Chapter XVIII

5.9K 433 248
                                        

Rintik-rintik hujan mulai terdengar di malam ini. 

Untunglah, karena suara hujan mampu membuatku tenang.

Tenang dalam mengerjakan tiga pekerjaan rumah sekaligus. Iya, tiga PR dari beda tiga guru yang bereda. 

Sebenarnya, ada lima pekerjaan rumah yang harus kami kerjakan, tapi syukurlah dua dari PR tersebut sudah dikerjakan di rumah Ali tadi. 

Kami tadinya berniat mengerjakan semua bersama-sama, tetapi aku sudah berjanji kepada mama untuk pulang tidak terlalu sore. Jadi ya, sisanya harus aku kerjakan sendiri di rumah.

Aku tahu kalau ini masih hari Sabtu. Harusnya masih bisa dikerjakan besok-besok lagi, tapi kebetulan, besok Papa dan Mama mengajakku mengunjungi rumah saudara. Aku tidak mau waktu luangku habis dengan semua PR ini, makanya aku lebih memilih untuk menyicil sedikit demi sedikit.

Diriku sendiri bahkan tak yakin kalau semua tiga PR ini bisa sekaligus selesai malam ini. Kedua mataku sudah cukup lelah membaca tulisan-tulisan dan juga angka-angka ini.

Setelah beberapa menit, akhirnya aku memutuskan untuk tutup buku dan merapihkan meja belajarku.

Kakiku secara otomatis berjalan ke arah kasurku.

Tubuhku kulemparkan ke atas kasur. Ah, sungguh indah rasanya bisa kembali memeluk rasa empuk ini, tidak sabar untuk memejamkan mata, dan masuk ke alam mimpi.

Aku membalikkan badan dan menghadap ke langit-langit. Mengingat kembali apa saja hal yang terjadi hari ini. 

Tatapan kedua mata Ali kembali muncul di pikiranku. Seketika suhu ruangan terasa naik beberapa derajat.

"Sebenarnya dia tadi mau apa sih?" Aku bergumam dengan diri sendiri. Berusaha untuk kembali tenang. 

Aku menghela nafas dan menutup kedua wajahku. Berharap perasaan ini bisa menghilang begitu saja. Aku jadi teringat sesuatu. 

Kedua mataku langsung melihat ke arah ujung meja belajar, tertuju pada sebuah kotak kecil berwarna ungu, dengan sedikit gradasi biru tua dan memiliki lambang bulan di atasnya. 

Kotak itu, tadi sore sebelum aku pulang, Ali memberikannya kepadaku.

"Sayang sekali kau harus pulang secepat ini, pekerjaan rumahnya masih cukup banyak lho," kata Ali, sedikit tertawa sambil mengikutiku berjalan menuju pintu keluar. 

"Memangnya kenapa? Aku juga bisa mengerjakan semua ini sendiri di rumah." Aku menjawab singkat, sedikit mempercepat langkah. 

"Yaa, siapa tahu aku bisa membantu." Ali menjawab beberapa langkah di belakangku.

"Tidak, terima kasih. Tadi kau sudah cukup membantu, Ali."

"Kau yakin?" 

Kami sudah hampir sampai di depan gerbang. Aku berbalik untuk pamit dengan posisi yang benar ke Ali.

"Oke, Teri-"

Jedug.


Dahiku dan dahi Ali berbenturan, aku tidak tahu kalau dia masih berjalan di belakangku.

"Aduh! Kalau jalan lihat-lihat, Ali!" Dahiku masih terasa sedikit sakit. Padahal kemarin sudah terbentur jendela ruang tamu. Semoga saja tidak berbekas kali ini.

"Aku tidak tahu kalau kau akan berhenti, Raib. Bukan salahku juga."

Aku hanya sedikit mendengus. "Terserahlah."

Bulan dan BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang