2. Sarina

3.6K 66 3
                                    

1965

Banyak hal yang membuat manusia ingin mengubah keadaan. Apalagi jika masalah ekonomi sudah mendera. Tuntutan kebutuhan dan gaya hidup membuat manusia nekad berbuat apa saja untuk memenuhi hawa nafsunya mengikuti perkembangan jaman. Jika kebutuhan makan tercukupi, terkadang manusia menginginkan pakaian yang lebih bagus, memiliki perhiasan, mempunyai rumah mewah, dan seterusnya karena kodrat manusia yang tidak pernah puas dengan apa yang mereka miliki.
Demikian juga Sarina, ia berjalan di tengah panasnya matahari sambil menjajakan dagangannya yang belum laku dari semenjak ia keluar rumah untuk memulai berjualan. Pikirannya kalut, ia harus memberi makan dua anak yang masih kecil seorang diri semenjak suaminya meninggal setahun lalu. Belum lagi ibunya yang sudah renta dan mulai rapuh kesehatannya. Harta peninggalan bapaknya juga habis terjual sejak ibunya sakit-sakitan. Mereka terpaksa menjualnya karena memang tak ada yang membantu Sarina mencari nafkah, sedangkan ia adalah anak satu-satunya, sementara itu keluarga almarhum suaminya juga tak terlihat peduli pada keadaan mereka, bahkan menjauh. Harta mereka hanyalah rumah yang tidak mungkin dijual karena menjadi satu-satunya pelindung dari panas dan hujan. Untuk itu, Sarina harus bekerja keras untuk sekadar bisa makan.
Matahari sudah makin tinggi, tetapi tidak banyak pembeli yang berminat pada dagangannya. Karenanya, Sarina harus berkeliling lebih jauh dari rumahnya agar ikan-ikan asinnya laku terjual. Perutnya keroncongan, ia mulai merasa lapar karena memang sudah saatnya makan siang. Di tepi jalan yang sepi, ia duduk di bawah pohon rindang untuk melepaskan lelah barang sejenak. Ia meraih botol minumnya yang hanya tersisa sedikit air di dalamnya.
Sarina menyandarkan badan di batang pohon itu. Semilir angin membuatnya mengantuk. Awalnya ia berhasil melawan rasa kantuk itu, sesaat kemudian wanita itu mulai terbuai embusan angin yang mengikis peluh di tubuhnya dan Sarina tertidur lelap di bawah pohon itu dan terbangun di halaman sebuah istana mewah dan ..., kenapa ia tiba-tiba ia berada di sini? Ingatannya samar-samar, tapi ia melihat keranjang ikan asin yang ia letakkan di sisinya. Ia berdiri menatap istana megah itu tanpa berkedip. Matanya melihat jauh ke depan, menembus pintu dan berhenti di sebuah takhta yang tampak berlapis emas.
Rasa ingin tahu membawanya melangkah ke dalam istana. Di depan takhta itu ia berhenti dan matanya memandang kagum setiap detail lekuk dan pahatan emas yang melapisinya.
Ia masih belum bergeming dari tempat itu, tak menyadari adanya orang lain di ruangan itu selain dirinya.
"Kamu suka benda itu?" suara lembut itu membuat Sarina tersadar dan menoleh.
Jantungnya serasa melompat ke ubun-ubun, melihat seorang wanita mengenakan busana khas keraton, ia berdandan layaknya seorang ratu, lengkap dengan tiara yang menyerupai mahkota di kepalanya. Senyumnya mengembang. Ia merasa rikuh, tak tahu harus bersikap bagaimana di depan seseorang yang berpenampilan menyerupai ratu. Wanita itu mendekat dan duduk di takhta yang dikaguminya sebelumnya. Ia membungkukkan badan dengan takut sementara wanita itu menatapnya lekat-lekat dari ujung rambut hingga ujung kakinya.
"Aku melihatmu sedang mengalami banyak kesulitan."
Sarina mengangguk dan hanya bisa menundukkan kepalanya.
"Apa yang kau inginkan di dalam hidupmu saat ini?” Sarina diam sesaat.
"Saya hanya ingin kehidupan yang lebih baik Gusti Ratu". Jawabnya sambil terus menunduk.
Wanita di hadapannya itu terus menatapnya.
" Apa yang berani kau berikan jika aku bisa mengabulkan semua harapanmu?" ia mulai tersenyum.
Sarina mengangkat wajahnya. Matanya memancarkan harapan yang kembali bersinar, seperti tanaman layu dihantam teriknya kemarau dan kemudian tersiram oleh datangnya hujan.
"Nenek moyangmu telah banyak kutolong. Dan mereka menyediakan semua yang kuperlukan. Tetapi itu semua tidak mudah. Meskipun pada akhirnya mereka menyanggupi permintaanku. Jadi, aku memberikan imbalan yang setimpal untuk mereka."
Sarina memperhatikan wanita itu dengan saksama.
"Apakah persyaratannya berat, Gusti Ratu?”
Sekali lagi wanita itu tersenyum.
"Bergantung dari seberapa kuat keinginanmu untuk mengubah hidupmu." jawabnya.
"Lalu, apa yang harus saya lakukan?”
Sang Ratu mengetukkan kuku-kukunya di sandaran takhtanya dan terus menatap tajam ke arah Sarina.
"Pergilah ke Gunung Larangan, dan kau akan menemukan sesuatu. Jika kau sanggup memenuhi syaratnya, akan kuberikan imbalan yang besar bagimu."
"Tapi Gusti, kenapa saya harus ke Gunung Larangan?! Bukankah kita sudah bertemu di sini?"
Kali ini wanita itu tergelak. Ia tertawa hingga bahunya berguncang dan tiaranya sedikit bergeser karena gerakan tubuhnya.
"Aku tidak bisa memenuhi permintaanmu di sini. Ada hal yang harus kau lakukan jika kamu ingin benar-benar mengubah jalan hidupmu." wanita itu memandangnya sesaat dan beralih ke luar, mengarah ke Gunung Larangan yang berada di kejauhan dan diselimuti warna abu-abu.
"Kini kembalilah, pikirkan bagaimana caramu pergi ke Gunung Larangan dan ambillah keputusan yang tepat." jeda sesaat. "Jika kau sudah mempersiapkan diri, temui aku disana. Kini, pulanglah pada anak-anakmu dan berilah mereka makan."
Sarina tidak bisa menyembunyikan ekspresi kebingungan, dengan apa ia akan memberi makan kedua anak dan ibunya nanti? Bayangan wajah anak-anaknya yang sedang lapar di rumah melintas di pelupuk matanya.
"Saya tidak punya uang Gusti, dagangan saya belum laku." Ucapnya malu-malu.
“Pergilah, pembeli sudah menunggu. Kamu dan keluargamu tidak akan kelaparan hari ini." jawab wanita itu lembut.
Sarina diam-diam mengharapkan apa yang dikatakan Sang Ratu akan menjadi kenyataan, karenanya ia segera berpamitan dan melangkah keluar istana, namun sebelum kakinya melangkah terlalu jauh, Sarina menoleh ke belakang. Istana itu sudah lenyap!
Terkejut dan takut, Sarina berlari dan menabrak pohon besar yang berada di hadapannya. Ia baru menyadari jika telah tertidur di bawah pohon dan seketika bangkit berdiri. Matanya memandang ke sekeliling. Keranjang ikan asinnya masih ada disitu, sementara matahari telah bergeser semakin ke arah barat. Bergegas Sarina meninggalkan tempat itu dan baru benar-benar sadar jika ia telah bermimpi di siang bolong. Mimpi yang sangat nyata dan melekat erat di dalam ingatannya tanpa satu pun yang tertinggal dari memori otaknya.
Sepanjang jalan, orang membeli dagangannya dalam jumlah yang cukup banyak dan dalam sekejap, semua ikan asinnya terjual habis. Bukannya bersyukur, Sarina malah memikirkan mimpinya sepanjang perjalanan pulang.
Ketika sampai rumah, sambil menyiapkan makanan, ia masih terus mengingat mimpinya termasuk setiap perkataan wanita yang ia sebut sebagai Gusti Ratu dengan jelas. Benarkah wanita itu bisa menolongnya? Sarina tidak ingin mempercayai semua kejadian dalam mimpinya tersebut, tetapi kenyataannya semua dagangannya yang utuh tak terjual sebelumnya, langsung habis setelah ia menemui wanita itu dalam mimpinya. Rasanya sungguh aneh. Kalaupun dagangannya laku, ia tak akan mampu menjualnya hingga bersih tak bersisa. Apakah kejadian itu berkaitan dengan mimpinya? Bagaimana jika pembelinya adalah makhluk tak kasat mata? Pertanyaan-pertanyaan itu terus memenuhi pikirannya.
Hingga tiba waktu makan, Sarina masih tidak berhenti berpikir sampai-sampai ia tidak memperhatikan anak-anak dan ibunya makan dengan lahap, terutama anak-anak Sarina yang kelihatan kelaparan.
Malam harinya, Sarina masih terus mengingat semua mimpinya tadi. Ada harapan yang menyalakan semangatnya di hati setiap mengingat kata-kata wanita dalam mimpinya. Apa iya? Apa benar? Pertanyaan itu terus menuntut jawaban yang mendesaknya untuk mencari tahu. Tapi bagaimana caranya? Apa iya ia harus pergi ke Gunung Larangan sendirian? Bagaimana ia mengungkapkan niatnya pada ibu? Apa kata ibunya nanti jika ia benar-benar nekad pergi. Banyak pertanyaan muncul di dalam benaknya sampai kantuk menyerangnya dengan dahsyat karena rasa penat di tubuhnya menuntut untuk beristirahat.
Pagi berikutnya, Sarina menyiapkan dagangannya ketika ibunya memanggilnya dari halaman samping.
"Na! Tunggu, jangan pergi dulu, Emak mau bicara."
"Ya Mak ..., tunggu sebentar."
Sarina menyelesaikan merapikan dagangannya dan bergegas menemui Ibunya di teras, setelah Sarina duduk, ibunya mengungkapkan maksudnya.
"Na, Emak lihat kamu sedang memikirkan sesuatu. Entah apa itu. Kalau bisa, ceritakan pada Emak, jangan simpan sendiri. Emak merasakan ada sesuatu yang mengganggu benakmu."
"Iya Mak, Na memang memikirkan sesuatu. Tapi Mak tak usah risau, semua akan baik-baik saja. Na akan berusaha agar hidup kita lebih baik." jawabnya.
"Baiklah kalau begitu. Mak cuma berharap kamu baik-baik saja. Jika ada sesuatu jangan kau simpan sendiri."
Sarina hanya mengangguk tanpa mencerna betul-betul apa yang telah diucapkan ibunya. Karena pikirannya sedang melayang entah ke mana, ibunya memilih menyudahi percakapan itu yang membuat Sarina segera berangkat menjajakan dagangannya.
“Hati-hati di jalan, berdaganglah dengan jujur dan jangan menipu pembeli. Tidak perlu mengambil keuntungan yang terlalu banyak, yang penting lancar.” Pesan ibunya sebelum Sarina pergi.
Sepanjang jalan ia tidak fokus berjualan dan terus berpikir sambil memandang jauh ke arah gunung yang berdiri gagah puluhan kilometer jauhnya. Bisikan itu terlalu kuat dan terus menggema di kepalanya. Dan tanpa ia sadari, kakinya terus melangkah ke depan, ke arah Gunung Larangan! Hari hampir gelap ketika ia sampai di lereng gunung itu.
Tubuhnya terasa begitu letih karena Sarina tidak pernah menempuh jarak sejauh itu sebelumnya, perutnya terasa sangat lapar serta dahaga tiada tara tenggorokannya seperti mengering dan lengket. Ia tak menemukan apapun dan siapapun kecuali pepohonan yang mulai terlihat menghitam diselimuti kegelapan dan meliuk-liuk tertiup angin malam yang mulai berembus kencang. Dari jauh ia melihat setitik cahaya lentera dari sebuah gubuk beratap rumbia dan tampak reot.
Langkah kakinya yang mulai terasa berat membawanya ke sana. Sampai di gubuk itu, dengan sedikit keraguan ia memberanikan diri untuk mengetuk pintunya. Udara malam yang dingin mulai menusuk tulangnya karena pakaian yang ia kenakan telah basah oleh keringatnya sendiri selama menempuh perjalanan ke sini.
Seorang ibu tua dengan wajah keriput dan sedikit bungkuk dengan rambut yang memutih seluruhnya muncul di depa Sarina saat membuka pintu. Dipandanginya Sarina dengan wajah dingin sebelum mempersilakan Sarina masuk.
"Sanak dari mana?! Ada perlu apa kesini?"
"Boleh saya minta minum dahulu, Nyai? Saya haus." tanyanya.
Wanita tua itu masuk ke dalam pondok dan membawa cangkir bambu berisi air. Sarina meneguknya dalam satu tarikan napas hingga tandas, tanpa memperhatikan jika perempuan tua itu terus memandangnya dengan tatapan tidak senang.
"Saya tersesat Nyai, saya akan ke Gunung Larangan." jawabnya.
Wanita tua itu mengernyitkan dahinya yang terlihat semakin berkerut dan kemudian tersenyum samar dan misterius.
"Ini Lereng Gunung Larangan. Ada perlu apa kalau saya boleh tau?”
Sarina bingung bagaimana harus  menjawab pertanyaan itu.
"Ada banyak keperluan jika seseorang pergi ke Gunung Larangan, jika kamu hendak mewujudkan keperluan, maka kamu wajib memenuhi syaratnya. Dan kamu harus tahu jika kamu tak bisa lagi mundur ke belakang serta memutar waktu jika terjadi penyesalan." Wanita itu diam sejenak.
Ia memandangi wajah Sarina sekali lagi seperti hendak menyelami hatinya, sejauh mana ia memiliki niat untuk menebus keinginan duniawinya.
"Sanak harus tahu, bahwa suatu pemberian menuntut penebusan."
"Iya Nyai." jawab Sarina.
"Apa yang Sanak inginkan saat ini?”
Ragu-ragu Sarina mengangkat wajahnya menatap wanita tua itu. Dalam hati Sarina, ia seperti sangat mengenal perempuan tua ini, tapi tidak tahu dimana.
"Saya ingin hidup yang nyaman Nyai, suami saya sudah meninggal."
"Siapa keluargamu yang paling kamu inginkan untuk bisa menemanimu melewati kesulitan, yang akan rela memberikan segalanya bagimu, untuk kebahagiaanmu?”
Sarina menunduk. Ia ingat ibunya. Wanita itulah yang akan selalu mendukung dalam keadaan apapun. Entah apa jadinya jika ibunya tidak ada disaat-saat terberat dalam hidupnya.
"Ibu saya, Nyai." jawabnya lirih.
"Baiklah, sekarang makanlah dulu, aku telah menyediakan makananmu dan setelah itu mandilah di Sendang Rono, di belakang pondok ini."
Sarina menuruti wanita itu. Ia makan dengan lahap karena perutnya yang sedari tadi terasa melilit dan menyiksanya sepanjang waktu dan bergegas mandi ke sendang yang dimaksud wanita itu karena seluruh tubuhnya terasa lengket oleh peluhnya yang mulai mengering.
Sarina menemukan sendang itu seperti suasana di siang hari dan air sendang itu begitu jernih, seolah melambai agar ia berenang di sana. Saat ia melepas pakaiannya, Sarina seolah melihat suaminya. Laki-laki itu mendekatinya dan menggandeng tangan Sarina menuju ke tengah. Mereka mandi bersama dan memadu kasih. Setelah selesai, mereka melihat seekor kelinci melompat-lompat di sekitar sendang dan suaminya menyuruhnya memanah kelinci itu. Sarina menurut, dalam sekali tembak, anak panah itu tepat mengenai perut kelinci malang itu.
Suaminya tertawa keras, makin keras dan semakin keras. Sarina menoleh seketika oleh tawa yang mulai terdengar asing baginya dan ia terhenyak melihat suaminya berubah menjadi sosok tinggi besar, berbulu lebat dan berkulit hitam pekat dengan rambut panjang sampai ke tanah dan mata merah menyala. Sarina ketakutan dan lari masuk ke dalam pondok.
"Nyai! .... Nyaii!” teriaknya.
Wanita tua itu muncul dengan raut wajah yang tidak senang.
"Jangan berteriak, aku berada disini."
Sarina memandang sekelilingnya yang kembali menjadi malam. Ia bingung. Dengan terbata-bata, ia menceritakan apa yang baru saja terjadi. Wanita itu hanya tersenyum, ia berdiri dan saat itu Sarina melihat perubahan wujudnya, menjadi wanita cantik yang ia temui dalam mimpinya di istana megah ketika ia tertidur saat berada di bawah sebuah pohon besar. Sarina ternganga.
"Kamu tak usah takut, dia anakku. Dan karena kamu sudah melayaninya, aku akan memberimu semua yang kau inginkan." wanita itu memberinya sebuah kantung.
"Jangan kau buka sebelum sampai di rumah. Agar kamu menemukan semua keinginanmu terwujud, jika kau tak sabar dan kau buka di jalan, maka kau akan menemukan pengorbananmu sia-sia." Sarina mengangguk dengan irama jantungnya yang seolah dikejar-kejar setan.
"Sekarang kenakan pakaianmu dan pulanglah, kau akan pulang dengan jalanku, hingga kau tak perlu terlalu lama berada di perjalanan."

Pesugihan Gunung Larangan (Sudah Terbit) √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang