2.0

35 5 1
                                    

"Taeyong-ssi tolong lepaskan. Ini sakit!"

Taeyong tidak memedulikanmu dan terus berjalan. Tanganmu memerah saking kerasnya cengkraman Taeyong.

Taeyong berhenti di ruang keluarga dan mendudukkanmu di sofa.

Atau mungkin ruang keluarga yang tidak pernah kalian pakai karena terlalu sibuk dengan urusan kalian masing masing.

Taeyong menyeret kursi dari dapur dan menaruhnya di hadapanmu. Ia lalu duduk disitu, masih menatapmu tajam.

Kamu mengusap bekas cengkraman Taeyong sambil sedikit merintih. Rasanya sakit sekali.

"Tatap mataku." pintanya tiba tiba. Kamu menatapnya mengikuti perintahnya.

"Jawab aku. Kenapa kau selalu minum obat tidur?"

Kamu merasa aneh dengan kata ‘selalu’ yang Taeyong gunakan. Apa ia selalu melihatmu meminum obat tidur?

"Aku mengalami insomnia."

"Itu dosis yang banyak. Kau bisa mati overdosis!" bentaknya. Kamu membuang muka, menolak bertatapan mata dengannya.

"Lalu kalau aku mati kenapa? Apa itu urusanmu?"

Taeyong tampak marah dengan jawabanmu, "tentu saja urusanku! Kau itu istriku!"

Kamu tertawa geli, "istri? Sejak kapan kau menganggapku istrimu?"

Taeyong diam. Ia tidak tahu harus menjawab apa.

"Sekarang giliranku bertanya. Taeyong-ssi, sejak kapan kau melihatku meminum obat tidur?"

"Setiap malam sejak kau meminum obat sialan itu."

×××

Setiap malam.

Setiap malam ia melihatmu meminum obat tidur dari celah pintu yang kamu biarkan terbuka.

Setiap malam ia mendengar semua keluh kesahmu.

Setiap malam pula ia merasa bersalah atas semua yang ia lakukan padamu.

Sebelumnya Taeyong berpikir bahwa itu bukan urusannya dan memilih untuk membiarkannya.

Namun malam ini berbeda. Ada sesuatu dari dalam hatinya yang memaksanya untuk menghentikanmu.

Yang memaksanya untuk menerobos kamarmu dan menahan tanganmu.

Yang memaksanya untuk menyeretmu dan membicarakan semuanya denganmu.

Entahlah, seperti ada sesuatu yang memaksanya untuk berubah.

Memaksanya untuk menjadi pribadi yang lebih lunak padamu.

×××

"Setiap malam?" tanyamu tidak percaya.

Taeyong menyesal. Menyadari betapa pengecutnya dirinya karena tidak menghentikanmu sejak dulu.

"Huft... Bisakah kau berhenti meminum obat itu? Aku tidak suka."

"Apa kau mengaturku?"

"Ya. Aku suamimu. Dan aku berhak atas itu."

"Kalau begitu kembali ke pertanyaan ku tadi. Sejak kapan kau mengakui hubungan kita sebagai suami istri?"

Sejak ia sadar betapa berharganya dirimu. Itu jawabannya namun lidahnya tidak mampu mengucapkannya.

"Pergilah tidur. Ini sudah larut malam." ujarnya singkat lalu meninggalkanmu.

"Taeyong-ssi jawab pertanyaan ku dulu!"

Taeyong tidak mendengarkanmu. Ia terus menaiki tangga menuju kamarnya.

Kamu menunduk. Mulai menangis, mengasihani dirimu karena terjebak dalam masalah rumit seperti ini.

Sial, sebenarnya apa hubungan yang kami jalani?

×××

Pagi ini seperti biasanya kamu menyiapkan sarapan. Namun beberapa aktivitasmu terhambat karena rasa sakit di tanganmu akibat perbuatan Taeyong kemarin malam.

Sambil memotong sayuran pikiranmu menerawang kejadian kemarin.

Setelah di ingat-ingat kemarin adalah percakapan terpanjang kalian. Kamu tersenyum. Sedikit bangga akan hal itu.

Suara gaduh terdengar dari atas meski terasa lebih awal dari biasanya.

"Akh!" jarimu telunjuk kirimu terpotong. Banyak darah mengucur. Kamu berusaha tetap tenang dan membasuh tanganmu.

Kamu terlalu fokus dengan lukamu sampai tidak mendengar suara langkah kaki yang mendekat.

"Setelah dibersihkan pasang plester..."

Kamu berbalik hendak mengambil kotak P3K. Saat kamu memutar tubuhmu Taeyong sudah berdiri di belakangmu, terpaku menatap jemarimu yang terus mengucurkan darah.

Wajahnya tampak kelelahan. Bukan seperti wajah orang yang baru bangun tidur. Tapi lebih seperti orang yang tidak tidur semalaman. Stress, mungkin.

Tanpa banyak bicara Taeyong menarikmu seperti kemarin dan membawamu ke sofa ruang keluarga.

Cengkeramannya pada tanganmu tidak sekeras kemarin malam.

"Diam di situ." ujarnya singkat. Ia lalu pergi ke ruang kerjanya dan kembali dengan kotak P3K di tangannya.

"Ayo, berikan tanganmu." pintanya.

Kamu memberikan tanganmu perlahan. Ia lalu membersihkannya lalu mengobatinya.

Kamu tertegun, ini perhatian pertama yang ia berikan.

"Sudah. Kau harus lebih berhati hati lain kali."

Kamu mengangguk. Taeyong membereskan peralatannya dan beranjak hendak pergi. Taeyong tidak sengaja melihat tanganmu yang memerah akibat perbuatannya kemarin.

"Apa itu karena aku?" tanyanya sambil menunjuk tanganmu.

"Iya? Tapi tidak masalah. Terimakasih atas perhatianmu."

Kamu ikut berdiri dan Taeyong meraih ujung kausmu. Ia menahanmu lagi.

"Apa masih sakit?" lirihnya.

Kamu menggeleng tanpa menoleh sedikitpun. Taeyong melangkah mendekatimu. Tiba tiba ia memelukmu dari belakang.

"Maaf... Aku memang bodoh ya?"

Stranger × TaeyongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang