Lima belas

1.6K 280 21
                                    

Disini saya mengngakat tema cerita dengan latar budaya Barat. Jadi jalan cerita dan pemikiran para tokoh dalam cerita ini disesuaikan dengan cara berpikir orang-orang barat.

Sementara kita, sebagai orang timur, sangat tidak dianjurkan untuk memiliki pemikiran seperti mereka.

Selamat membaca....

Gerard sudah bangun padahal hari masih gelap, tidurnya tak nyenyak bahkan lebih tak nyenyak dari biasanya. Bukan hanya mimpi - mimpi yang selalu menghantuinya yang membuat dia harus dua kali minum aspirin semalam, tapi bayangan wajah kecewa dan terluka yang ditunjukan Bianca pun ikut serta mengganggu tidurnya.

Dia bangkit dengan enggan dari sofa tempat ia tidur atau tepatnya berbaring semalam. Dan ingatannya akan kekecewaan Bianca membuat ia berjalan untuk melihatnya dikamar.

Bianca masih dalam gulungan selimutnya, dia tampak masih tidur dengan nyenyak, terlihat alur garam dari bekas air mata di pipinya.

Rasa bersalah karena telah menggantikan senyum di wajah gadis itu dengan kekecewaan, menganggu perasaan Gerard.

Egois, itulah yang tersirat di sudut hati terdalamnya, saat memikirkan kenyataan kalau semalam dia sudah melukai perasaan Bianca untuk menjaga perasaannya sendiri. Dia harus meminta maaf dan berusaha untuk kembali mengukirkan senyum di wajah cantik itu, pikirnya.

Dengan perlahan dia kembali menutup pintu kamarnya, lalu berjalan menuju dapur.

Tiga puluh menit kemudian dia kembali membuka satu-satunya kamar tidur yang ada di pondoknya itu,  dengan senampan sarapan di tangannya.

Bianca sudah terduduk dengan rambut kusut di atas tempat tidur saat Gerard masuk, mungkin dia sudah terbangun beberapa menit sebelumnya.

"Aku pikir kau ingin sarapan di tempat tidur, dengan tak kunjung keluar dari kamar." Kata Gerard dengan senyum yang selalu berhasil membuat wanita terpesona tak terkecuali dengan Bianca, walau saat ini dia masih marah pada pria itu.

Demi sisa harga dirinya yang hancur semalam, tentu saja Bianca tak mau membalas senyum pria itu, bahkan untuk sekedar membalas sapaannya.

"Silakan Tuan putri. Semoga kau suka menu sarapan yang special aku buatkan untukmu pagi ini." Lanjut Gerard saat meletakan nampan sarapan di pangkuan Bianca.

"Aku tidak lapar." Jawab Bianca ketus. Namun, beberapa detik kemudian pipinya harus bersemu malu, karena bunyi perut kecilnya mengkhianati.

"Tapi, sepetinya perut kecilmu berkata sebaliknya," balas Gerard, senyumnya semakin lebar. Dan harus Bianca akui ketampanan pria itu berlipat kala sedang tersenyum seperti ini.

"Makanlah, atau mau aku suapi?" Lanjut Gerard.

"Pagi ini kau bersikap layaknya bayi yang tak berdosa, Gerard."sindir Bianca mengabaikan pertanyaan Gerard.

"Baiklah, aku... aku minta maaf Bianca. Karena sudah menolakmu semalam."

"Aku tidak akan memaafkanmu sebelum kau memberiku alasan kenapa kau menolakku semalam, padahal sangat jelas kalau tubuhmu menginginkannya."

"Hal itu tak mudah untukku, Bia."

"Ini hanya sex, Gerard. Bukankah semua pasangan yang saling menginginkan bisa melakukannya?"

"Mungkin, tapi tidak dengan aku."

"Lantas kenapa dengan dirimu?"

Gerard terdiam sejenak, tatapannya meneliti wajah Bianca. Wajah dengan tatapan yang selalu menunjukan kekaguman terhadap dirinya, dan sesungguhnya dia tak ingin tatapan itu berubah menjadi tatapan jijik, atau iba sekali pun, tapi ketidak berdayaannya menghadapi godaan gadis itu merupakan kesalahan besar yang harus ia tanggung akibatnya. Seharusnya, dia tidak memberikan celah sedikit pun pada gadis itu untuk menggodanya, seperti yang selalu ia lakukan pada gadis-gadis lain sebelumnya.

The Owner'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang