"RA, sudah punya rencana mau lanjut di mana?" tanya Hari.
Zara menelan nasi gorengnya, kemudian menggeleng. "Belum Pa, masih burem. Belum ada pandangan."
Menuangkan air putih di gelasnya, Ita, Mama Zara menimpali, "Sudah kelas dua belas, Ra. Yang kepake cuma semester ini doang loh."
"Iya Ma. Tenang aja," ucap Zara.
"Les kamu gimana, Ra?" tanya Hari lagi.
"Alhamdulillah, Pa. Lancar," jawab Zara.
"Kata Masmu, itu temennya dulu pas SMA?" tanya Mamanya.
Zara menengok sepenuhnya, "Mas tau kalau Pak Abiandra itu temen lamanya, Ma?"
Ita mengangguk, "Iya. Tiba-tiba Mas kamu deket lagi sama gurumu itu katanya. Emang kamu ditanya-tanyain gitu ya?"
Zara gelagapan, "Enggak Ma. Biasa aja."
"Katanya belom nikah ya gurumu itu?" tanya Ita.
Zara menggeleng, "Nggak tau, Ma. Zara sekolah. Bukan sensus."
Hari tertawa, "Mas kamu aja udah nikah, masa temennya belum menikah. Bujang lapuk nanti dia."
Ita berdecak, "Jangan gitu, Pa! Nanti jadi mantumu bau tau rasa!"
Uhug.
Zara cuma bisa pura-pura pasang muka datar sedatar-datarnya. Pengen banget bilang, Ya Allah Pa. Yang papa bilang bujang lapuk tuh suka sama anak papa loh.
"Papa sih nggak papa, Ma. Kan kalau Zara dapet yang lebih tua justru bisa mengayomi. Bisa memperlakukan Zara seperti ratu juga. Kan Ra?" tanya Hari, membuat Zara manyun.
"Papa apaan sih! Zara kan masih muda, masih belom mikirin nikah," jawab Zara.
Hari meneguk air putih, "Loh Ra. Papa kan nggak bilang kalau menikah Ra. Siapa tau aja cocok," ucap Hari membuat Zara semakin kesal.
"Paaa..."
"Udah, udah. Nanti aja mikirin pacarannya. Yang penting kamu sehat, belajar yang rajin, Ra," petuah Ita.
"Iya Ma, iya.."
*
"Ma, ganti dong Ma. Apa banget sih acara kayak gitu juga ditonton. Paling juga cari sensasi aja," ucap Zara kepada Ita yang sibuk melihat televisi.
"Kamu ini, dateng-dateng nyuruh Mama ganti. Ya nggak mau!" bantah Ita.
"Ya Allah Ma. Jangan percaya sama kaya gitu, Ma.." rengek Zara.
"Kan cuma buat hiburan, Ra. Kamu mau liat apa sih?" tanya Ita sebal.
Zara mendengus sebal, enggan menjawab lagi mamanya. Berdebat dengan mamanya mengenai urusan televisi adalah hal yang paling sia-sia dia lakukan. Sudah dipastikan dia dapat remote kalau Ita sudah terlelap nanti.
Tiba-tiba, ponsel Zara menyala. Pertanda ada chat masuk. Dengan semangat, Zara membuka chat tersebut karena sudah lama dia menunggu chat dari Pak Abiandra. Sudah hari kelima semenjak mereka berpisah dan Zara belum pernah berkomunikasi lagi dengan Pak Abiandra.
Kangenmu sampah, Pak. Lain dimulut lain dihati.
Pak Abiandra: Assalamualaikum
Zara: waalaikumsalam pak
Pak Abiandra: Subhanallah, adem
Pak Abiandra: chat sama kamu di kamar berasa kaya di masjid, adem
KAMU SEDANG MEMBACA
Adiksi
General Fiction"Kayaknya saya percuma deh jadi guru Matematka." "Loh, kenapa gitu, Pak?" "Percuma saya pinter grafik eksponensial kalau ga bisa jadi imam yang potensial buat kamu." - - - 8 Juni 2018