11. Pulang

1.9K 56 1
                                    

Tak terasa, tahun-tahun merawat Satrio sudah berlalu, bocah itu telah berumur tujuh tahun kini. Panji telah mempetingatkan bahwa ia akan segera menjemput Satrio, Sarina harus melepaskannya. Karena, sekeras apapun Sarina mempertahankannya, ia tak akan pernah berhasil sebab secara diam-diam Panji selalu berkomunikasi dengan anaknya dengan caranya sendiri yang tidak pernah diketahui oleh Sarina.
Secara fisik, Satrio memang berada di sisi Sarina, namun ia hampir tidak pernah bermanja-manja dengannya. Anak kecil itu seperti hidup di dalam dunianya sendiri, sehingga ia tidak memperhatikan kesibukan orang-orang di lingkungan tersebut. Ia hanya mendekati Sarina jika merasa lapar, karena sampai di usia sekarang Satrio belum menemukan makanan yang bisa membuatnya merasa kenyang, selain cairan yang berasal dari tubuh ibunya berupa asi.
Sejak Sarina menyadari itu, ia tak lagi berusaha membangun ikatan batin dengannya, anak itu selalu berpaling setiap kali Sarina mencoba mendekat dan berbicara. Puncak keanehan terjadi ketika Satrio berbicara sambil mendesis saat meminta makan. Sebelumnya Sarina memang menyuapnya dengan makanan yang ia masak sendiri. Tetapi kali ini keadaan telah berbeda, Satrio memberinya tanda.
"Iya Nak, kamu mau makan apa? Biar Emak yang menyediakan." katanya sambil beringsut.
Sarina merasa sedikit cemas dan takut, anak itu tidak pernah meminta makan. Ia menyuapnya jika merasa sudah waktunya makan bagi Satrio dengan demikian, Sarina berharap tidak perlu menyusuinya karena perut anak itu sudah kenyang. Tetapi rupanya hal itu tidak pernah terjadi, sebanyak apapun makanan yang diberikan Sarina, anak itu tetap menyusu. Sesuatu yang membuat ibunya tersiksa namun tidak bisa ditolak. 
"Aku akan mencari makananku sendiri. Kau tak perlu menyediakan untukku." Desisnya sekali lagi.
Bulu kuduk Sarina meremang. Kalimat itu, ia mengetahui kalimat itu pertanda apa. Perasaan cemas datang tanpa diundang. Ia takut Marni dan Aryo akan mengalami sesuatu yang buruk. Diam-diam ia berdoa agar musibah dan hal buruk tak pernah terjadi pada kedua buah hatinya. Hari masih siang, tapi Sarina merasa berada dalam suasana malam yang panjang dan menakutkan seorang diri.
Satrio tiba-tiba bangkit dan berjalan keluar. Ia berusaha mengikuti anak itu, tapi entah ke mana ia pergi. Sarina kehilangan jejak. Sekitar Ashar, Wak Ogel tergopoh-gopoh mendatangi Sarina saat sedang menyirami tanaman hias di halaman depan.
"Neng, ... tolong saya Neng, tolong?" pekiknya begitu melihat Sarina.
Panik, Sarina melemparkan gembor kaleng ditangannya.
"Ada apa Wak? Apa yang terjadi?" ucapnya gugup sambil mengelap kedua tangan dengan baju yang ia kenakan.
Wak Ogel terlihat ketakutan dan juga seperti mencemaskan sesuatu.
"Entah apa yang terjadi dengan Nyai Una Neng, ia tiba-tiba kejang seperti ayan, matanya melotot lalu keluar darah dari hidung dan telinganya!”
Oh ... apa ini? Kecemasan menutupi hati Sarina. Tak sadar ia bergegas ke rumah Wak Ogel sambil menarik tangan lelaki renta itu. Setengah berlari mereka keluar melintasi halaman rumah Sarina yang luas. Sampai di rumah Wak Ogel, mereka segera masuk dan menemukan Nyai Una tergeletak tak bernyawa di ruang tamu dengan kulit membiru, mata melotot dan wajah yang menghitam seperti hangus terbakar dengan darah yang mengering dari hidung dan kedua telinganya.
Wak Ogel langsung berlutut memeluk istrinya.
"Oh ... Nyai, a-apa yang terjadi padamu? Kau tadi masih hidup saat kutinggalkan mencari bantuan, dan kamu pergi tanpa sempat aku mendampingimu di saat napasmu berembus untuk yang terakhir kali!"
Pipi keriput Wak Ogel basah oleh air mata. Sambil memeluk istrinya yang sudah meninggal, ia terus menangis. Sementara Sarina masih berdiri kaku di tempat, tidak tahu harus melakukan apa. Namun ia tahu ini perbuatan siapa.
Tadi pagi Nyai Una masih sempat membantunya membersihkan rumah dan memasak, kini ia tiba-tiba pergi dengan cara yang tidak ia duga sama sekali. Cara mati yang sungguh keji dan sangat menyakitkan. Sarina menangis diam-diam. Dalam hati ia minta maaf pada Nyai Una yang telah menjadi tumbal pesugihan baginya, melalui tangan Satrio.
*-*
Penguburan Nyai Una dilaksanakan hari itu juga. Sarina sedih dan sakit hati harus kehilangan wanita tua itu. Ia telah menganggap mereka adalah Sarina bagian dari keluarganya. Belum lagi Nyai Una digunjingkan oleh seluruh penduduk kampung karena meninggal dengan cara yang tidak wajar. Sebenarnya Sarina ingin membela, ia tak rela Nyai Una digunjingkan seperti itu, sebab tak ada seorang pun yang mau mati dengan cara seperti itu, tapi apa yang bisa dilakukan Sarina? Tak mungkin ia mengakui bahwa itu perbuatan Satrio, yang sebenarnya adalah anak dari hasil perbuatan terkutuk Sarina dengan keturunan Jin, yang dibesarkan untuk kehidupan mewah yang kini justru membuat hidupnya berantakan.
Satrio masih belum muncul hingga hari gelap dan malam mulai larut. Tapi bukan itu yang perlu dicemaskan, Sarina tidak pernah khawatir pada kondisi anak itu karena ia tidak pernah sakit ataupun mengalami hal buruk, Sarina hanya memikirkan keselamatan kedua anaknya. Jika sesuatu terjadi pada Nyai Una, maka bukan tak mungkin hal itu juga akan terjadi pada Aryo dan Marni dimanapun mereka berada.
Sambi terlentang di kamar ia  memandangi langit-langit, yang berubah warna menjadi jingga karena terbias oleh lampu teplok yang menerangi ruangan itu. Tiba-tiba ia mendengar embusan angin kencang yang menggesek dedaunan. Dan secara mendadak Panji sudah berada di ruangan itu bersamanya. Sarina terkesiap, ia bangkit dari pembaringan dengan seluruh bulu kuduk yang meremang.
"K-kang Panji!" desisnya.
"Sarina, sudah saatnya aku membawa Satrio. Anak itu bisa menjadi wabah di kampung ini dan akan membahayakanmu karena ia pasti akan mendatangkan kesulitan."
Dada Sarina serasa meledak oleh amarah, tapi dia memilih untuk tidak menuruti emosi.
"Lalu? Apa aku masih harus menyusuinya?” tanyanya ketus.
"Kau tak perlu lagi melakukan itu, tapi kau harus melakukan kewajibanmu yang lain, yaitu mencari suami untuk menjadi pelayanku kelak sebagai ganti merawat Satrio." suara Panji terdengar sebagai tuntutan baginya.
Sarina diam membisu.
"Satrio telah bersamaku sekarang, sudah saatnya kau mulai mempersiapkan diri dapat menemukan seseorang yang tepat untuk menjadi tumbal untuk sang Ratu." Panji memastikan Sarina mengerti perintahnya.
"Aku akan pergi sekarang jika tak ada lagi yang kau inginkan dariku."
Sarina tidak menginginkan apapun darinya kecuali melepaskan diri dari perintah Panji dan Ratu Seruni yang membuat Sarina terjebak dalam berbagai kesulitan dan kesedihan.
Panji menepuk bahunya dan saat itu ia menghilang dari pandangan dan meninggalkan embusan angin yang kembali membangunkan bulu roma.
Setelah kepergian Panji dan Satrio, hidup Sarina jauh berbeda dari sebelumnya. Ia jadi punya banyak waktu untuk merawat diri dan melakukan banyak hal yang ia suka. Ia mengaku sudah bercerai dari Panji dan Satrio dalam pengasuhan si ayah. Ia mulai membuka usaha toko kelontong kembali untuk menyamarkan keadaan bahwa ia memiliki pesugihan yang menuntut tumbal nyawa seseorang.
Toko Sarina lumayan ramai dikunjungi pembeli. Untuk itu Sarina sering bepergian ke kota untuk memenuhi barang dagangan yang terjual di toko. Seringnya bepergian, membuat Sarina mulai mengenal banyak orang. Status janda muda yang cantik membuat para wanita bersuami waspada. Mereka takut suaminya kepincut pada kecantikan dan kemolekan tubuh Sarina yang memang menarik perhatian kaum pria.
Status janda membuat Sarina lebih mudah menemukan seseorang yang dirasa cocok sebagai pendamping hidup. Sejauh ini, Sarina belum menemukan orang yang tepat. Pikirannya masih bercabang, antara mencari suami sebagai persembahan atau memikirkan rasa rindu pada Aryo dan Marni.
Sementara itu sepeninggal Nyai Una, Wak Ogel masih setia membantu merawat rumah dan kebun Sarina, ia juga sesekali membantu menjaga toko jika Sarina sedang bepergian. Tapi Wak Ogel tak sekalipun merasa senang atau membantu semenjak kehilangan Nyai Una. Bahkan belakangan ini ia sering bermimpi buruk tentang istrinya. Wak Ogel menceritakan semua mimpinya pada Sarina saat mereka menyusun barang dagangan Sarina di suatu pagi.
"Neng, Wak jadi sering kepikiran soal Nyai Una belakangan ini."
"Kenapa Wak?" Sarina menghentikan pekerjaan sejenak dan menatap Wak Ogel.
Ragu-ragu Wak Ogel mulai menceritakan apa yang dialaminya dalam mimpi.
"Uwak sering bermimpi, Nyai Una selalu meminta pertolongan. Ia bilang seluruh tubuhnya terasa panas. Bahkan terkadang Uwak melihat api mengelilinginya, seperti membakar tubuh Nyai Una. Uwak, ...  rasa kematian Nyai Una memang tidak wajar meskipun kita tidak petnah apa tahu penyebab krmatiannya."
Sarina terdiam. Ia terkejut mendengarkan cerita Wak Ogel. Dengan jantung berdegup kencang serta wajah yang mulai terasa hangat rasa khawatir merayapi seluruh relung hatinya. Wak Ogel dan warga kampung pasti akan mencurigai kekayaan yang ia dapat dengan tidak semestinya apabila mimpi itu terus berlanjut dan mengganggu istirahat Wak Ogel.
"Uwak bersabarlah." ucapnya sesaat setelah bisa menguasai keadaan. "Perbanyak doa untuk Nyai Una agar Yang Kuasa mengampuni semua kesalahan Nyai, agar Nyai dijauhkan dari siksa kubur."
Wak Ogel mengangguk. Ia merasa sedikit terhibur oleh ucapan Sarina.

Pesugihan Gunung Larangan (Sudah Terbit) √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang