16. Sandiwara Jono

1.7K 54 5
                                    


Sejak kejadian itu, Jono mulai berubah. Lebih tepatnya pura-pura berubah untuk meraih kembali kepercayaan Sarina. Ia berniat mengelabui Sarina agar bisa melanjutkan rencana untuk menikahi gadis pujaannya di kampung sebelah. Sebab ia telah bosan hidup bersama Sarina yang begitu monoton, selalu serius dan sibuk dengan kegiatannya mencari nafkah. Dalam pikiran Jono, tak perlu bekerja sekeras itu karena uang yangereka miliki sudah lebih dari cukup untuk bisa hidup mewah dan berfoya-foya. Lagipula, Sarina memiliki banyak perhiasan yang ia simpan secara rahasia di kamar yang hampir tidak pernah dimasuki oleh orang lain kecuali Sarina.
Ya, ternyata secara diam-diam Jono membuka lemari Sarina di kamar persembahan. Awalnya Jono hanya berniat untuk melihat apa saja isi kamar itu karena tak pernah dimanfaatkan atau sekadar dibuka jendelanya, rasa ingin tahu membawa Jono masuk kesana dan membuka salah satu lemari yang berisi dua kotak mirip kotak harta karun, terbuat dari kayu dan berisi penuh berbagai jenis perhiasan dari emas bertahtakan berbagai jenis batuan berharga. Ia melihat semua perhiasan itu dan iseng membawa salah satu kalung dengan liontin bermata batu safir sebesar telur puyuh dan membawanya diam-diam ke toko emas.
“Wah ... Kang, ini emas asli dan mata liontinnya batu safir. Jika Akang berniat menjualnya, saya bersedia membeli.”
Pemilik toko emas itu rupanya sangat tertarik dengan barang yang dibawa Jono. Ia berharap bisa membelinya dan menjual kembali kalung itu dengan harga yang lebih mahal, lengkap dengan surat-suratnya.
“Berapa kira-kira harga kalung ini Pak?” mata Jono berbinar.
Ia sangat ingin mengetahui nilai barang yang dibawanya.
“Jika Akang membawa surat pembeliannya, saya bersedia membayar jutaan rupiah karena bandulnya terbuat dari batu mulia asli. Tetapi jika Akang tidak memiliki suratnya, saya akan membelinya separuh harga. Bagaimana?”
Jono terbelalak mendengar perkiraan harga kalung yang dicurinya.Namun ia belum berani mengambil keputusan, Jono menyimpan kembali kalung itu. Takut Sarina akan memeriksa kotak perhiasan itu suatu hari nanti, disamping itu Jono berniat untuk mencari surat-suratnya di rumah Sarina.
“Nanti dulu ya, Pak. Saya akan cari surat pembeliannya. Jika sudah ketemu, saya akan kembali ke sini.” Elaknya.
Pemilik toko hanya tersenyum melihat kelakuan Jono yang seperti gugup setelah mendengar penjelasannya. Ia yakin, bahwa kalung itu barang curian!
Sebulan lebih Jono menyembunyikan kalung itu, Sarina tidak pernah menanyakannya, bahkan seperti tidak sadar jika dicuri oleh suaminya sendiri, hal itu membuat Jono makin berani mengambil isi kotak di kamar itu.
Dari hasil curiannya, ia bisa menyenangkan Gina, perempuan yang digadang-gadang akan menjadi istri keduanya. Gadis itu tidak keberatan menjadi simpanan Jono selama laki-laki itu mampu memberikan semua yang ia minta. Dan atas izin kedua orang tua Gina, Jono berjanji akan mengawini gadis itu secepatnya.
“Gina, Akang sengaja kemari membawa hadiah untukmu.”
“Apa itu, Kang?”
Jono mengeluarkan bungkusan dari kantung celana dan menyerahkan pada Gina.
“Buka dan lihatlah isinya.”
Gina menyambar bungkusan itu dari tangan Jono dan membukanya dengan tidak sabar. Matanya terbelalak senang saat mengetahui isi kantung itu. Satu set perhiasan emas yang dipesan Jono secara khusus dari hasil curiannya. Jono sengaja menjual perhiasan dari kotak Sarina dan membeli perhiasan yang baru untuk Gina agar tidak dikenali Sarina.
“Ini semua untukku, Kang?” tanyanya tak percaya.
“Iya, sayang. Ini semua untukmu. Aku juga akan segera menikahimu dalam waktu dekat. Sabatlah dulu karena aku akan membeli rumah baru untuk tempat tinggal kita berdua setelah menikah nanti.”
“Oh, Kang ..., aku bahagia sekali. Terimakasih ya, Kang. Akan kusampaikan pada orang tuaku niat Akang untuk segera menikah denganku.”
Keduanya merasa sangat bahagia. Mereka berpelukan di kursi reot yang ada di ruang sempit berdinding bambu itu, tanpa menyadari ada sepasang mata yang memperhatikan seluruh gerak-gerik mereka berdua.

*-*


Sementara itu, Sarina mulai sibuk bepergian mencari rumah baru yang akan ia tempati setelah memenuhi janjinya pada Panji. Ia pergi tanpa sepengetahuan Jono. Untuk menutupi niatanya, ia berpura-pura mempercayai Jono untuk mengawasi semua pekerjaan Darti dan Simin di rumah.
Jono menjadi lebih leluasa mencuri perhiasan Sarina untuk memuluskan rencananya menikahi Gina. Sebagian hasil curian itu ia jual dengan harga murah karena tidak bersurat, sebagian lagi ia rubah bentuknya di toko emas untuk diberikan pada Gina.
Tidak memerlukan waktu yang lama, Jono berhasil menikahi gadis pujaanya serta membeli rumah yang ia inginkan dan posisinya tidak terlalu jauh dari rumah mertuanya. Sayangnya, mereka hanya menikah di bawah tangan, tanpa diketahui orang tua Jono dan warga kampung Sarina karena ia tidak mau mengacaukan rencana mereka berdua untuk menguras harta Sarina.
“Kamu harus lebih sabar Gina, aku akan segera menceraikan Sarina begitu semua harta miliknya berada di tanganku. Saat itu, aku akan meresmikan pernikahan kita berdua dan hidup bahagia selamanya.” Ucap Jono licik.
“Baiklah, Kang. Aku percaya padamu. Laksanakan niatmu itu segera agar Sarina tidak menjadi duri dalam daging dalam kehidupan kita.” Balas Gina.
Angin berembus kencang, membuat atap seng rumah mereka berderak. Pintu rumah itu terbanting karena kuatnya tiupan angin.
“Tutup pintu itu, Gina. Sepertinya hujan akan segera turun. Angin kencang bisa merusak pintu dan jendela tiupannya sekencang itu.”
Gina beranjak menutup pintu dan jendela yang terus berderit. Ia melongokkan kepala keluar rumah, merasa ada seseorang yang mengawasi rumah mereka dari jauh. Bulu kuduknya tiba-tiba meremang membuatnya cepat-cepat menutup pintu dan kembali ke pelukan Jono yang tengah benar-benar menikmati pernikahan dengannya.

*-*


Sarina telah menemukan rumah yang tepat berjarak puluhan  kilometer dari rumah yang ia tinggali saat ini. Rumah itu cukup besar, berdinding batu dengan halaman yang cukup luas. Seperti sebelumnya, ia merenovasi rumah itu dan membeli perabotan baru untuk mengisi rumah itu.
Di rumah barunya, Sarina menyiapkan dua buah kamar khusus untuk Aryo dan Marni karena ia berharap kedua anak itu akan menempati rumah ini untuk menemani Sarina menikmati hari tua. Sebuah warung yanga agak lebih besar dari pada yang ada di rumahnya juga didirikan sebab dari situ ia akan mengais rezeki. Tidak lupa, Sarina juga menyediakan satu ruangan khusus untuk menemui Panji Asmoro.
Karena ia tidak akan menempati rumah itu dalam waktu dekat, Sarina harus menemukan seseorang yang bisa dipercaya mengurus dan merawat rumah itu. Wak Tarmin dan Mbok Janah, sepasang suami istri yang tinggal tidak jauh dari rumah baru Sarina.
“Wak, tolong jaga rumah ini untuk sementara waktu. Saya akan segera pindah kemari, begitu urusan perceraian saya selesai.” Pesannya pada Wak Tarmin.
“Tentu, Nyai. Percayakan saja semuanya pada kami.” Jawab lelaki tua itu.
“Saya juga minta tolong, tanamlah beberapa jenis bunga dan tanaman hias yang lain di sekitar rumah. Dan ini uangnya, Wak Tarmin dan Mbok Janah yang memilih tanamannya, tetapi harus ada mawar merah dan bunga melati.” Sarina memberikan uang untuk membeli bibit tanaman pada Wak Tarmin.
“Dan, Mbok ..., ini untuk keperluan Mbok Janah dan Wak Tarmin selama menjaga rumah ini.” Ia kembali menyerahkan sejumlah uang pada Mbok Janah.
“Wah, banyak sekali uang ini, Nyai.”
“Tidak apa, Mbok. Mungkin urusan saya akan lama. Tolong jangan lihat jumlahnya.”
Senyum ramah Sarina membuat kedua orang tua itu langsung menyukai Sarina. Tak banyak orang kaya yang bersikap baik pada orang kecil seperti mereka.
"Saya akan pulang kemari begitu proses perceraian saya selesai, jadi Mbok Janah dan Wak Tarmin, tolong jaga rumah hingga tiba saatnya bagi saya untuk menempati rumah ini."
"Iya Nyai, kami akan menjaganya baik-baik." Janji mereka berdua.
Sarina mengangguk dan setelah berpamitan ia pulang ke kampungnya dan sekalian berbelanja untuk semua keperluan warung di perjalanan.
Menjelang sore, Sarina telah sampai di rumah. Jono merasa beruntung, saat istrinya datang, ia sedang berada di rumah. Jika tidak, perempuan itu tentu akan curiga jika Jono memang tidak pernah berubah.
Malam itu di kamar....
"Nyai, urusan apa yang membuatmu pergi begitu lama?" ucapnya sambil memijat bahu Sarina yang sedang duduk di meja rias menyisir rambut panjangnya.
"Aku mengunjungi anak-anakku Kang, sudah lama aku tak bertemu mereka." tangannya masih memegangi sisir dan tatapan matanya ke wajah Jono melalui kaca.
"Akang rindu pada Nyai." Rayu Jono.
Sebetulnya Sarina jijik mendengar ucapan Jono sebab ia mengetahui semua yang dilakukan laki-laki itu selama ia tidak sedang di rumah. Namun, Sarina perlu berhubungan badan dengan Jono untuk dapat membuatnya terlihat muda sebelum memenuhi kewajiban terhadap Panji.
Sementara itu, Jono sendiri punya rencana buruk terhadap Sarina. Ia akan membuat Sarina percaya padanya, agar dapat menguasai seluruh harta Sarina lalu menjalani hidup tenang dengan Gina. Menurutnya, dengan seluruh kekayaan itu, hidup mereka akan makmur selama tujuh turunan meskipun mereka tidak pernah bekerja.
Entah siapa yang memulai lebih dulu, mereka sudah bergumul di ranjang tidur mereka mengarungi samudera luas tak berdasar. Sarina membuang jauh seluruh perasaan jijiknya pada laki-laki yang menggumulinya itu. Sesaat kemudian mereka  sudah terlentang sambil memandangi langit-langit kamar itu dan sibuk dengan pikirannya masing-masing.
"Kang, apa rencanamu untuk kehidupan kita selanjutnya?" tanya Sarina memecah kebisuan mereka.
Jono mengalihkan pandangan  ke arahnya dengan memiringkan tubuhnya. Ia melihat wajah Sarina yang seolah semakin muda. Usianya sudah hampir 35 tahun, namun wajahnya masih tampak seperti gadis berusia 20an, orang tak akan percaya jika Sarina memiliki dua anak remaja.
"Aku akan mendampingi dan menjagamu, seumur hidupku, Nyai." Ucapnya sambil menyeringai.
Sarina tertawa geli, ia tahu Jono menguras kotak hartanya yang tidak pernah berkurang meskipun diambil setiap hari, kotak yang bahkan tak pernah disentuh dan dimanfaatkan Sarina untuk keperluan mendesak sekalipun. Nyatanya Jono masih sanggup berbohong tanpa berpikir dan merasa bersalah sedikit pun. Sudahlah mencuri, ia juga menyeleweng dari Sarina dengan diam-diam menikahi Gina.
“Akang yakin, akan terus setia pada Nyai?” goda Sarina.
“Sangat yakin, karena selain cantik, Nyai juga sangat baik.” Ia membelai pipi Sarina yang langsung ditepisnya secara halus.
“Akang mau, punya anak dari Nyai?”
Pertanyaan Sarina mengejutkan Jono.
“Kenapa bertanya seperti itu, Nyai?”
“Tidak, hanya ingin tahu saja. Akang ingin memiliki keturunan dari Nyai atau tidak.” Elaknya.
Jono tidak menjawab pertanyaan Sarina. Ia hanya mendekat dan memeluk istrinya sambil mencari cara untuk melancarkan rencana busuknya.
'Ah Jono, sungguh sayang, wajah tampanmu dimanfaatkan untuk berbuat jahat. Sungguh kasihan perempuan yang kau ajak masuk ke dalam pusaran hidupmu yang sia-sia.' Ucap Sarina dalam hati atas reaksi Jono.
Sarina memejamkan mata dan pura-pura tidur, Jono yang juga merasa kelelahan sudah mulai mendengkur sambil memeluk Sarina. Meyakini Jono telah terlelap, Sarina bangkit dan menggulung rambutnya membentuk konde, lalu mengenakan pakaiannya yang berserakan  di lantai kamar. Ia bergegas ke kamar persembahan dan mengunci pintu sambil menunggu kedatangan Panji di sana.
Beberapa saat kemudian,  terdengar desau angin menggesek dedaunan dan Panji langsung berada di hadapan Sarina. Laki-laki itu tersenyum, wajahnya tidak pernah berubah. Sarina mengakui ketampanan Panji, ia layak mendapatkan segala kata pujian di dunia. Tapi, .... Sarina menggelengkan kepala.
"Kulihat kau sudah siap, Nyai?"
Sarina mengangguk.
"Baik! Pergilah kembali ke kota besok, aku akan mengambilnya, tanpa perlu Nyai lihat. Atau, Nyai perlu waktu lebih lama sebelum melepaskan kepergiannya?”
Sarina menggeleng.
"Baiklah, ajak gadis itu bersamamu. Dan sisanya menjadi urusanku. Pergilah menjelang siang, saat daganganmu mulai habis."
Dan Sarina kembali mengangguk.
“Jika demikian, aku akan pergi sekarang.”
Dalam satu kedipan mata Panji menghilang dan Sarina kembali ke kamarnya.

*-*


Hari itu hari sibuk bagi Sarina. Mereka semua tak sempat berhenti melayani pembeli, dan tepat menjelang siang, dagangan Sarina menipis.
"Kang Jono, sepertinya aku harus pergi ke kota untuk membeli isi toko kita agar besok pagi kita bisa berjualan kembali." ucapnya sambil menghempaskan pantat di kursi teras.
Mata Jono tampak berbinar sekelebat.
"Baiklah,  Nyai ... pergilah berbelanja. Biar aku yang menjaga kedai bersama Simin dan Darti."
"Aku akan mengajak Darti bersamaku, Kang. Supaya ada yang membantuku membawa barang belanjaan di kota."
Jono merasa gembira. Dengan kepergian Darti, ia bebas keluar masuk kamar belakang dan mengambil sesuatu yang bisa diberikan pada Gina, istri mudanya.
"Kapan Nyai kembali kalau begitu?” tanyanya antusias.
"Paling lama besok siang, Kang. Aku tidak bisa pergi terlalu lama karena hampir semua barang terjual dan tidak ada persediaan.”
Sekali lagi Jono mengangguk girang. Setelah itu Sarina segera berkemas dan mengajak serta Darti. Entah mengapa, hatinya sama sekali tidak terbebani menjelang kematian Jono. Rasanya sungguh berbeda ketika ia mengorbankan Bardi.
Setelah Sarina pergi, Jono menyuruh Simin menjaga kedai dan langsung menyelinap ke kamar belakang. Ia membuka lemari dan mengeluarkan kotak besar itu kemudian menuangkan isinya di lantai. Matanya memandang takjub barang-barang itu. Sifat tamak Jono mulai timbul dan mulai memilah mana yang paling bagus bentuknya. 
Ia memilih satu set perhiasan yang hampir senada bentuk dan motifnya berupa kalung berlian, cincin dan gelang yang sengaja disisihkan untuk Gina, serta beberapa gelang dan cincin dengan batu mulia untuk dijual kemudian memasukkan sisanya kembali ke dalam kotak dan menyimpannya di tempat semula.
Setelah puas mengobrak-abrik isi kotak itu, Jono segera menyelinap keluar dan memasukkan emas curian itu ke dalam kantung kain yang ia sediakan sebelum melakukan aksinya.
"Min, jaga dulu rumah dan kedainya. Aku ada perlu. Ingat! Jangan ceritakan apapun pada Nyai, atau kau akan tahu akibatnya." 
Simin mengangguk kecut, ia selalu tahu bahwa Jono akan segera pergi meninggalkan rumah begitu Sarina berlalu. Benar-benar ular berkepala dua!

Pesugihan Gunung Larangan (Sudah Terbit) √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang