17. Kematian Berikutnya

1.7K 61 1
                                    

Jono sudah sampai di rumah Gina. Ia kelihatan sangat bersemangat menyambut laki-laki pujaannya itu. Kedua orang tua Gina juga ikut bersikap kelewat ramah pada Jono setelah mereka dibolehkan ikut menumpang di rumah baru mereka. Padahal sebelumnya mereka bersikap acuh dan sedikit sinis karena beranggapan bahwa Jono hanyalah laki-laki pengangguran yang tidak punya masa depan. Kenyataannya, Jono mampu memberikan kemewahan yang diimpikan oleh setiap perempuan.
"Masuklah, Kang. Aku ada kabar baru buatmu."  Gina menggelendot manja di bahu Jono.
Setelah berbasa-basi sejenak dengan mertuanya, Jono dan Gina langsung masuk ke kamar mereka lalu menutup dan mengunci pintu. Jono duduk di tepi ranjang diikuti Gina yang kelihatan sangat bahagia.
"Coba tebak, apa yang terjadi?" Gina mengerling.
Jono memandangi perempuan itu dengan wajah ingin tahu.
"Apa itu? Jangan buat suamimu penasaran." tanyanya sambil menggoda.
"Kita akan punya anak, Kang" jawab Gina sambil menyandarkan kepala di dada bidang Jono.
"O, ya?" Jono tak kalah gembira.
Ia balas memeluk Gina dan menciumi wanita itu. Pelukan itu berubah menjadi panas dan berakhir dengan saling memuaskan kehausan mereka berdua. Sesaat kemudian ....
"Kang, setelah ini kebutuhan kita akan semakin bertambah. Kita harus membeli semua perlengkapan bayi kita yang akan segera lahir.”
Jono tersenyum, ia sudah memiliki banyak rencana untuk menyingkirkan Sarina. Semangatnya bertambah mengetahui Gina tengah mengandung anak pertamanya.
"Eneng tak usah pikirkan semua itu. Akang akan melakukan yang terbaik untuk calon anak kita.” katanya sambil mengeluarkan sesuatu dari kantung celananya yang tergeletak di lantai.
"Kamu yang sabar ya Neng, Akang baru bisa membawa ini." Jono meletakkan dua bungkusan kain di tangan Gina dan sambil menggenggam tangan perempuan itu.
"Satu kantung ini, jangan dijual. Ini khusus untuk Eneng. Dan juallah yang satu lagi untuk membeli perlengkapan anak kita. Sementara itu, Akang akan mengusahakan yang lebih dari ini, untuk kebahagiaan kita berdua bersama anak-anak kita kelak."
Mata Gina berbinar, ia segera duduk untuk membuka kedua bungkusan itu.
"Apa ini Kang?” tanyanya tak sabar sementara tangannya terus sibuk membuka tali pengikatnya.
"Buka dan lihatlah isinya."
Begitu ia mengeluarkan isi bungkusan itu, matanya langsung terbelalak melihat ada begitu banyak perhiasan yang diberikan Jono.
"Ini untuk Gina semua Kang?"
Gina tak dapat menyembunyikan kebahagiaan hatinya. Jono mengangguk.
Dengan wajah dan tatapan tak percaya, ia mencobai semua perhiasan itu ditubuhnya yang masih belum ia tutupi dengan apa pun.
"Semuanya bagus, Kang."
“Kamu suka?”
“Suka, Kang. Sukaaa ..., sekali.”
Jono tersenyum, “kalau Gina suka, Gina boleh menyimpannya. Akang akan kasih yang lebih bagus dan lebih banyak lagi." janji Jono.
"Bener Kang?”
Jono mengangguk. Sesaat kemudian mereka kembali larut dalam nafsu dan memuaskan hasrat hingga kelelahan dan terlelap.
Jono baru kembali ke rumah Sarina keesokan harinya dengan perasaan berbunga-bunga. Ia telah menjadi gelap mata dan tenggelam dalam keserakahan setelah mendengar bahwa ia akan segera menjadi bapak.
Dan seperti biasa, Simin membereskan kedai kelontong Sarina. Jono terpaksa harus menyiapkan sarapan sendiri karena Darti tak ada di rumah. Semuanya berjalan normal, hingga menjelang siang ada dua orang laki-laki berperawakan tinggi besar mendatangi rumah itu. Mulanya mereka berpura-pura mencari Sarina, tetapi ketika dipersilahkan masuk, dengan tiba-tiba mereka menyandera Simin dan Jono serta menggeledah rumah itu. Salah satu diantara orang itu masuk ke kamar persembahan dan membawa kotak harta karun Sarina. Karena tidak rela, Jono melawan dan meronta hingga si penyandera nekad memukuli dan mematahkan lehernya hingga tewas.
Setelah menjarah rumah itu mereka segera keluar meninggalkan jasad Jono dan Simin yang ketakutan sambil mengangkut barang jarahan. Begitu dua orang itu hilang dari pandangan, Simin segera menjerit meminta pertolongan. Warga pun berdatangan dan mendapati Simin yang terluka serta Jono dalam kondisi tak bernyawa.
Sarina sampai di rumah itu menjelang sore , rumahnya sudah dipenuhi warga kampung. Meskipun ia sudah tahu apa yang terjadi, ia tetap merasa tidak nyaman dan sedikit gelisah. Ia disambut beberapa wanita yang menuntunnya masuk  ke dalam dan ia melihat Mbok Jinem, di sisi jasad Jono. Wanita itu kemudian menangis di pelukan Sarina.
"Neng, Jono sudah meninggal, rumah kalian didatangi perampok siang ini." Tangis mertuanya pecah.
Sarina diam tertegun. Ia duduk di samping wanita itu dan membuka kain yang menutupi wajah Jono. Ia diam tak berkata apapun. Matanya memandang sayu pada Jono, walaupun ia jijik melihat lelaki itu semasa hidup, tapi Sarina juga merasa kasihan pada wanita tua di sampingnya. Ia merangkul pundak wanita itu untuk sekadar menguatkan. Semua pasang mata yang ada di ruangan itu memandang iba ke arahnya. Sungguh miris nasib Sarina, demikian pikir mereka.

*-*


Dua minggu setelah kematian Jono, Sarina mulai mengemasi semua barang yang perlu dia bawa untuk berpindah tempat tinggal. Sarina meninggalkan sebuah kalung emas beserta bandulnya untuk Mbok Jinem.Wanita tua itu memeluknya dan tak berhenti menangis.
"Neng, maafkanlah Jono. Mungkin selama hidupnya dia banyak melakukan hal-hal yang mengecewakan Neng Sarina." ungkapnya sambil mengusap air mata.
"Iya Mak, saya juga minta maaf jika saya juga menyakiti perasaan dan hati Emak selama jadi menantu."
Wanita itu hanya mengangguk.
"Saya juga mau pamit sama Emak, saya tak bisa lagi tinggal disini. Ada banyak kejadian tidak enak yang sudah saya alami di rumah ini." Mata Sarina menerawang jauh.
Mbok Jinem sedikit terkejut dan menatap Sarina dengan pandangan yang menyiratkan banyak pertanyaan.
"Rumah ini membawa kenangan dan bayangan pahit bagi saya Mak, ditambah lagi Kang Jono juga meninggal dengan cara tidak wajar di rumah ini. Sarina tak tahan jika terus-terusan tinggal di sini dan melihat bayangan-bayangan buruk itu." Air mata membayangi pelupuk mata Sarina.
Ia tidak sedih atas kematian Jono, ia menangis karena menyesali keputusan bodohnya mengikuti Panji. Mbok Jinem mencoba memahami perasaan Sarina. Ia masih muda, tetapi berkali-kali harus kehilangan suami ketika usia perkawinan mereka masih seumur jagung dan belum sempat dikaruniai keturunan. Tentunya mereka masih belum puas mereguk manisnya madu pernikahan. Wak Jinem benar-benar mengira Sarina memang mencintai anaknya. Mereka berbicara untuk saling menguatkan. Ketika dirasa sudah terlalu lama meninggalkan rumah, Wak Jinem undur diri untuk kembali pulang ke rumahnya setelah Sarina memberikan barang yang telah ia persiapkan untuk mertuanya itu.
Selang beberapa saat setelah Wak Jinem pulang, muncullah seorang gadis berumur dua puluhan mendatangi rumah Sarina. Gadis muda itu kelihatan cantik dan perutnya sedikit menonjol karena hamil. Ialah Gina, istri muda Jono!
"Nyai, ada tamu yang mencari Nyai." Darti menyongsongnya ke belakang saat melihat bayangan Sarina menuju ke kamar.
"Siapa, Darti?"
"Saya tidak kenal, Nyai.Nya ... tapi sepertinya ia kenalan Tuan Muda Jono."
Sarina mengernyitkan dahi dan kembali melangkah ke ruang tamu untuk menemui perempuan itu.
Gina langsung berdiri melihat Sarina dan menyalaminya. Dalam hati ia mengagumi kecantikan dan kemolekan tubuh Sarina.
"Kamu siapa?" tanya Sarina sambil mengisyaratkan tamunya duduk kembali.
"Saya Gina, Nyai."
"Ada perlu apa kamu kemari?" ia duduk di seberang Gina, posisi mereka berhadapan kini.
Wajah Sarina tetap datar meskipun ia memang tak suka dengan kehadiran perempuan ini. Ia mengetahui siapa dia.
"Saya ...,saya hamil, Nyai ..., anaknya Kang Jono."
Mata Sarina menyipit.
"Lalu ...,urusannya dengan saya apa? Saya tak kenal kamu sebelumnya dan saya tak tahu maksud dan tujuan kamu kemari!"
Mereka saling diam, hingga ....
"Kang Jono mengatakan pada saya, jika dia akan mencukupi kebutuhan anak kami. Dan dia juga berjanji akan hidup bersama kami." ia mulai terisak.
Ada sedikit iba hati Sarina melihat Gina, tapi sejurus kemudian ia menyadari bahwa perempuan ini berusaha merebut Jono darinya demi harta dan hidup mewah. Demi dia, Jono berani mencuri di rumahnya sendiri.
"Yang berjanji adalah Jono, dan kamu tidak bisa menagihnya padaku!” jawabnya ketus.
"Tapi, Nyai ... saya mengandung anak Kang Jono."
"Dan itu adalah hal paling bodoh yang pernah kudengar."
Sarina menghela napas.
"Aku tak punya andil dalam hal ini. Kalian berdua melakukan hal kotor di belakangku dan sekarang tiba-tiba kamu datang meminta aku untuk ikut menanggung buah dari perbuatan bodoh kalian berdua."
"Tapi,Nyai ... setidaknya berikanlah hak yang seharusnya diterima anakku. Ia juga punya hak atas harta bapaknya. Dan Nyai tidak bisa melarangnya karena saya dan Kang Jono telah menikah meskipun di bawah tangan."
Sarina tertawa mendengar pernyataan Gina.
"Kamu harus tahu! Sebelum menikah denganku, Jono tak punya apa-apa. Dia masuk rumah ini hanya membawa selembar pakaian yang ia kenakan. Ia juga malas bekerja, lalu  mencuri uangku juga perhiasan dan diberikan padamu. Apa itu belum cukup? Ia tak punya andil dengan semua kekayaan yang aku punya. Yang kamu dapatkan dari dia itu sudah lebih dari cukup. Ingat, aku punya hak untuk memintanya darimu karena dia memberikan semua itu tanpa ijin." ucapan Sarina bagai petir bagi Gina.
Harapannya untuk bisa hidup mewah sirna sudah, Jono telah meninggal sebelum ia memenuhi semua janjinya.
Ia tertipu. Selama ini Gina berpikir bahwa kekayaan Sarina akan bisa dimiliki Jono juga. Tapi rupanya ia salah,  Jono hanyalah penumpang dan kini ia terpaksa harus pulang dengan tangan kosong.

Pesugihan Gunung Larangan (Sudah Terbit) √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang