5. Hidup Baru

2.3K 65 1
                                    


Sarina menutup warung kelontongnya. Ia juga menitipkan anak-anak pada Wak Sarpi, tetangganya. Sengaja ia melakukan itu karena ia akan bepergian jauh, untuk mencari tempat yang baru, berjaga-jaga jika kelak ia memang harus mengandung benih Panji Asmoro. Di samping itu, ia merasa sedikit gelisah belakangan ini karena memikirkan banyak hal, termasuk semakin sering ia bermimpi bertemu emak yang tak pernah mau berbicara dengannya. Ada kalanya emak duduk di teras depan rumah, sesekali ia melihatnya di kamar sambil menangis, atau bahkan memandangi Sarina dari jauh dengan tatapan kecewa dan hati sedih seorang ibu saat anaknya memutuskan untuk memilih jalan pintas yang tidak disukai oleh Sang Pencipta.
Sarina pergi ke banyak tempat, jauh dari kampung halaman agar tidak ada seorangpun yang mengenalinya. Dan setelah berhari-hari ia meninggalkan kampung dan anak-anaknya, Sarina menemukan tempat yang tepat untuk mengasingkan diri bersama keluarga. Tempat yang sangat jauh dari jangkauan orang-orang yang ia kenal sebelumnya.
Ia membeli tanah dengan bangunan di atasnya yang cukup luas. Sebuah bangunan tua yang tidak terlalu dekat dengan tetangga kanan kiri. Rumah itu kelihatan gagah meskipun beberapa sudut telah dilapisi lumut sehingga terlihat sedikit kumuh dan tidak terawat. Seluruh bagian rumah itu terasa lembab dan pengap karena pintu dan jendelanya hampir tidak pernah dibuka. Sepertinya bangunan itu peninggalan jaman kolonialisme Belanda yang telah berpindah-pindah kepemilikan tetapi tetap mempertahankan bangunan asli.
Rumah itu direnovasi oleh Sarina agar tampak hidup kembali. Beberapa bagian yang rusak diperbaiki, cat dinding yang mengelupas di kikis dan diganti dengan warna yang baru dan yang lebih penting rumah menjadi lebih layak huni, ia juga membeli beberapa perabotan yang baru agar anak-anak merasa nyaman dan betah tinggal di sana. Sarina juga menyiapkan satu ruangan khusus baginya untuk melayani Panji Asmoro. Tanaman pagar di belakang rumah yang sebelumnya tampak semrawut dan tidak terawat juga dirapikan agar tidak kelihatan semak dan angker. Beberapa pria lokal membantu dengan upah yang cukup untuk mengerjakan semuanya.
Setelah semua kelihatan rapi, Sarina menitipkan rumah itu pada sepasang suami istri yang memang sebelumnya bertugas menjaga dan mengurus rumah itu.
"Wak Ogel dan Nyai Una, saya titip rumah ini. Tolong diurus sampai saya kembali lagi. Masih banyak urusan yang harus saya selesaikan." Sarina memandangi dua orang itu penuh harap karena ia yakin keduanya adalah orang yang tepat dan bisa dipercaya.
"Kalian berdua tinggallah disini hingga kami siap untuk menempati rumah ini. Mungkin agak lama, karena saya juga mengurus beberapa keperluan suami." kata Sarina sambil berusaha menutupi rahasia besarnya.
Dua orang itu mengangguk meskipun mereka merasakan sedikit kejanggalan dalam pengakuan Sarina. Biasanya, yang mengurus renovasi rumah adalah kaum pria. Mulai dari membeli tanah beserta bangunannya, mencari orang yang tepat untuk membereskan semua kerusakan, dan juga mengatur pagar hidup yang menjadi pembatas tanah. Namun mereka memilih untuk memakluminya, orang kaya selalu bersikap lain dari kebanyakan orang karena mereka punya uang dan segalanya.
Sarina pergi dari kampung itu dan meninggalkan rumah barunya. Kebetulan dua hari lagi Panji Asmoro akan datang berkunjung untuk meminta pelayanan darinya. Sarina sudah sangat siap jika dia memang harus melayani Panji, bahkan jika Sarina harus mengandung anak laki-laki itu, sepanjang kedua anaknya tidak diganggu oleh Gusti Ratu Seruni ataupun Panji Asmoro. Ia tiba di rumah tepat dihari persembahan. Seperti biasa, ia segera membersihkan rumah dan menyediakan semua keperluan anak-anak yang tampak merindukan Sarina karena hampir sebulan ia meninggalkan mereka dengan Wak Sarpi.
Setelah makan bersama dan bercengkerama sejenak. Menjelang jam 9 malam, Sarina menidurkan anaknya dan menutup pintu kamar mereka. Sebelum pergi ia mencium mereka dan meninggalkan pesan ....
“Cepatlah tidur, besok kita bisa main bersama lagi karena Emak tidak akan pergi ke mana-mana lagi.”
Kemudian ia segera masuk ke kamar dan menyiapkan diri. Perasaan Sarina tidak segelisah 36 hari sebelumnya, sebab ia lebih siap kini meskipun masih ada sedikit perasaan takut yang menyelinap di hatinya.
Udara mendadak terasa dingin karena angin bertiup sedikit kencang di luar rumah. Ia tahu bahwa Panji Asmoro sudah dekat. Segera ia beranjak ke ruang tamu agar lebih dekat ke pintu. Gerimis mulai turun mendampingi embusan angin kencang dan petir yang mulai saling menyambar di kejauhan. Terdengar suara ketukan pintu dari luar dan Sarina tak menunggu lagi, ia segera membuka pintu dan mendapati sosok lelaki di depannya. Ia memakai pakaian khas kerajaan jaman dulu. Lelaki itu segera masuk. Mereka berjalan beriringan ke kamar Sarina dan menghilang di balik pintu. Seperti sebelumnya, tanpa banyak bicara, mereka memadu kasih. Kali ini Sarina sudah merasa lebih santai dari sebelumnya. Sesaat setelah selesai melayani keperluan lelaki itu, Sarina diam-diam memperhatikan sosok di depannya yang telah berganti wajah. Panji tak lagi menyerupai almarhum suami Sarina. Ia menjelma menjadi lelaki tampan dan lebih gagah.
"Kau memperhatikanku Sarina, atau jangan-jangan kamu telah jatuh hati terhadapku." bisiknya di telinga Sarina, ia seperti sedang menyeringai.
Sarina tersipu, merasakan wajahnya sedikit hangat kemudian memalingkan muka ke arah langit-langit.
"Inilah wujud asliku, sebelum Ratu mengambilku untuk kembali hidup di bersamanya."
Sarina diam mendengarkan.
"Aku akan tetap berwujud seperti ini jika aku mampu menikah dan mencintai wanita fana dan dia juga mencintai serta setia terhadapku. Tetapi apabila wanita itu mengecewakan aku, maka aku akan berubah wujud menjadi menyeramkan seperti saat pertama kali kita bertemu di Sendang Rono.”
Panji menatap Sarina yang masih tak berpakaian di bawah selimutnya. Wajah Sarina tampak lebih berseri-seri dan kembali menyiratkan cahaya mudanya.
"Aku berharap, kau tak akan pernah mengecewakan dan menghianatiku Sarina." senyumnya mengembang.
Sarina terpesona dengan ketampanan Panji. Lalu, seperti tak ingat dosa dan kehidupan abadi setelah kematian, Sarina kembali memandangi Panji dan meletakkan tangannya di dada lelaki itu dan mereka mengulangi perbuatan terkutuk yang seharusnya tidak mereka lakukan hingga puas. Sarina melupakan emak yang sering datang untuk memperingatkannya melalui mimpi-mimpi di setiap tidur malamnya.
"Apakah engkau akan memilih wanita lain sebagai pendampingmu kelak? Dan apa yang terjadi jika engkau memilih wanita itu?" tanya Sarina begitu mereka menyelesaikan pergumulan.
"Aku bebas melakukan apa saja Sarina. Dan yang melayani aku bukan hanya dirimu. Mereka semua menyerahkan diri untuk suatu tujuan. Dan aku mengambilnya sebagai imbalan atas apa yang aku berikan pada mereka."  Panji menatapnya.
"Termasuk dirimu." ucapnya.
Sarina merasakan ada sesuatu di hatinya. Mendadak ia merasa menjadi sangat hina. Ia tidak lebih dari seorang penjual diri untuk mendapatkan imbalan dari pria hidung belang.
"Lalu apa yang akan terjadi jika aku mengandung anakmu?"
Panji masih menatapnya. Ia merasakan nada kecewa dalam kalimat Sarina.
"Maka kau harus menjaganya, mengutamakan kepentingannya, dan memberikan semua yang dia minta. Pada saat itu, kau tidak perlu harus melayani aku, karena anakkulah yang harus kau layani."
Hati Sarina terasa kecut. Bahkan makhluk seperti diapun mampu cuci tangan dan melarikan diri dari tanggung jawab. Dunia terasa jadi begitu kejam bagi Sarina.
"Anakku akan tetap memberikan semua yang kau minta. Dia adalah penggantiku kelak. Dan kau harus merawatnya, hingga saatnya tiba bagi kami untuk menjemput dan membawa dia sebagai penerus penguasa kerajaan jin suatu saat nanti."
Sarina kembali berpaling menatap langit-langit. Wajah emak muncul kembali dan memandangnya dengan wajah marah dan kecewa. Seandainya saja waktu itu Sarina mampu berpikir jernih, tentu ini tak perlu terjadi. Ia akan tetap bersama emak. Membagi segala beban dengan wanita tua itu dan ia pasti akan selalu ada di setiap waktu Sarina membutuhkannya. Oh, Tuhan ..., batin Sarina menjerit.
"Kau tak perlu kecewa, aku akan menemanimu jika ketika mengandung anakku. Dan Ratu serta dayang-dayangnya akan membantu proses kelahirannya. Tak ada yang perlu kau takutkan."
Panji mengucapkan kalimatnya seolah Sarina adalah sebongkah batu yang tak punya hati. Tapi mana mungkin makhluk astral seperti Panji akan memahami perasaannya? Baginya, Sarina hanyalah abdi. Tidak lebih!
"Sekarang tidurlah karena aku harus segera kembali. Ibu Ratu tak akan suka aku berada disini dan menemanimu terlalu lama. Baginya, kau adalah budakku. Karena kau tidak layak untuk menjadi bagian dari keluarga kami, meskipun suatu saat kau harus melahirkan keturunan kami."
Jiwa Sarina terluka kini. Ia menangis. Kalimat Panji sungguh tajam dan penuh penghinaan. Jika Sarina punya kekuatan lebih, ia tentu akan melenyapkan makhluk ini. Tapi apa yang dapat dilakukan Sarina selain menangis? Ia hanya gundik, seorang budak nafsu dari makhluk kegelapan.
Lelah dengan segala beban penyesalan, Sarina tertidur lelap hingga pagi melampaui hari. Ia terbangun hampir tengah hari. Segera saja Sarina ke kamar mandi dan membersihkan badan. Saat mengganti pakaian di kamar, Sarina menatap tubuhnya, sarana pengabdiannya. Ada banyak tanda tertinggal di sana. Tanda yang mampu mengingatkan Sarina akan kalimat hina yang diucapkan oleh Panji Asmoro sebelum ia pergi meninggalkannya dalam tangis panjang yang melelahkan. Kedua anaknya tak berani mengganggu, Sarina tahu jika kebutuhan mereka telah tersedia karena saat melewati meja makan tadi, ia melihat semua makanan telah tersedia. Sepertinya itu memang perbuatan Panji dan Ratu Seruni.
Sarina terkesima, tiba-tiba wajah emak muncul di pantulan kaca di depannya, wanita itu sedang duduk di tepi pembaringan. Ketika Sarina membalikkan badan untuk melihat ke arah datangnya bayangan emak, ia tak melihat siapapun disana. Bulu romanya berdiri. Ia segera berpakaian dan keluar kamar untuk bersiap membuka warung kelontong. Tapi karena melihat  banyak barang yang tidak tersedia, ia tak jadi membuka kedai. Sarina menata dagangannya kembali dan mencatat semua yang perlu ia beli. Ia berniat akan ke kota besok pagi sambil membawa anak-anak jalan-jalan.

Pesugihan Gunung Larangan (Sudah Terbit) √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang