6. Rumah Baru

2.1K 64 1
                                    

Sarina membawa anak-anak berbelanja kebutuhan warung kelontong ke kota. Perasaannya begitu bahagia bisa membahagiakan anak-anak. Mereka juga terlihat sangat senang karena selama ini Sarina belum pernah membawa mereka keluar kampung meskipun sekedar untuk jalan-jalan. Apalagi selama ini Sarina sibuk mencari nafkah, otomatis mereka menghabiskan waktu bersama neneknya, dan kini dengan Wak Sarpi.
Mengingat emak, Sarina kembali sedih. Tak terbayangkan penyesalan yang harus dirasakan karena telah begitu kejam dengan mengorbankan emak sebagai penebus kekayaannya. Sarina selalu tahu jika itu adalah perbuatan yang tak termaafkan, apalagi saat melihat wajah emak yang hampir selalu melintas setiap saat, seakan menuntut penjelasan darinya, mengapa Sarina begitu tega mengorbankan emak untuk kenikmatan duniawi yang menyesatkan.
Mereka bertiga tiba di rumah saat matahari telah kembali ke peraduannya. Anak-anak langsung tidur kelelahan begitu Sarina selesai memandikan dan menyuapi mereka  makan. Kini Sarina duduk sendirian di ruang tengah sambil memandang belanjaan keperluan dagangannya.
"Seandainya saja aku bisa menyudahi pelayananku sampai disini. Aku tak butuh apa-apa lagi. Semua lebih dari cukup kini." gumamnya.
Namun tiba-tiba Sang Ratu sudah duduk di hadapannya dan memandang lurus ke arah bola mata Sarina. Ia terkejut.
"Kau tak bisa lagi mundur Sarina. Kau tidak bisa menarik janjimu untuk berbakti dan mengabdi kepada kami."
Lidah Sarina tercekat dan terasa kelu.
"Apa yang kami berikan adalah hakmu, tapi kau harus melayani kami dengan segenap hatimu. Dan itu adalah kewajibanmu kepada kami."
Sarina mengangkat wajahnya.
"Tapi Gusti Ratu,... Hamba tak lagi memerlukan harta benda yang lebih banyak. Hamba hanya ingin hidup normal seperti yang lainnya."
Sang Ratu tersenyum.
"Sarina, jika kamu telah berjanji akan mengabdikan diri pada kami, maka kami akan memenuhi janji kami. Tapi apa yang sudah kamu berikan, tak akan bisa engkau tarik kembali. Dan kami tidak mengadakan tawar menawar dengan manusia hina seperti kalian. Perjanjian ini akan mengikat hingga di penghujung hayatmu"
Sang Ratu langsung berdiri dan meninggalkan Sarina yang masih duduk di tempat dengan segenap luka di hati. Ia menangis terisak sendirian merasa tertampar dan tidak memiliki harga diri sama sekali. Saat itulah Sarina mengingat Tuhan dan menyesali apa yang sudah terjadi. Selama ini Sarina sudah jauh dan telah menyimpang terlalu jauh dari jalan dan ketentuan-Nya. Ia terus menangis hingga kelelahan dan tertidur disitu hingga pagi datang mengawali hari.
                       *-*
Waktu terus berlalu. Sudah tujuh bulan berlalu semenjak Sarina mengawali perjanjian terkutuk itu. Dan selama tujuh bulan berlalu, setiap tiga puluh enam hari, Sarina harus melayani Panji Asmoro yang tak pernah absen menagih janji dan meninggalkan harta benda yang banyak setelah memuaskan nafsunya. Sarina semakin terbiasa dengan kehadiran Panji.
Meskipun harta bendanya semakin menumpuk, Sarina tak bisa menikmati dengan leluasa karena beban dosa dan penyesalan. Ia lebih memilih menyimpan semuanya ke dalam peti kayu yang ia sembunyikan tanpa seorangpun yang tahu dan Sarina memilih menyamarkan diri dengan berjualan dan melayani pelanggan kedai kelontong yang ia kelola untuk mencari nafkah.
Tapi hari ini perasaan Sarina berbeda dari biasanya. Badannya terasa letih karena sejak pagi ia merasa mual dan muntah. Ia tahu sesuatu sedang terjadi. Malam harinya ia masuk dan tidur setelah mengemasi dagangan dan menyiapkan anaknya lebih awal. Menjelang tengah malam, Sarina terbangun setelah mendengar suara angin yang begitu kencang disertai petir dan gerimis. Tubuhnya menggigil kedinginan, ia bermaksud mencari selimut ketika samar-samar pintu depan diketuk oleh seseorang. Ia mengernyitkan dahi, ini belum waktunya Panji berkunjung. Ia melangkah ke ruang depan dan segera membuka pintu karena ketukan itu tidak berhenti, Panji Asmoro telah berada disana sambil berdiri membelakangi Sarina, ia menghela napas panjang.
"Masuklah, Kang Panji." serunya melawan deru hujan yang semakin lebat.
Mereka langsung ke kamar dan setelah mengunci pintu, Sarina duduk di tepi ranjang, tak lama setelah Panji membaringkan diri di situ.
"Bukankah ini belum waktunya Kang Panji datang?” keluh Sarina.
"Memang belum waktunya Sarina, tapi aku harus datang dan melihat keadaanmu karena engkau sedang mengandung anakku." jawab Panji.
Sarina diam tertunduk sambil memandangi perutnya yang masih datar. Bagaimana mungkin Panji mengetahui hal itu sementara ia sendiri belum memastikan diri jika sedang hamil. Matanya mulai terasa pedih oleh genagan air di pelupuk matanya.
"Jangan takut Sarina." Panji bangkit dan duduk di depannya, ia menghapus air mata Sarina.
"Dia anakku, dan kau hanya perlu menjaganya. Dialah penerusku kelak hingga tiba saatnya bagiku untuk bisa bersama dengan anakku."
Air mata Sarina makin deras membasahi pipi. Beban hidupnya semakin bertambah kini dengan hadirnya janin dalam kandungannya.
"Aku harus pindah dari sini. Aku tak bisa terus tinggal disini."
Panji membelai rambut Sarina dan mencium helaian rambut yang ada di tangannya.
"Aku tahu, kamu telah mempersiapkan segalanya. Dan aku akan menjagamu dari segala kemungkinan untuk membuatmu merasa nyaman."
Sarina hanya diam. Meskipun ia sudah menyiapkan diri, tetap terasa berat baginya harus mengandung keturunan makhluk halus seperti dia. Air mata Sarina makin deras mengalir dan tak mau berhenti. Ia sudah lelah dan ingin menyerah. Tapi ia mengingat kembali kedua anaknya yang masih kecil. Siapa yang akan mengurus mereka jika Sarina pergi? Sarina tak ingin anaknya jatuh ke dalam lubang gelap tak berdasar sepertinya. Ia ingin anak-anak hidup di jalan yang benar dan tidak mengikuti jejak kelamnya mengabdi pada kegelapan yang tanpa pengampunan.
Dan malam itu Sarina harus tertidur dalam tangis setelah kembali melayani Panji. Tapi apapun itu, Sarina bertekad akan segera meninggalkan kampung itu demi keselamatan anak-anak sekaligus menjaga nama baik keluarganya. Sarina tak ingin warga desa tahu dan kemudian bertindak keji terhadapnya dan anak-anak.

                          *-*

Sarina meninggalkan kampung halamannya tiga hari kemudian. Ia menitipkan rumah beserta seluruh isinya pada Wak Sarpi. Ia bahkan tidak membawa serta seluruh harta pemberian Panji yang ia simpan dalam kotak dimana tak seorangpun akan menemukannya tanpa arahan dari Sarina. Wak Sarpi sempat menanyakan kenapa Sarina harus pergi dan meninggalkan desa itu.
"Wak, suatu saat saya akan kembali. Saya hanya akan pergi agar saya tak selalu mengingat Emak dan kepergiannya yang tiba-tiba." Ia terpaksa harus berbohong
Mata Sarina menerawang jauh  menembus waktu. Ia menyimpan segalanya dari siapapun. Bahkan anak-anak yang sama sekali belum mengerti apa yang dialami ibunya tidak diberi tahu.
"Wak Sarpi, tolong jaga rumah ini. Saya tinggalkan sejumlah uang untuk Uwak, jika kurang, suatu hari nanti akan saya kirimkan kembali. Tolong doakan kami agar selalu sehat dan kita bisa bertemu lagi suatu saat nanti dengan keadaan yang lebih baik."
Tangis keduanya pecah. Mereka menangis sambil berpelukan seolah mereka tak akan pernah bertemu lagi di kemudian hari. Sedih harus meninggalkan rumah tempat ia dibesarkan sementara rumah ini telah menyaksikan jalan hidupnya mulai dari kecil hingga ia menikah, punya anak dan kemudian tersesat tak menemukan jalan pulang. Sebuah rumah yang memiliki banyak kenangan dan menjadi saksi kehidupan Sarina yang terperosok dalam kegelapan.
Setelah mengucapkan kalimat perpisahan, Sarina dan anak-anaknya segera pergi saat bendi yang menjemputnya tiba. Kusir segera mengangkat barang bawaan Sarina dan anak-anak. Perjalanan hari ini menuju rumah Sarina yang baru sungguh panjang dan melelahkan. Kedua anak Sarina tidur di perjalanan dengan pulas, Sarina baru menyadari jika kusir bendi itu adalah Panji Asmoro. Lelaki itu tersenyum sekilas saat melihat ke arahnya.
"Kau bersamaku Sarina, perjalanan ini tak akan membuat kamu dan dua anakmu kelelahan. Kita akan segera tiba." katanya.
Dan dalam sekejap mata, mereka telah sampai di rumah baru Sarina. Hari telah menjelang malam. Rumah itu terlihat terang karena Wak Ogel dan Nyai Una sudah berada disana untuk menyambut kedatangan mereka. Sarina memang merasakan banyak keanehan yang terjadi hari ini. Ia tak merasakan lelah selama perjalanan sementara ia sedang mengandung dan hari berlalu dengan cepat. Sementara itu Panji juga mengetahui ke mana ia harus pergi meskipun Sarina tidak pernah mengatakannya.
Begitu turun, Panji bahkan membantunya menurunkan semua barang dan membawanya ke kamar. Sarina langsung menidurkan anak-anak di ranjang dan membersihkan badan. Sementara Wak Ogel terlihat bercakap-cakap di ruang tamu dengan Panji dan Nyai Una sedang menyiapkan makanan di dapur.
"Suamimu sangat baik Neng, ia juga tampan." sapanya sambil mengaduk teh. Ia tersenyum ke arah Sarina.
Oo ..., jadi Panji mengaku sebagai suaminya. Baguslah, Sarina tidak perlu mencari-cari alasan untuk mengelabui warga atas kehamilannya saat sudah terlihat kelak.

Pesugihan Gunung Larangan (Sudah Terbit) √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang