12. Bardi

1.9K 53 3
                                    

Semakin hari, semakin sering Sarina bepergian. Pekerjaan Wak Ogel juga bertambah. Laki-laki tua itu menjalankan semua perintah Sarina untuk sekedar menyibukkan diri supaya tidak terus-menerus mengingat kematian Nyai Una. Mimpi buruk tetap menemani Wak Ogel di setiap waktu istirahatnya. Karena kondisi yang demikian, ia memaksakan diri untuk terus terjaga agar tidak perlu mengalami mimpi buruk tentang penderitaan Nyai Una. Ia tidak sampai hati melihat sang istri menderita walau hanya dalam mimpi.
Karena kondisi kurang tidur serta tenaga yang terus dipaksakan untuk bekerja keras, Wak Ogel akhirnya jatuh sakit dan akhirnya meninggal. Meskipun bukan anggota keluarga, Sarina menguburkan Wak Ogel secara layak dan membuat tahlil hingga seminggu setelah kepergiannya. Ini jelas berat bagi Sarina.  Selama ini, ia menganggap bahwa Wak Ogel dan Nyai Una adalah pengganti orang tua dan kini mereka semua telah pergi.
Setelah kepergian mereka berdua, Sarina terpaksa harus mencari pegawai yang bisa mengurus toko dan rumahnya selama bepergian untuk berbagai keperluan. Beruntung ia menemukan Darti, gadis desa setempat yang bersedia membantu Sarina menjaga toko dan membereskan semua pekerjaan rumah.
Darti adalah orang yang tepat, sebab ia bisa dipercaya dan selalu jujur serta loyal pada sang majikan. Seperti hari itu, saat Sarina akan bepergian untuk beberapa waktu ....
"Dar, tolong jaga warung selama aku pergi. Layani pembeli dengan baik agar mereka tidak kecewa dan mau berbelanja di sini kembali jika ada yang mereka perlukan."
"Baik, Nyai."
"Aku akan pergi selama beberapa lama, selain membeli keperluan toko, Nyai juga akan menemui anak-anak Nyai di pesantren. Jadi, anggaplah ini sebagai tokomu sendiri. Semua kebutuhan makan sudah Nyai sediakan. Jika ada yang kurang, Nyai meninggalkan sedikit uang di laci dapur untuk keperluan tambahan.”
Darti mengangguk. Ia gadis yang baik dan rajin bekerja, karena itu Sarina mengizinkan Darti membawa adiknya untuk menemani dia di rumah selama Sarina bepergian.
Sarina sedang berusaha keras untuk mencari calon suami sekaligus calon persembahan bagi sang Ratu, sebab waktu yang tersedia sudah semakin berkurang setiap hari. Dari berbagai kegiatan yang ia lakukan, Sarina berkenalan dengan Bardi, seorang laki-laki yang beberapa bulan lalu bercerai dari istrinya. Dari pernikahan itu, Bardi juga memiliki dua orang anak yang kini dirawat oleh mantan istrinya.
Laki-laki itu rupanya tertarik pada kecantikan dan keramahan Sarina. Demikian juga Sarina, ia menyukai penampilan Bardi yang selalu bersih dan rapi. Selain itu, Bardi berbeda dengan pria kebanyakan yang selalu bersikap genit melihat janda cantik sepertinya. Ia juga seorang pekerja keras.
"Jadi, Nyai juga memiliki anak dari pernikahan sebelumnya?" tanyanya setengah menggoda Sarina.
Mereka sedang berada di kedai makan di suatu waktu. Sambil menunggu dilayani pemilik kedai, mereka berdua mengobrol untuk saling menjajagi pribadi masing-masing.
"Iya Kang, anak-anakku mondok di pesantren. Jadi aku tinggal sendirian ditemani batur."
"Jika boleh tahu, anak Nyai ada berapa orang?" tanya Bardi menyelidik.
"Ada dua Kang, yang sulung laki-laki, umurnya hampir 13 tahun, adiknya dua tahun di bawahnya, perempuan."
Beberapa saat kemudian, pelayan kedai menyuguhkan pesanan mereka. Cuaca di luar sangat panas, memaksa mereka minum es dan memesan masing-masing sepiring nasi dengan lauk-pauknya.
"Nyai, ... kalau boleh, Akang ingin memperistri Nyai." Ucap Bardi terus terang.
Hati Sarina sedikit berdebar. Ia menyukai lelaki ini. Sangat baik dan perhatian, tapi ... apa iya Sarina akan tega menjadikan dirinya sebagai tumbal? Sedangkan waktu yang dimiliki Sarina semakin sempit, tidak akan sempat mencari calon korban seperti yang ia inginkan. Jika tidak, itu berarti Sarina telngah meletakkan Aryo dan Marni ke  dalam bahaya. Sarina menggeleng.
"Nyai tidak mau jadi istri Akang?" tanya Bardi cemas melihat gelengan Sarina.
"Ah, bukan itu Kang, tapi apa benar Akang ingin menikahi Sarina?”
Bardi tersenyum.
"Iya Nyai, Akang serius ingin memperistri Nyai. Akang akan menerima kedua anak Nyai sebagai anak Akang sendiri." janjinya.
"Apa Akang mau, berpindah dan tinggal di kampung Nyai, bersama Nyai, tinggal di rumah Nyai?" tanya Sarina memastikan.
"Akang tidak keberatan tinggal dimanapun, asalkan Nyai mau menerima Akang apa adanya."
Sarina menghela napas.
"Iya Kang, tapi sebelumnya Nyai harus memberi tahu anak-anak terlebih dahulu agar mereka mengizinkan rencana kita."
Senyum Bardi mengembang. Ia mengangguk dan mereka kembali melanjutkan makan.
*-*

Sarina mendatangi anak-anak di pesantren. Ia membawa pakaian baru dan berbagai jenis makanan untuk mereka dalam jumlah yang banyak supaya mereka bisa berbagi dengan teman-temannya. Ia begitu rindu pada mereka berdua.
Mereka bertemu di ruangan yang disediakan oleh pengelola pesantren bagi para santri untuk menerima tamu. Aryo duduk tepat di sebelah Sarina dan kelihatan begitu bahagia ketika ibunya datang. Dilampiaskannya rasa rindu yang memenuhi jiwanya dengan terus memegang tangan Sarina. Lain Aryo, lain pula Marni. Ia bersikap acuh tak acuh seperti sedang malas bertemu ibunya. Bahkan ia tak mau mendekat pada Sarina.
"Marni, ayolah Nak, duduklah disini bersama Emak." rayu Sarina sambil membentangkan satu tangannya, sementara tangan yang lain memegang jemari Aryo.
"Emak tidak usah kemari, kami akan baik-baik saja tanpa dijenguk." Marni duduk di seberang meja ibunya.
Wajah Marni terlihat ketus dan muram.
"Emak rindu pada kalian Nak." ucap Sarina lirih seraya menundukkan kepala.
"Jadi? Emak sayang pada kami?"
Sarina menegakkan kepala mendengar pertanyaan Marni.
"Tentu saja Nak, bagaimana bisa seorang ibu tidak menyayangi anak-anaknya?" jawab Sarina dengan suara parau.
"Lalu kenapa Emak meninggalkan kami di sini, selama bertahun-tahun? Emak bahkan melarang kami pulang ketika libur tiba serta jarang mengunjungi kami? Tahuka Emak, jika kami merasa seperti yatim piatu yang tak punya orang tua." Marni menangis meluapkan emosinya yang terpendam.
"Marni, Emak menitipkan kalian di sini untuk suatu alasan. Ini untuk kebaikanmu dan Aryo." Sarina ikut menangis kini.
"Iya ... agar Emak, bisa menjaga dan merawat anak Emak yang satu lagi. Kehadiran kami hanya akan merepotkan bagi keluarga baru Emak!”
Mendengar itu, hati Sarina seperti disayat sembilu. Ia tak menyangka anaknya bisa berpikir seperti itu. Namun kenyataannya ia memang tidak bisa membiarkan anaknya menghabiskan waktu libur bersamanya, tak bisa membiarkan anak-anak pulang demi keselamatan mereka, Sarina sendiri tak bisa sering kesini menjenguk mereka karena terikat perjanjian dengan Panji dan Satrio, dan untuk itu ia tidak bisa menyalahkan Marni untuk berprasangka demikian.
Sarina merelakan anaknya berpikir begitu atau memaki-maki dia sekalipun karena suatu saat nanti mereka akan menyadari pengorbanannya jika mereka tahu alasan yang sebenarnya.
"Iya Nak, Emak memang salah. Emak berharap kalian mampu memaafkannya suatu saat nanti." Hanya itu yang mampu Sarina ucapkan.
Tubuhnya terguncang meredam tangis dan emosi. Marni tetap kukuh tak mau mendekat ke arah ibunya. Ia terpaku di kursi, walupun sebenarnya ia ingin menghambur ke pelukan Sarina. Ia terlanjur terluka oleh sikap ibunya yang tidak pernah mau menjelaskan apa yang sedang  terjadi selama ini.
"Lalu apa yang membuat Emak tiba-tiba datang menjenguk kami?" ucapnya sesaat setelah berhasil menguasai diri.
Sarina kembali menengadah setelah mengumpulkan semua kekuatan.
"Nak, ... sebenarnya Emak sudah berpisah dengan ayah Satrio, dan Satrio kini ikut bersamanya."
"Jadi? Maksud Mak, kami boleh pulang?" mata Marni berbinar, Aryo juga memandang Sarina.
"Anakku, Mak belum bisa membawa kalian pulang, tapi Emak berjanji, kalian akan hidup lebih baik jika kalian sungguh-sungguh belajar. Berjanjilah Nak, bahwa kalian akan berusaha menjadi orang hebat suatu saat nanti, jika sudah waktunya kalian kembali, Emak sendiri yang akan menjemput kalian kesini.”
Raut wajah kecewa itu kembali muncul. Marni belum mengerti maksud ibunya. Ia masih berpikir jika Sarina memang sengaja mengasingkan mereka.
"Emak sengaja menjauhkan kami dari rumah, agar Emak leluasa mencari kesenangan tanpa gangguan. Mak, jika Emak mengizinkan kami pulang, maka kami berjanji tidak akan merepotkan Emak. Kami akan melakukan apapun yang Emak perintahkan, dan kami akan patuh pada Emak." Marni menangis terisak.
"Nak, jika saja Emak bisa meluluskan permintaan kalian .... Emak sungguh tak bisa melakukannya. Ini semua demi kebaikan kalian, percayalah ... Emak juga sama menderitanya dengan kalian." ucap Sarina sedih.
"Emak tak perlu bersedih! Emak memang menginginkan kami disini, untuk suatu alasan yang tidak pernah kami ketahui. Baiklah! Kami akan melakukan yang Emak inginkan, jika itu membuat Emak merasa senang." kalimat Marni menjadi sinis.
Setelah kalimatnya selesai, Marni segera meninggalkan ibunya dan Aryo, tanpa menghiraukan panggilan Sarina. Gadis kecil itu pergi sebelum Sarina sempat mengungkapkan niat untuk menikah dengan Bardi.
Sarina hanya menghela napas menahan pedih di dada, selanjutnya ia menasihati Aryo agar menjaga adiknya dan belajar lebih giat lagi di sana. Kemudian Sarina pulang tanpa memberi tahu tentang rencananya.
“Ah, sudahlah. Mungkin akan lebih baik jika mereka tidak mengetahui rencanaku.” pikir Sarina.
Toh, Bardi hanya akan mendampinginya hingga saatnya tiba bagi Sarina untuk melepaskan Bardi sebagai persembahan. Mengingat itu, Sarina merasa menjadi manusia yang paling hina di dunia ini. Ia jauh dari Tuhan, telah melakukan perbuatan terkutuk, dan lebih buruk lagi, mengabdi kepada iblis selama hidupnya.

Pesugihan Gunung Larangan (Sudah Terbit) √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang