Delapan

2.2K 333 35
                                    

Hanya rasa hangat yang Bianca rasakan, hangat yang nyaman dan ini sangat berbeda dari hangat yang biasa ia rasakan. Penghangat ruangangan di kamarnya memang hangat, tapi hangat yang ini lebih dekat.

Selimut di tempat tidurnya tentu selalu memberinya kehangatan dan kenyamanan, tapi ini lebih nyaman dari biasa.

Dia suka hangat, sinar matahari, dan dia sangat benci sebaliknya, salju, putih pucat dan dingin, dia tidak ingin kembali pada rasa dingin yang menyiksanya, dia ingin disini, selalu disini, didalam ruang sempit yang hangat.

'Tidak ini bukan ruang, tapi ini sesuatu' batinnya. 'Ya, sesuatu yang hangat. Ya Tuhan, ini sangat nyaman.' Dia mengisi paru-parunya dengan oksigen hangat, hingga membuatnya semakin merasa nyaman.

Tangannya menyentuh kehangatan yang memeluknya seiring dengan hembusan napasnya. 'Sesuatu yang liat dan keras' pikirnya dengan terus menelusuri kehangatan itu dengan jemarinya.

Perlahan matanya terbuka untuk melihat kehangatan yang ia sentuh itu, dan dia melihat tangannya di atas pinggang ramping sewarna tembaga yang indah, tak sedikitpun lemak tumbuh disana, yang terdapat hanyalah garis otot yang indah dan terbentuk sempurna.

'Siapa dia?' pikiran itu memutar memorinya pada kejadian beberapa jam kebelakang.

Yang pertama dia ingat adalah didalam tenda di perkemahannya dekat sungai Fatala. Yang kemudian suara gemuruh membuatnya terbangun. Saat menyadari bahaya, dia pun keluar tenda dan air yang tinggi tiba-tiba saja menerjangnya dari arah hulu sungai.

Masih ingat dalam memorinya saat air bah itu menghanyutkannya bersama bagian pohon tumbang sebesar perut domba. Dia memeluk pohon itu, hingga air tidak menenggelamkannya hanya menghanyutkan dia bersama potongan pohon itu.

Air berusaha menghempaskan tubuhnya pada batu-batu besar yang ia temui di sepanjang sungai. Namun, dengan tetap memeluk potongan pohon yang hanyut itu ia berusaha menghindarinya menggunakan kaki, bahkan telapak kakinya terasa sakit dan mungkin terluka saat ia berusaha menghindari batu dengan sisi-sisi tajam yang siap mengenai tubuhnya.

Dia terombang ambing dan terus hanyut selama beberapa jam, hingga akhirnya menemukan sebuah jembatan. Dia tahu kalau jembatan itu pertolongan dari Tuhan, dan saat menggapainya dia tahu kalau Tuhan masih memberinya kesempatan untuk hidup dan masih memberinya masa depan.

Dia berusaha untuk menaiki jembatan itu. Namun kakinya yang sakit terasa lemas dan sepertinya dia kehabisan tenaga, hingga yang bisa ia lakukan hanya mengikat pakaiannya pada sisi jembatan dan berharap ada orang yang menemukannya.

Berjam-jam dia didalam air di dekat jembatan hingga air dan suhu malam yang dingin membuat dia hipotermia. Dalam hati dia berdoa, supaya Tuhan mendatangkan malaikat penolong untuknya. Hingga akhirnya, kira-kira dua jam kemudian, muncullah silut tinggi besar menghampirinya.

Dia tidak peduli itu hantu atau malaikat, dia pun meminta tolong dan sosok itu mengatakan kalau dia akan menolongnya dengan mengangkat tubuhnya dari air.

Dia merasakan tubuhnya yang dingin dan basah diangkat kedalam gendongannya. Pria itu bertelanjang dada, otaknya menyimpulkan saat wajahnya menempel pada sumber kehangatan yang ia butuhkan. Ia menghirup aroma tubuh penolongnya itu, aromanya seperti kopi yang ramah sama seperti yang ia cium saat ini.

'Dia pasti orang baik dengan tidak mengambil kesempatan untuk berbuat tidak senonoh.' Pikirnya, mengingat sikap pria itu saat membuka pakaian bawahnya lalu dengan segera menggulung tubuhnya menggunakan selimut.

Walau dia bukan wanita berpengalaman, tapi dia sangat tahu kalau pria itu mengagumi keindahan tubuhnya saat melihat dia hanya memakai pakaian dalam saja.

The Owner'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang