kamar dan jendela itu masih tetap tertutup dan hampir tidak pernah dibersihkan. Berbeda dengan kamar-kamar lain yang tetap dibersihkan dan dibuka jendelanya meskipun tidak dipergunakan. Yang jelas, seperti ada kesepakatan diantara mereka berdua untuk tidak membicarakan isi kotak dan kamar angker itu.
Setelah libur panjang, mereka memulai kembali kegiatan mereka di toko kelontong yang dikelola Pariyah. Sebelum memulai jualan, Pariyah mengajak Tarsini berbelanja semua keperluan toko dan dapur mereka. Hampir setengah hari mereka berkeliling pasar untuk membeli berbagai barang.
“Yu, kita makan siang dulu di warung makan di depan pasar ya? Aku sudah lapar.”
“Baik, Nyai. Saya juga sudah lapar.”
Keduanya langsung mengumpulkan semua barang belanjaan yang mereka beli ke kusir andong yang mereka sewa dan bergegas ke warung makan yang dimaksud Pariyah. Kondisi warung itu tidak terlalu ramai oleh pengunjung sehingga mereka berdua leluasa memilih tempat duduk. Keduanya sepakat duduk di sudut ruangan yang berada tepat di depan etalase warung. Dari situ mereka bisa memandang lalu lalang orang yang berbelanja di pasar. 
Pemilik warung segera mendekati tempat duduk mereka.
“Mau pesan apa, Nyai?” tanyanya ramah.
Laki-laki itu cukup dikenal Pariyah. Ia sering sarapan di warung ini setiap kali ia ke pasar.
“Seperti biasa, Kang.” Pandangan Pariyah beralih ke Tarsini.
“Yu Tarsini mau makan apa?”
“Apa saja, Nyai.”
“Baiklah, yang seperti biasanya dua ya, Kang Narwan.” Ia tersenyum dan dibalas oleh pemilik warung yang segera pergi menyiapkan pesanannya.
Secara diam-diam, Pariyah dan Narwan saling memendam rasa. Hanya saja Pariyah tidak ingin nasib Narwan akan berakhir seperti Markun dan yang lainnya. Melihat sosok Narwan membuat Pariyah teringat pada Bardi. Laki-laki yang tidak seharusnya dikorbankan untuk suatu hal yang sia-sia.
Sementara Pariyah tenggelam dalam angan, Narwan yang sedang menyiapkan pesanan mereka, diam-diam mencuri pandang ke arah Pariyah. Walaupun hanya melihat punggungnya sudah cukup membuat jantungnya berdebar keras. Ia ingin mengungkapkan seluruh isi hati dan niatnya untuk menikahi Pariyah. Tetapi ia ragu-ragu, takut Pariyah menolak niat baiknya karena Narwan bukanlah laki-laki yang layak untuk menikahi janda kaya secantik Pariyah.
Setelah selesai meracik pesanan pembelinya, Narwan segera menghidangkannya di meja Pariyah dan Tarsini.
“Terimakasih, Kang.” Ucap Pariyah.
Suaranya terdengar bagai buluh perindu di telinga Narwan yang hanya mampu tersenyum, ia tak dapat berkata apa-apa di depan perempuan yang ia sukai.
Pariyah dan Tarsini segera menikmati hidangan di meja dan melanjutkan belanja. Setelah dirasa cukup, menjelang sore mereka pulang dan menyusun dagangan di toko hingga melewati senja. Tubuh mereka yang lelah menuntut mereka untuk beristirahat setelah membenahi isi toko dan rumah yang mereka tinggali. Kini mereka telah siap untuk memulai berjualan keesokan harinya.

*-*

Selanjutnya Pariyah belanja ke pasar sendirian. Ia meninggalkan Tarsini kembali untuk mengurus rumah dan menjaga toko. Pariyah sudah mulai membiasakan diri untuk melakukan semuanya kembali sebelum Markun menyerangnya di hutan itu. Karena sudah mulai membaur kembali dengan masyarakat, ia mulai kembali berinteraksi dengan banyak orang. Hampir semua orang yang dikenal Pariyah mengetahui kalau dia seorang janda. Dan seperti dugaan banyak orang, mulai berdatanganlah laki-laki yang mendekatinya dengan berbagai maksud.
Melihat banyaknya laki-laki yang mendekat, Narwan akhirnya memberanikan diri untuk mengungkapkan semua yang ia rasakan pada Pariyah ketika warung makannya sedang tak banyak pengunjung sementara Pariyah sedang makan siang di sana.
“Nyai, ... mungkin Akang terlalu lancang, tapi apa salahnya jika Akang mengutarakan maksud Akang untuk menikahi Nyai.” Ucapnya tiba-tiba.
Ia duduk di depan Pariyah sambil menunggu jawaban yang bagus dari wanita pujaan hatinya itu. Tanpa bisa berkata-kata untuk menjawab pernyataan Narwan, Pariyah menatapnya dengan perasaan sedih.
“Kang, maafkan aku. Bukan bermaksud untuk menolak niat b Akang, tapi sebaiknya  Akang mencari wanita lain yang lebih baik.”
Waktu seperti berhenti berjalan untuk sesaat. Mereka saling diam. Dalam hati Pariyah merasa sedih telah menolak laki-laki sebaik Narwan. Namun ia mencoba mengobati luka hatinya dengan berkata pada dirinya sendiri. Narwan akan celaka apa bila menikah dengannya.
Narwan sendiri merasa sedih dan kecewa. Seharusnya ia mengetahui sejak awal, Pariyah tidak akan pernah berharap pada laki-laki seperti dirinya. Namun Narwan tidak menyesali apa yang telah ia lakukan, setidaknya ia telah mencoba.
Waktu berlalu. Toko Pariyah semakin ramai dikunjungi orang. Hal ini menyebabkan Pariyah jadi lebih sering ke pasar. Suatu hari, ia melihat warung makan Narwan yang tutup sampai berhari-hari. Hatinya menjadi cemas, ia takut sesuatu yang buruk sedang terjadi pada Narwan yang kemudian memaksanya untuk mencari tahu.
Adalah Jamin, seorang juragan kaya dan tuan tanah yang sering bertemu Pariyah di warung Narwan. Tanpa sengaja mereka bertemu lagi di kedai kopi, di seberang warung makan Narwan.
“Kang Jamin, kok warung makan Kang Narwan tutup hingga berhari-hari? Apa dia sudah tidak berjualan di pasar ini lagi?” Pariyah tidak dapat menahan diri lagi untuk menayakan Narwan pada Jamin.
“Kenapa bertanya soal Narwan, Nyai? Sudah rindu ya?” balas Jamin menggoda.
Semburat merah menghiasi wajah Pariyah.
“Ah, Akang bisa saja. Saya hanya heran, kenapa tutup begitu lama, kan warungnya selalu ramai pembeli.”
“Tak usah menayakan dia, Nyai. Narwan pulang kampung untuk menikahi perempuan pilihan orang tuanya. Bagusnya, Nyai menyakan soal Akang saja.” Jamin tergelak.
Laki-laki itu mulai genit di depannya. Dalam hati, Pariyah tidak menyukai Jamin. Perilaku laki-laki itu seperti centeng pasar. Sebagai rentenir, ia menjajakan uang pada para pedagang pasar dengan jaminan surat tanah mereka. Jika tidak sanggup membayar hutang, dengan senang hati Jamin akan menyita tanah mereka. Selain itu, jamin suka mengganggu setiap perempuan cantik yang ia temui. Meskipun ia sudah beristri, ia tak segan mengawini gadis lain yang orang tuanya terlibat hutang piutang pada Jamin dan tidak sanggup membayarnya. Kandidat yang cocok untuk Pariyah!
Jamin sebenarnya mengincar Pariyah sejak pertama kali melihatnya. Ia banyak melihat perempuan cantik, tetapi tidak ada yang seperti Pariyah. Selain cantik dan ramah, Pariyah tidak pernah terlihat sedang marah. Dan sekarang ia memiliki kesempatan mendekati perempuan ini yang tiba-tiba mengajaknya bicara.
Ia sedikit merasa ditusuk karena Pariyah menanyakan soal Narwan, yang hanya memiliki warung makan sederhana dibandingkan dirinya yang selalu kelihatan perlente di setiap kesempatan. Namun ini suatu kemajuan, sebelumnya mereka tidak pernah saling bicara kecuali saling bertukar senyuman setiap bertemu di warung makan Narwan.
“Nyai ke pasar bersama siapa?” tanyanya kaku.
Ia tiba-tiba tak berkutik di depan Pariyah.
“Sendiri saja, Kang. Yu Tarsini, yang biasa menemani saya harus menjaga toko di rumah. Sudah semakin ramai pembeli, jadi tidak bisa ditinggalkan, sayang.” Jelasnya.
“Kalau begitu, Akang antar ya. Akang bawa andong sendiri.” Tawar Jamin yang sengaja mencari kesempatan.
“Ah, tak usah Kang Jamin, merepotkan saja.”
Pariyah sengaja bersikap jual mahal untuk memancing rasa penasaran Jamin. Pariyah mulai menyadari, jika Jamin tertarik padanya.
“Tidak, Nyai. Akang tidak repot. Kan lumayan, Nyai dapat tumpangan gratis, dari pada menyewa andong.” Desaknya.
“Hmm, baiklah jika Akang memaksa. Namun sebaiknya Akang tidak usah singgah, saya takut istri Akang mengetahuinya, nanti jadi panjang urusan.” Seloroh Pariyah.
“Tak usah takut, Nyai. Akang yang punya kuasa, mereka tak akan berani marah pada Nyai, selama ada Akang yang menemani.” Rayunya.
Semburat merah kembali menghiasi wajah Pariyah. Ia tersipu, risih dengan rayuan Jamin yang membuatnya menyerah dan mau diantarkan pulang oleh laki-laki itu. Sepanjang perjalanan Jamin tidak berhenti merayu dan memuji-muji Pariyah yang hanya tertawa mendengarnya. Ia tahu, lelaki seperti Jamin tidak pernah bisa menjaga kesetiannya pada perempuan, karenanya ia tidak terlalu meladeni gombalannya.
Sejak saat itu Jamin menjadi semakin berani bertandang ke rumah Pariyah. Ia berterus terang ingin memperistri Pariyah dan sebelumnya dia sudah memiliki empat istri.
“Terus terang saja, Nyai. Kita sudah sama-sama dewasa dan saling memahami apa yang kita inginkan jika kita mengenal lawan jenis. Akang ingin memperistri Nyai.” Ujarnya saat mengunjungi Pariyah di suatu sore.
“Maaf, Kang. Aku tidak menolak permintaan Akang, tetapi Akang kan sudah memiliki empat istri? Bagaimana dengan mereka?”
Jamin tertawa.
“Biarlah itu jadi urusan Akang, Nyai. Apa salahnya Akang kawin lagi jika Akang mampu? Hidup ini terlalu singkat, bersenang-senanglah dengan apa yang kita punya selagi sempat. Benar kan?”
“Tapi Kang ....”
“Jangan terlalu banyak pertimbangan, Nyai. Coba lihat dirimu yang harus jungkir balik mencari nafkah seorang diri. Kalau Nyai mau jadi istri Akang, Nyai tidak perlu bekerja keras lagi. Semua keperluan Nyai, akan Akang sediakan.” Desaknya memotong kalimat Pariyah.
“Ah, Nyai sudah biasa melakukan semuanya sendiri Kang. Lagi pula Akang kan punya istri. Nyai takut dicemooh orang, dianggap perusak rumah tangga orang.” Jawabnya klise.
“Itu bisa diatur Nyai, Akang kan sering keluar kota. Nyai bisa tetap tinggal disini tanpa harus diketahui keluarga Akang. Hak Nyai sebagai istri Akang akan tetap Akang penuhi seperti istri Akang yang lain, meskipun mereka tidak mengetahui keberadaan Nyai.”
“Nyai pikirkan dulu ya Kang.” Ucapnya sok jual mahal untuk membuat Jamin penasaran.
“Jangan kelamaan mikirnya, Nyai. Keburu Akang tak tahan menahan rindu dan perasaan Akang pada Nyai.” Goda Jamin genit sambil mengerling.
Beberapa waktu berikutnya, Pariyah sudah dinikahi Jamin di bawah tangan di luar kota dan hanya disaksikan beberapa kerabat Jamin serta beberapa orang bayaran Pariyah untuk mengaku sebagai keluarganya. Mereka menjalani hidup seperti tidak sedang terjadi apa-apa. Dua atau tiga kali dalam seminggu Jamin datang untuk menafkahi Pariyah lahir batin, sesekali mereka janjian bertemu di luar kota saat Pariyah akan mengunjungi anaknya.
Sepertinya Pariyah mulai terbiasa hidup sebagai perempuan simpanan dan hanya di ketahui oleh pembantu setianya yanga akan mengunci rapat semua rahasia Pariyah yang ia ketahui. Tarsini merasa berhutang budi atas semua kebaikan Pariyah, oleh karenanya ia akan melakukan semua hal baik untuk Pariyah demi membalas semua kebaikan yang ia terima.
Hari itu, tak seperti biasanya udara begitu panas menyengat. Tarsini mengerjakan semua pekerjaan rumah itu sambil menjaga warung saat ada dua perempuan mendatangi rumah Pariyah. Pariyah sendiri sedang tidak ada di rumah karena sedang mengunjungi kedua anaknya di pesantren ditemani Jamin.
Dua perempuan itu datang menaiki andong yang langsung pergi setelah menurunkan mereka. Salah satu dari perempuan itu sedang hamil tua dan satu lagi setengah baya, sepertinya ibu dari perempuan muda yang sedang hamil tersebut.
“Permisi ....”
Tarsini tergopoh-gopoh keluar.
“Iya, Neng .... Mencari siapa?” ia menemukan kedua perempuan itu sudah di teras.
Perempuan paruh baya itu melonggokkan kepalanya ke dalam rumah Pariyah.
“Maaf, apa Nyai pemilik rumah ini?” tanyanya sambil mengernyit, ia memperhatikan penampilan Tarsini.
Tarsini mengelap tangan di kedua sisi pakaiannya.
“Maaf Nyai, majikan saya sedang keluar kota. Ada perlu apa?” Ia mempersilahkan dua perempuan itu duduk di teras dengan isyarat tangannya.
“Oh, jadi kamu hanya babu di rumah ini?” tanya si perempuan muda ketus.
“Maaf, Neng. Selama Nyai tidak di rumah, saya yang berkuasa untuk mengusir semua orang yang bersikap kurang ajar.” Balasnya.
Tarsini tidak menyukai perempuan bermulut tajam di depannya.Perempuan hamil tersebut memandang ke sekeliling rumah besar dan mewah ini. Perabotan rumah itu dari kayu yang sepertinya jati dan kelihatan mengilat terawat. Hatinya panas.
“Majikanmu itu, janda? Apa sudah lama dia tinggal disini?”
“Nyai Pariyah sudah lama tinggal disini Neng, suaminya meninggal beberapa waktu lalu. Dan kedai di depan itulah mata pencaharian Nyai Pariyah serta ada beberapa barang berharga peninggalan suaminya.” Terangnya, ia membaca pikiran orang itu.
Perempuan baya di depannya mengambil alih.  “Begini Nyai, ini anak saya. Saya mendengar kabar, suaminya,  si Jamin sering kesini. Jamin tidak pulang selama berhari-hari. Ia telah melalaikan tanggung jawab pada istrinya.”
Tarsini diam mendengarkan, dalam hati dia membandingkan Pariyah dengan perempuan muda di depannya yang bersikap ketus dan kasar. Berbeda dengan Pariyah yang selalu ramah pada siapa pun dalam kondisi emosi apa pun. Wajar jika sikap lembut dan wajah ayunya mampu merebut perhatian setiap lelaki.
“Jadi, apa benar Jamin sering kemari?” lanjut wanita tua itu.
“Maaf Nyai, banyak laki-laki singgah kemari untuk menemani istrinya berbelanja. Tapi saya tak tahu siapa laki-laki yang Nyai maksud.” Jawabnya sedikit kesal.
“Kamu tak usah menutupilah, majikanmu itu janda. Pasti suka bergenit-genit dengan laki-laki.” Serobot perempuan muda itu.
“Maaf Neng, jika saya salah. Tapi majikan saya itu perempuan terhormat. Tak mungkin dia menggoda suami orang.”
“Ck! Alah ..., kamu sama saja! Sudah tentu kamu akan membela majikanmu, yang seperti pelacur itu!”
Tarsini mulai panas, ia langsung bangkit berdiri dan bertolak pinggang.
“Jika kalian berdua tak bisa sopan. Lebih baik kalian tinggalkan rumah ini. Tak ada orang yang bernama Jamin di sini. Dan majikan saya bukan pelacur! Dan sebaiknya, jika mencari suatu informasi, belajarnya tata krama terlebih dahulu. Sekarang, silahkan pergi dari tempat ini!” hardiknya.
Tarsini tak rela Pariyah dilecehkan karena di matanya ia bukanlah perempuan penggoda suami orang. Bahkan tidak pernah bersikap buruk pada orang yang punya niat jahat kepadanya.
“Baik! Kami akan pergi dari sini. Tapi ingat, jika sempat kami melihat Jamin berada di sini, kamu akan menyesal. Dan jangan salahkan kami jika kelak hidup kalian akan hancur.”
Perempuan muda itu begitu emosional. Ia berdiri tegak dan menarik tangan ibunya untuk segera pergi dari situ. Tarsini menggeleng-gelengkan kepala melihat perilaku tamunya.
Pagi berikutnya, Pariyah pulang naik andong tanpa Jamin seperti yang dituduhkan perempuan itu. Tarsini menunggu hingga Pariyah beristirahat setelah perjalanan jauhnya untuk menceritakan dua orang tamu tak diundang itu. Pariyah bangun menjelang senja, ia segera mandi untuk menyegarkan badan dan pikiran lalu ke ruang makan yang menyatu dengan dapur dan menemukan Tarsini sedang berbenah.
“Warungnya sudah tutup, Yu?” tanyanya sambil menuangkan air ke dalam gelas.
Ia duduk di kursi dan meneguk minumannya.
“Sudah, Nyai. Baru saja saya menutupnya. O iya, kemarin ada tamu yang datang kemari.”
Tarsini mengelap tangannya yang basah setelah mencuci piring lalu duduk berhadapan dengan Pariyah. Ia mulai bercerita tentang kedua orang yang datang dan mencari Pariyah. Meskipun tidak mengatakan secara rinci, Tarsini memberikan penjelasan jika salah satu tamu itu sedang hamil tua dan marah-marah pada Tarsini saat menanyakan suaminya, Jamin.
Pariyah hanya tersenyum menanggapi cerita Tarsini. Jauh sebelum kedua tamu yang mencarinya datang, Pariyah sudah menyiapkan diri apabila suatu saat ia harus menghadapi masalah seperti ini, sebab Pariyah telah mengetahui bagaimana akhir kisah seperti ini.






Pesugihan Gunung Larangan (Sudah Terbit) √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang