18. Pariyah

1.9K 56 12
                                    

Sarina menjual rumah yang ditempatinya dengan alasan rumah itu mengingatkan pada banyak kejadian pahit yang ia alami di dalam hidup. Sebenarnya Sarina betah tinggal di rumah itu, karena selama ini ia sudah mampu menyesuaikan diri dengan baik. Tetapi apa yang dikatakan Panji mengenai kecurigaan warga juga sangat masuk akal.
Dan sebenarnya rumah itu memang banyak menyaksikan kenangan pahit yang memang benar terjadi dalam hidup Sarina, mulai dari beratnya menjalani kehamilan dan kelahiran Satrio, kekhawatirannya terhadap keselamatan Aryo dan Marni, perbuatan terkutuk Sarina dengan Panji yang berujung penolakan perasaan cintanya oleh laki-laki itu, dan yang terakhir kematian Bardi, pria terakhir yang berarti di dalam hidupnya.
Memang rumah itu tak langsung laku dengan cepat apalagi aura mistis rumah itu sangat terasa di waktu-waktu tertentu, sebab itulah ia menyerahkan segala urusan itu pada Simin dan Darti. Ia mengajak mereka berdua berbicara serius di ruang tamu.
“Darti, jaga dan rawatlah rumah ini dengan baik hingga ada yang berminat untuk membeli rumah ini.”
“Jika kalian berminat untuk meneruskan berjualan sebagai tambahan penghasilan, kalian berdua boleh melanjutkan kedai yang di depan.”
“Nyai, kenapa pergi sangat mendadak tanpa memberi tahu kami sebelumnya?” tanya Darti, kedua matanya sembab oleh air mata.
Sarina menghela napas berat dan memandang sekeliling ruangan itu.
“Rumah ini banyak menyimpan kenangan yang sangat menyakitkan untukku, Darti. Dan aku tidak memutuskan untuk meninggalkan rumah ini secara tiba-tiba. Makanya aku pamit pada kalian, rencana untuk pulang kampung sudah Nyai pikirkan sejak Tuan meninggal.” Jabab Sarina.
“Maafkan saya yang tidak pandai menjaga Tuan, Nyai.” Simin terdengar sedih dan menyesal.
Sarina melihat ke arahnya.
“Ini semua bukan salahmu, Simin. Banyak persoalan yang tidak bisa kita lewati dengan baik, kau tak perlu merasa bersalah padaku.”
Simin mengangguk.
“Jika ada yang perlu kalian katakan pada Nyai, tak perlu merasa sungkan. Jika bisa, Nyai akan memenuhi harapan kalian.”
Kedua orang itu menggeleng.
“ Tidak, Nyai. Jagalah diri baik-baik. Jika ada kesempatan, datanglah kemari jika belum ada khabar rumah ini terjual.” Jawab Darti.
Mereka merasakan kesedihan yang sama mengenai perpisahan yang kini berada di depan mata. Bagi Darti dan Simin, Sarina lebih dari majikan, sebab wanita itu tidak pernah memperlakukan mereka dengan buruk. Sarina sendiri menganggap mereka adalah bagian dari keluarga, karena kedua orang ini sangat bisa dipercaya. Ia tahu, jaman sekarang sangat sulit untuk menemukan orang yang jujur seperti mereka berdua.
“Baiklah, jika tidak ada yang perlu kalian berdua sampaikan, aku akan mulai bersiap-siap. Simin, tolong bantu Nyai mencari andong untuk mengantar Nyai dua hari lagi.”
“Baik, Nyai.” Simin mengangguk.
Setelah semua urusan rumah itu dirasa beres, Sarina undur diri ke kamar untuk mempersiapkan barang-barang yang akan dibawanya pindah. Dan karena rumah itu diniatkan untuk dijual beserta seluruh isinya, Sarina membawa serta kotak harta karunnya agar tidak jadi persoalan kelak bagi orang-orang yang menetap di rumah itu.

*-*


Dua hari setelah percakapan itu, Sarina meninggalkan kampung disertai tatap sedih Simin dan deraian air mata Darti. Tetangga kanan dan kiri rumah itu juga ikut melepas kepergian Sarina. Basa-basi mereka berlangsung singkat karena Sarina sudah pamit pada mereka semua sebelum pergi.
Tidak ada yang merasa aneh dengan kepergian Sarina, sebab perempuan itu selalu bersikap baik pada semua orang dan tidak pernah memperlihatkan hal ganjil selama tinggal di sana, walaupun ia mengabdi pada kegelapan.
Diperjalanan andong yang ditumpangi Sarina berhenti di sebuah rumah makan untuk mengisi perut dan beristirahat sejenak, ia makan terpisah dari kusir andong yang mengantarnya. Di tempat itu, Sarina bertemu dengan seorang wanita yang terlihat masih kuat untuk bekerja, tetapi memilih untuk jadi seorang pengemis.
Ia melambaikan tangan, memanggil pengemis itu. Takut-takut, perempuan yang kurang lebih berusia empat puluhan itu mendekat ke arahnya.
“Saya, Nyai. Ada perlu apa?”
Perempuan itu tampak kumal, pakaiannya yang kotor dan compang-camping membuat dia kelihatan lebih tua dari usianya.
“Siapa namamu, Yu?”
“Kenapa, Nyai? Apakah Nyai tidak suka saya berada di sekeitar sini? Saya akan ....”
“Bukan itu maksudku, Yu.” Sarina memotong kalimat perempuan itu.
“Aku hanya ingin menawarkan pekerjaan yang lebih baik padamu, itupun jika kamu bersedia. Dan aku perlu tahu namamu.” Lanjutnya.
Sarina sedikit menahan napas karena aroma perempuan di depannya ini seperti tidak pernah mandi selama berhari-hari. Perempuan itu diam, memikirkan ucapan Sarina yang tiba-tiba menawarkan pekerjaan padahal mereka tidak saling mengenal.
“Saya Tarsini, Nyai.” Ucapnya kemudian dengan sedikit keraguan.
“Baiklah, Yu Tarsini. Bagaimana dengan tawaranku tadi? Yu mau, bekerja denganku?”
“Apa yang harus saya lakukan, Nyai?”
“Yu, aku perlu batur untuk membantuku mengurus rumah tangga dan warung yang akan aku kelola. Jika Yu Tarsini mau, kita Yu perlu membersihkan diri. Kita akan mencari pakaian yang layak untuk Yu Tarsini.”
Perempuan itu berpikir kembali. Ia meragukan kebenaran ucapan Sarina. Sejenak kemudian, ia memandangi wanita cantik yang duduk di depannya itu. Sepertinya ia memang perempuan baik-baik.
“Baiklah, Nyai. Saya bersedia bekerja untuk Nyai.” Jawabnya sesaat setelah memikirkan untung ruginya.
Dan Sarina memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanannya hari itu. Ia meminta kusir andongnya mencari penginapan sebab ia punya niat untuk bermalam di tempat itu. Setelah menemukan penginapan yang cocok, Sarina memesan dua kamar untuk mereka bertiga. Kusir segera mengangkat barang-barang Sarina dari andong dan membawanya ke kamar. Beberapa saat kemudian, Sarina dan Yu Tarsini segera menyusul.
“Yu, sekarang bersihkan seluruh tubuhmu. Kamu boleh memakai salah satu pakaianku sebagai ganti. Setelah itu, kita cari pasar dan membeli beberapa lembar baju yang sesuai untukmu.”
“Iya, Nyai. Terimakasih.” Ia segera ke kamar mandi.
Hati Yu Tarsini muncul berbagai jenis pertanyaan, entah dari mana datangnya perempuan ini. Ia mau menolongnya tanpa sebab. Jangan-jangan, ia akan memperkerjakannya sebagai pelacur? Saat timbul pikiran itu dalam hati, Yu Tarsini segera menepis jauh-jauh kekhawatirannya. Ia melihat penampilan sopan Sarina, perempuan itu juga tidak mengenakan perhiasan yang berlebihan selain sepasang giwang yang menempel di telinganya.
‘Ia tidak mungkin seorang germo!’ Pikirnya kemudian.
Selesai mandi, ia mengenakan pakaian pemberian Sarina. Baju yang dipakai sebelumnya ia bungkus dalam kantong untuk dibuang.Ia kelihatan bersih dan berubah. Penampilan kumalnya menutupi tubuhnya yang terlihat masih kuat untuk bekerja keras.
“Kau kelihatan berbeda, Yu.” Sambut Sarina.
Mereka berdua langsung keluar mencari pasar dan berbelanja beberapa barang yang mereka perlukan. Ternyata keduanya langsung merasa cocok. Menurut Yu Tarsini, Sarina sangat baik dan ramah. Bagi Sarina, Yu Tarsini kelihatan bisa dipercaya dan orang yang tepat untuk jadi baturnya, sebagai pengganti Darti yang ia tinggalkan di tempat sebelumnya.
Malam itu mereka beristirahat dengan nyenyak di peginapan setelah makan malam di warung juga juga berada di tempat yang sama. Yu Tarsini mulai mempercayai Sarina walaupun ia belum tau siapa nama perempuan yang ada di depannya itu. Aneh memang.
Mereka bangun dan bersiap-siap meneruskan perjalanan kembali sebelum matahari bersinar terlalu panas. Setelah hampir seharian terguncang-guncang di atas andong, akhirnya mereka bertiga sampai di tempat tujuan, tempat tinggal Sarina yang baru! Kedatangannya disambut sepasang suami istri yang sebelumnya diminta Sarina untuk mengurus rumah itu. Setelah semua barang mereka diturunkan dari andong, kusir itu segera kembali dan menolak untuk singgah.
Sarina meletakkan barangnya ke kamar dibantu Yu Tarsini, dan menemui Wak Tarmin dan Mbok Janah di ruang tengah. Ia juga mengajak Yu Tarsini berkumpul di sana.
“Wak Tarmin, Mbok Janah, mulai hari ini aku akan menempati rumah ini. Urusan perceraian telah selesai, dan karena aku membawa serta seorang batur, tugas Wak Tarmin dan Mbok Janah selesai sampai disini.” Ia membuka percakapan.
“Iya Neng, tidak apa-apa. Tetapi jika Neng memerlukan tenaga lebih, Nyai boleh memanggil kami kembali kapanpun.” Jawab Wak Tarmin.
“Iya, Wak. Dan ini ..., ada sedikit uang untuk semua yang kalian lakukan selama aku pergi.” Sarina mengangsurkan bungkusan uang untuk kedua orang itu.
“Tak usahlah Neng, uang yang Neng berikan waktu itu sudah lebih dari cukup.” Tolak Mbok Janah.
“Tidak, Mbok. Kalian harus menerimanya sebagai tanda terimakasihku, kalian sudah melakukan yang terbaik. Jadi tolong, jangan menolak rezeki dari tanganku.”
Mereka menerima pemberian Sarina dengan penuh rasa sungkan. Mereka beranggapan perempuan muda itu terlalu royal pada mereka sementara ia harus mencari nafkah sendiri setelah perceraiannya. Semua urusan Sarina dengan kedua orang tua itu telah selesai. Mereka pamit pulang meningglkan Sarina dan Yu tarsini.Kelelahan di perjalanan membuat mereka berdua segera ke kamar masing-masing untuk beristirahan.

*-*

Keesokan harinya, dibantu Yu Tarsini Sarina segera melaksanakan semua rencananya. Ia membuat daftar belanja untuk mengisi toko di depan rumah besar itu. Ia akan tetap berjualan seperti sebelumnya untuk menutupi pengabdiannya pada Ratu Seruni. Karena tinggal di pinggiran kota, Sarina dan Yu Tarsini tidak perlu melakukan perjalanan yang jauh untuk berbelanja. Mereka membeli semua keperluan toko dan dapur.
Pulang dari pasar, Sarina menyusun barang-barang dari pasar yang sebagian telah datang di tokonya. Sementara Yu Tarsini segera sibuk di dapur untuk menyiapkan makan siang. Hari yang sangat sibuk bagi mereka berdua. Dan saat tengah hari mereka beristirahat untuk makan siang bersama di dapur yang cukup luas itu.
“Yu, kalau boleh tahu, kenapa Yu Tarsini memutuskan menjadi pengemis? Apa Yu Tarsini tidak memiliki keluarga?” sela Sarina saat mereka menikmati masakan di meja.
“Ceritanya panjang, Nyai. Suami saya menyeleweng dengan janda genit di kampung karena kami berdua tidak memiliki anak setelah berumah tangga selama puluhan tahun. Setelah ketahuan, mereka berdua makin nekad dan mengusir  saya dari rumah, sementara saya hanya merantau mengikuti suami dan tidak punya siapa-siapa di sini.” Yu Tarsini mengangkat wajah.
Ia kelihatan sedih kini.
“Tak usah sedih, Yu. Kita akan baik-baik saj di sini. Anggap saja aku saudaramu karena aku juga tidak memiliki siapa-siapa selain duana anak yang selama ini tinggal di pesantren.” Hibur Sarina, lebih ke dirinya sendiri.
Selanjutnya mereka makan sambil saling menceritakan jalan hidup mereka. Tentu saj Sarina tidak sepenuhnya jujur, ada beberapa hal yang tidak ia ceritakan pada orang lain, termasuk Yu Tarsini. Mersa senasib, keduanya menjadi lebih dekat dan loyal satu sama lain. Dan sejak hari itu juga, Yu Tarsini adalah satu-satunya yang dipercaya Sarina. Ia tidak banyak mengatur pekerjaan yang harus dilakukan Yu Tarsini, sebab ia selalu tahu mana yang harus dikerjakan dan apa saja kewajibannya sebagai batur Sarina.
Sarina juga merasa nyaman tinggal di rumah barunya. Kini ia tak lagi melihat bayangan emak atau bermimpi tentangnya, ia juga merasa biasa saja jika seseorang mati untuk kekayaannya, tapi satu hal bagi Sarina, ia melakukan itu hanya untuk menyelamatkan anaknya. Tak ada jalan atau alasan yang lain.
Kekayaan tidak membuat Sarina buta pada lingkungan, karena itu Sarina bersikap sangat bersahaj meskipun ia kaya raya. Selama ini ia menikmati hidup dari hasil usahanya, bukan harta panas yang ia dapatkan dari Panji dan ibunya. Karena itu, ia tak memusingkan semua yang dicuri Jono untuk Gina, atau pun apa yang ia tinggalkan untuk orang tua Jono.
Waktu berlalu dengan cepat seperti mengejar Sarina. Ia memulai segalanya dari awal dan untuk menghapus jejak, ia mengubah namanya menjadi Pariyah. Yu Tarsini juga tidak mengetahui siapa nama Sarina yang sebenarnya. Dengan berganti nama menjadi Pariyah, ia sepenuhnya mengabdikan diri pada Ratu Seruni. Ia juga memilih untuk tidak lagi melibatkan perasaan setiap kali ia menjerat korban-korbannya.
Pariyah memilih laki-laki hidung belang, anak muda yang pemalas dan mata duitan, juga laki-laki yang selalu bersikap jahat pada istri dan anak-anaknya. Pariyah juga tidak mau menyimpan calon korbannya di rumah, tapi dia menyediakan diri sebagai istri simpanan agar dia tak perlu repot mengurusi kematian orang-orang itu. Semuanya menjadi lebih mudah dan masuk akal sebab ia tinggal di wilayah perkotaan dan seorang janda yang dianggap haus kasih sayang dan belaian tangan laki-laki.
Dan karena itu pula, Pariyah tidak memperkerjakan Wak Tarmin dan Mbok Janah yang ia minta untuk mengurusi rumah sebelum ia tempati untuk menjadi baturnya. Ia lebih memilih Yu Tarsini yang ia temui di jalan karena melihat kerasnya hidup perempuan itu. Dan ternyata pilihannya tepat.
Hari berganti minggu, lanjut ke bulan, Pariyah larut dengan kegiatannya. Ia jarang keluar rumah selain untuk berbelanja keperluan tokonya dan mengunjungi Aryo dan Marni. Sesekali ia membawa serta Yu Tarsini untuk dikenalkan pada kedua anaknya.
Dan dari semua perjalanan itu, Pariyah mengenal pemilik andong yang mengaku duda dan selalu genit pada Pariyah. Seperti yang sudah-sudah, lelaki itu tertarik pada pesona Pariyah juga kekayaannya. Ia pun melancarkan serangan dengan mulai mendekati Pariyah. Markun, nama laki-laki itu.
"Nyai, tidak adakah niat untuk mempunyai pendamping kembali?" tanyanya suatu waktu saat ia mengantar Pariyah ke pesantren anaknya.
"Belum ada yang cocok Kang, cari suami harus bisa menerima Pariyah apa adanya."
Lelaki itu tergelak.
"Bagaimana jika Akang mau menerima Nyai Pariyah apa adanya." ia melirik Pariyah nakal.
Pariyah sudah tahu gelagat lelaki ini. Ia juga mengetahui jika Markun masih terikat perkawinan dengan istrinya.
“Jangan bercanda, Kang. Aku tahu jika Akang masih memilki istri. Tak perlu ditutupi.” Jawab Pariyah.
“Yah, apa salahnya jika Akang punya dua istri? Kalau Nyai Pariyah mau, Saya juga bersedia.” Tawanya terdengar menjijikkan.
"Tentu saja aku  mencari pendamping Kang, namun aku tak lagi muda dan memiliki dua anak beranjak remaja. Walaupun demikian, aku tidak mau mencari masalah dengan mengawini laki-laki beristri.” Pariyah berlagak jual mahal.
Ia melihat Markun tersenyum semringah sambil melirik wajah cantik dan tubuhnya yang masih terlihat menawan meskipun ia sudah punya dua anak remaja. Jika Pariyah mengaku perawan pun tak akan ada yang menyangkal. Pariyah berniat menggoda Markun lebih jauh dengan sengaja duduk memperlihatkan sebagian paha bagian atas dengan sedikit menyingkap kain panjang yang ia kenakan dan berpura-pura tidak menyadari jika Markun menelan ludah sambil berkali-kali mencuri pandang ke arahnya.
Diam-diam Markum mengkhayalkan berbuat mesum dengan Pariyah di suatu tempat. Ia tidak bisa lagi menahan diri untuk tidak merayu Pariyah.
“Semua bisa diatur, Nyai. Jika Nyai mau, Akang akan melakukan apa yang Nyai minta.”
“Apa yang bisa Akang lakukan?” kejarnya.
Merasa di atas angin, Markun semakin berani. Ian menghentikan andong dan pindah ke belakang, duduk di sebelah Pariyah.
"Kan Akang sudah mengatakan Nyai, Akang bersedia menerima Nyai apa adanya." tiba-tiba Markun meremas jika mari Pariyah.
"Nyai takut istri Akang akan marah." Pariyah Sarina sengaja membalas remasan tangan Markun.
Wajah Markun sedikit berubah, jantungnya berdegup kencang.
"Kalau sama-sama niat, itu semua bisa diatur Nyai. Istri Akang tak perlu tahu, jika Nyai takut terjadi sesuatu." jawabnya setelah suasana hatinya sedikit tenang.
"Maksud Akang?" Pariyah pura-pura bingung.
"Ya, kita sama-sama dewasa kan, Nyai ...,kita kawin saja diam-diam. Orang lain tak perlu tahu."
"Lalu, Akang meninggalkan istri Akang?" Pariyah pura-pura terkejut dan berharap.
"Jika Nyai bersedia menikahi Akang, Nyai juga harus terima jadi istri kedua. Sebab Nyai sudah tahu, Akang punya anak." Bisiknya di telinga Pariyah.
Markun menghirup aroma rambut Pariyah yang seperti melati. Hasratnya mengumpul jadi satu mengakibatkan napasnya naik turun menahan gejolak yang membara di hati.
Pariyah tersenyum. Markun telah masuk ke dalam perangkapnya.
“Baiklah, Nyai bersedia. Tapi akang juga harus berjanji untuk tidak menceritakan hal ini pada siapapun. Cukup kita berdua yang tahu.”
Markun lega mendengarkan jwaban Pariyah.
“Nah, karena Nyai sudah menyanggupi permintaan Akang, bisakah kita melanjutkan perjalanan kita sekarang?”
“Tentu, Nyai. Kita lanjutkan perjalanan.”
Seperti orang dungu, Markun turun dari andong dan kembali duduk di depan mengendalikan kuda yang menarik andongnya. Mereka lebih banyak diam selama di perjalanan. Markun sibuk dengan semua pikiran kotornya, Pariyah sibuk membayangkan pertemuan dengan kedua anaknya. Perjalanan panjang itu akhirnya berakhir. Mereka sampai menjelang malam dan terpaksa harus menginap di tempat yang telah disediakan oleh pengelola pesantren.
Sekembalinya Pariyah dari pesantren, mereka berdua memutuskan untuk menikah diam-diam, di bawah tangan yang tidak diketahui oleh siapapun kecuali oleh orang-orang yang sengaja disewa oleh mereka berdua untuk menjadi saksi pernikahan dan sebagai penghulu. Setelah menikah, Pariyah dan Markun tinggal terpisah. Pariyah tetap tinggal di rumahnya ditemani oleh Tarsini, sementara Markun tetap tinggal bersama anak dan istrinya. Hanya sesekali ia menemani Pariyah saat ia menginginkan tubuh perempuan itu. Kadang ia menginap disana dan membuat alasan pada keluarganya bahwa dia sedang mengantar seseorang keluar kota dengan imbalan yang besar.
Saat menginap di rumah Pariyah, ia tak segan meminta uang pada Pariyah dengan cara merayunya. Dan pura-pura polos, Pariyah mengiyakan permintaan Markun tanpa bertanya lebih jauh. Merasa dibutuhkan dan dicintai, sikap Markun terkadang sedikit kelewatan yang membuat Pariyah muak, tapi ia memilih menyembunyikan semua perasaan demi suatu tujuan.


Pesugihan Gunung Larangan (Sudah Terbit) √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang