14. Menikah Kembali

1.9K 51 2
                                    

Setahun setelah Bardi meninggal, Sarina kembali dekat dengan laki-laki yang lainnya. Jono, pemuda yang berorientasi mendapatkan perempuan kaya atau paling tidak anak orang kaya. Ia ingin hidup makmur tanpa perlu merintis dengan usaha sendiri . Dengan wajah tampan dan mulut manisnya, ia memang lebih mudah mendekati lawan jenis. Tidak peduli usia perempuan itu masih muda atau setengah tua, berstatus janda atau pun gadis, yang penting dia berduit. Pemuda itu hanya ingin hidup enak dengan menjadi benalu dari para perempuan yang ia dekati.
Ia dan orang tuanya baru saja pindah ke kampung Sarina. Pertama kali melihatnya, Jono sudah tertarik melihat janda muda itu karena Sarina masih terlihat muda. Jono bahkan belum tahu status pernikahannya. Setelah mengetahui bahwa wanita yang ia sukai tidak bersuami, maka Jono mulai mendekati Sarina. Dimatanya, Sarina adalah janda kaya yang pasti butuh belaian kasih sayang, apalagi Jono mendengar kabar jika suaminya baru saja meninggal. Untuk melaksanakan niatnya, pemuda malas itu mulai mendekati Sarina dengan berbagai cara. 
Ia berpikir dengan memberikan kasih sayang pada Sarina, maka Sarina juga pasti akan memenuhi kebutuhan hidupnya. Berbeda dengan Jono yang berpikir untuk mencari keuntungan dari hubungan dengan setiap perempuan, Sarina hanya berniat mencari suami yang akan dijadikan mangsa. Dan sejak kematian Bardi, ia berjanji akan menjerat laki-laki yang tidak berperilaku baik saja. Jono menjadi calon yang tepat, sebab Sarina tidak menemukan sedikitpun hal baik dalam diri Jono. Maka dari itu ia sengaja memanfaatkan situasi, untuk menjaga dari pemberitaan yang tidak enak, Sarina lebih suka anggapan bahwa Jonolah yang mendekatinya. Singkat kata, Jono memang terang-terangan memperlihatkan ketertarikannya pada Sarina, tanpa memperdulikan larangan orang tuanya.
"Jono, masih banyak perempuan yang masih gadis di luar sana. Mereka pasti mau kau jadikan istri. Carilah pekerjaan yang benar, jangan bermalas-malasan." nasehat ibunya.
"Ah, Emak tau apa? Mendekati perempuan itu pakai modal Mak, apalagi masih gadis. Kalau yang ini sudah jelas, cantik, kaya, banyak pengalaman dan yang pasti tak perlu modal. Yang penting Jono bisa menyenangkan hatinya." sergah Jono.
“Dia itu janda Jono, kaya raya dan terhormat. Orang akan segera menggunjingkan kalian berdua jika kamu nekat mendekati dan berniat memperistri Nyai Sarina.”
“Apa yang dikatakan orang lain itu tidak penting buat Jono, Mak. Yang penting adalah jika aku bisa menikahinya, maka hidup kita akan serba kecukupan. Emak tidak perlu lagi bekerja keras karena anak Emak yang akan memenuhi keperluan hidup Emak.”
Ibunya hanya geleng-geleng kepala. Ia tak menyukai sikap anaknya yang malas bekerja dan sedikit licik. Ia malu jika Jono meneruskan langkah mendekati Sarina lebih tua daripada Jono, belum lagi jika tetangga mengetahui maksudnya mendekati janda kaya itu. Ia hanya tidak ingin anaknya jadi gunjingan warga setempat. Tapi faktanya, Jono memang mendekati Sarina tanpa tedeng aling-aling.
Sarina membuka pintu rumahnya lebar-lebar saat Jono bertandang. Ia tak punya banyak waktu dan Panji juga tak akan mau menunggu lebih lama. Karenanya, saat Jono mengutarakan niatnya Sarina tidak memasang tampang jual mahal.
"Bagaimana Nyai, Akang berniat untuk menikahi Nyai, karena Akang sayang pada Nyai." rayunya sesaat setelah mereka di dalam rumah.
"Kang, pikirkan dulu masak-masak niatmu. Nyai janda, punya dua anak, dan lebih tua dari Akang."
Senyum Sarina mengembang, membuat Jono merasa girang saat ucapannya ditanggapi serius oleh Sarina.
"Tak ada masalah menikah dengan janda yang lebih tua dan memiliki anak. Akang  bersedia menerima Nyai apa adanya."
"Bagaimana dengan orang tua Akang? Apa mereka tidak akan keberatan?"
"Ah, itu hanyalah masalah kecil, tak perlu dipikirkan." Jono mengibaskan tangan. "Mereka pasti mengikuti apa kata Akang, yang penting mengarah pada kebaikan, maka mereka akan setuju." jawab Jono cepat.
"Baiklah, jika Akang memang serius ingin menikahi Nyai, mintalah orang tua Akang datang kemari." senyum Sarina tersungging di bibirnya.
"Betul, Nyai?" mata Jono berbinar. "Nyai, mau menikah dengan Akang?"
Sarina mengangguk. Dengan senang hati, Jono mengakhiri pembicaraan mereka dan pamit pulang pulang untuk memberi tahu ibunya. Ia begitu tak sabar membayangkan kenikmatan hidup yang akan dia miliki setelah menikahi Sarina. Benaknya dipenuhi harapan dan keingina yang akan segera terwujud. Ia tak perlu bekerja keras, ia hanya akan membantu Sarina menjaga toko dan sesekali menemani Sarina ke kota. Nasib baik memang selalu menaungi Jono melalui ketampanan wajahnya.
Sementara itu, ibunya memang berusaha melarang Jono untuk menikahi Sarina, selain status jandanya, mereka juga belum tahu bagaimana tabiat perempuan itu yang sesungguhnya.
"Nak, janganlah berkhayal terlalu tinggi, kita ini orang miskin. Jangan sampai kita dibuat malu, belum tentu Nyai Sarina menerima lamaranmu setelah Emak datang, jangan-jangan ia akan mempermalukan kita."
"Sekarang, Emak mau atau tidak melamar Sarina?"
"Jono, jangan terburu nafsu dan  menyesal di lain hari, kenali dia dulu. Pikir dan pertimbangkan masak-masak sebelum terlambat."
"Tak ada lagi yang perlu dipikirkan Mak, kita tak usah memikirkan keadaan, Jono sudah bicarakan masalah ini dengan Sarina, ia bersedia menikah dengan Jono asalkan Emak mau melamarnya."
"Jono, Emak takut ini hanya olok-olok. Jika ditolak, kita akan malu dan jadi gunjingan tetangga dalam waktu yang lama."
"Mak, Jono capek miskin terus. Tak ada yang akan menggunjingkan kita. Percayalah, Sarina akan menerima lamaran Jono. Lagi pula, ... Apa salahnya mencoba?"
Jono terus memaksa ibunya, ia terpaksa menyerah dan meluluskan permintaan Jono, dua hari kemudian dengan persiapan seadanya.
Ibunda Jono, Wak Jinem mendatangi Sarina dengan perasaan gundah gulana dan mempersiapkan untuk menanggung malu jika Sarina menolak lamaran itu. Ia tak tahan menghadapi desakan Jono.

*-*

Sarina menemui dan menyambut hangat kedatangan mereka Tanpa basa-basi, Jono mengutarakan maksud kedatangannya. Sarina mendengarkan dengan seksama.
"Bagaimana Neng,  sebelumnya Emak juga minta maaf jika kami dianggap lancang." Wak Jinem menundukkan kepala.
Sarina tersenyum.
"Tak apa Mak, saya senang Emak mau kesini dan mengutarakan niat baik. Tapi, ...apa Emak bersedia punya mantu saya, janda dengan dua anak yang beranjak remaja?"
Sarina memandangi tamunya bergantian. Mata Jono tampak berbinar, sementara Wak Jinem kelihatan gugup dan gelisah.
"Emak, hanya mengikuti kemauan anak Emak, jika Eneng setuju, Emak juga setuju saja sepanjang itu jadi kesepakatan kalian berdua."
Dan pembicaraan berakhir. Sarina bersedia kawin dengan Jono. Hari juga segera ditentukan walaupun terkesan mendadak, karena hanya kurang dari satu bulan mereka akan resmi menjadi suami istri. Sarina tak mengajukan banyak syarat pada Jono, bahkan mas kawin juga diutang.
Selain itu Sarina juga tidak memberi tahu kedua anaknya jika ia menikah kembali. Ia tak mau kenangan Ayo dan Marni tentang Bardi rusak juga tidak ingin mereka berdua beranggapan jika ibunya kawin lagi karena haus belaian lelaki.
Pernikahan itu bahkan berlangsung lebih sederhana dari pada pernikahan Sarina dengan Bardi. Hanya disaksikan oleh tetangga kanan dan kiri. Tak ada tenda, tak ada masak besar serta suara gending-gending yang menandakan suatu perayaan pesta pernikahan. Semua berlangsung sepi dan dilingkupi suasana mistis. Langit mendung disertai gerimis dan angin kencang sebagai tanda bahwa pernikahan itu disaksikan Panji dan Ratu Seruni. Perasaan Sarina sama persis seperti  saat melangsungkan pernikahan dengan Bardi.
Ia menekan semua perasaan itu, yang terpenting mangsa untuk Panji telah tersedia dan anaknya untuk sementara waktu akan selamat dari incaran Panji.
Dua minggu setelah menikah, perangai asli Jono mulai terlihat. Ia mulai petantang petenteng seperti juragan besar terhadap pegawai Sarina. Sok perintah ini dan itu. Bermalas-malasan dan minta disediakan serta dilayani semua kemauannya.
Sarina bukan tak mengetahui hal itu, ia juga sebenarnya tak menyukai sikap Jono. Tapi Sarina menyimpan rapat semua kekesalan, bahkan meminta Darti dan Simin untuk bersabar menghadapi Jono tanpa menunjukkan ketidak sukaan mereka pada suaminya. Ia tak ingin orang di sekitarnya curiga dengan berpura-pura bahagia menikahi Jono. Ia menyediakan semua keperluan Jono, sama seperti ketika melayani Bardi. Bahkan menyiapkan handuk dan pakaiannya saat Jono akan mandi.
Diperlakukan seperti itu, Jono jadi besar kepala dan merasa jemawa. Mulai membentak-bentak dan berkata kasar pada Darti jika tidak segera dilayani perintahnya, seperti pagi itu ....
"Dartiii!" jeritnya saat tak melihat teh dan sarapan di meja makan. Sedangkan Sarina sedang ke kota untuk belanja kebutuhan kedai.
Tergopoh-gopoh Darti mendatanginya, tangannya masih memegang sodet dan masih mengenakan celemek masak.
"Iya Tu-tuan..." gadis itu menunduk, ia muak pada lelaki muda ini, perangainya berbeda dari Bardi.
"Mana teh dan sarapanku? Jangan karena tak ada Nyai kamu bisa sembarangan! Atau kauadukan kau pada Nyai biar dipecat?" kakinya naik ke kursi, denganbmuka merah padam karena marah.
"Kerja yang betul, jadi babu saja sudah teledor melayani majikan, bagaimana mau jadi orang besar?" bentaknya sambil menggebrak meja.
"Iya Tuan, maafkan saya." Darti tetap menunduk.
"Cepat pergi! Sediakan sarapanku! Apa kau menunggu aku mati kelaparan dulu!" bentaknya sekali lagi.
Darti cepat-cepat menghambur ke belakang. Ia bersungut-sungut kesal, rasanya ingin memukul muka Jono dengan sodet ditangannya. Tapi apalah daya, jika ia menceritakan hal itu pada Sarina juga tak akan ada gunanya apalagi jika sampai memukul Jono, pasti ia akan segera dipecat karena dianggap kurang ajar pada majikan. Jonolah yang akan dibela Sarina, bukan Darti. Kalaupun ia berempati pada Darti, Sarina hanya akan menyuruhnya sabar.

Pesugihan Gunung Larangan (Sudah Terbit) √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang