17. Aku mencintaimu, dan akan selalu begitu

24 2 0
                                    

Lily masih terduduk lemas menghadap jendela yang ia buka saat ia mulai tenang. Kamar yang selalu rapi dan bernuansa klasik itupun sekarang sudah berubah layaknya kapal pecah.

Cat air, pensil warna, pecahan guci, potongan penyangga kanvas, serta barang-barang yang lainnya berserakan dimana-mana.

Itulah Lily, dia takkan kenal siapapun, barang semahal apapun jika dia sedang dilanda amarah dan kesedihan yang meluap-luap. Dia tak peduli betapa sulitnya melukis 1 lukisan indah, yang lumayan jika di jual. Bahkan juga dia tak perduli, ratusan koleksi novel setengah jumlahnya hancur berserakkan dimana-mana.

Inilah yang di takutkan Erna, ibunya Lily. Ia tahu sifat anak perempuannya yang tempramental dan possesive. Ia akan merusak segalanya yang berada tepat di dekatnya.

Hening, sunyi dan gelap. Suasana di kamar yang sebelumnya terlihat selalu indah saat ini.

Waktu menunjukkan pukul 02.25 WIB. Dan Lily belum juga memejamkan matanya. Ia hanya melamun menatap gelapnya langit malam.

Mata yang selalu membuat orang tenang jika menatapnya, kini berubah menjadi merah dan bengkak karena menangis.

Tapi, baiknya, Lily selalu menyesal dengan apa yang dia lakukan. Saat dia sadar dan sudah tenang, dia menatap sekitar, begitu berantakkannya kamar klasiknya itu.

Dia perlahan membereskan semuanya. Mengambil serpihan kayu penyangga, beling guci, dan sobekan-sobekan novel miliknya. Dan tak lupa, sprei putih indanya itu, dia lepas dari kasur. Karena sudah di penuhi banyak warna.

Hingga akhirnya semua beres, terlihat rapi kembali, walau tak seindah sebelumnya. Ini untuk kali pertama dia mengamuk setelah sekian lamanya.

Pelupuk matanya terlihat sedikit menghitam karena ia sama sekali tak memejamkan mata untuk sejenak. Sukses malam ini dia terjaga tanpa tidur sedetikpun.

.......

"Nak?"

Tanpa melihat wajahnya pun, Lily tahu, itu pasti ibunya.

Lily tak menjawab sama sekali ucapan ibunya yang penuh kekhawatiran. Yang ia lakukan kini hanya memakan sarapan nasi goreng yang bi Nur siapkan.

"Mau kemana kamu jam segini udah rapi?" Tanya Zayn lembut, dengan nada pelan. Karena dia tahu, adiknya sedang dalam keadaan tidak baik.

"Sekolah." Jawab Lily singkat.

"Baru jam setengah 6 sayang," seru Erna.

Lily kembali diam, dia fokus menghabiskan sarapan paginya.

"Kakak antar ya?" Ucap Zayn saat melihat Lily berdiri dari duduknya.

"Gak usah."

"Kakak gak mau kamu bawa motor atau mobil sendiri. Kakak antar saja," saat Zayn hendak berdiri, Lily menatap mata Zayn yang sebelumnya ia enggan menatap siapapun.

"Aku naik taksi aja." Jawab Lily lalu menatap wajah Zayn.

Zayn terbelalak saat melihat raut wajah Lily serta mata yang terlihat merah.

"Ly," lirih Zayn menarik Lily ke dalam pelukkannya.

"Maafin kakak, sama ibu sayang. Ini demi kebaikkan kamu, biar kamu tetep fokus ke pelajaran dan tetap tenang." Lanjut Zayn.

Tanpa Zayn sadari air mata mengalir melewati pipinya.

Bahkan Erna pun hanya melihat anak-anaknya sambil menangis.

Lily melepas pelukkan dari kakaknya itu, lalu tanpa pamit, ia pergi meninggalkan ibu dan kakaknya yang mematung disana.

Dia sekarang sedang tak ingin berbicara dengan siapapun.

Pertemuan Di Ujung Senja Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang