5.

6.9K 428 0
                                    

Setelah puas menertawakan Dani, yang membuat Dani mengumpat berulang kali, kami masuk kembali ke dalam rumah.

Yang lain melangkah ke ruang tengah, sedangkan aku berhenti di dapur, membantu Mbok Yah cuci piring dan beberes yang lainnya. Pukul setengah delapan malam, kerjaan kita telah beres. Mbok Yah sudah dijemput anaknya yang menunggu di depan toko. Sementara aku juga bersiap pulang setelah membereskan bawaanku, yang cuma tas selempang dan boks besar yang tadi pagi kubawa.

"Mbok duluan, Rin, udah ditunggu sama anak," pamit Mbok Yah sambil berlalu pergi, setelah sebelumnya pamit sama Bu Retno.

"Iya hati-hati, Mbok"

Kulihat Bu Retno sedang jalan ke arahku. Aku pun bersiap untuk pamit.

"Rin, makasih banyak, ya, udah bantu di sini," kata Bu Retno saat telah sampai di depanku.

"Oh ya, ini uang snacknya, sekalian bonusnya buat kamu," katanya lagi sambil tangannya nyodorin amplop kecil.

"Terima kasih, Buk," jawabku saat menerima amplop yang diberi Bu Retno, "Jangan lupa ya, Buk, besok-besok pesen ke saya lagi, hehe."

"Iya, tenang aja, ntar kerabat sama kenalan, Bu'e rekomenin ke kamu juga."

"Wah seneng saya, Buk," candaku.

"Ya udah, saya pamit dulu, Buk, sekali lagi terima kasih," aku menyalami Bu Retno sebelum keluar.

"Hati-hati, ya, kamu pulang biar dianter Dani aja, udah malem soalnya," jawab Bu Retno sebelum kembali ke ruang tengah karena ada yang memanggilnya.

Aku berjalan ke gerbang, kupikir mending nunggu Dani di luar saja daripada di dalam. Tak lama kemudian Dani datang dengan motornya, tanpa banyak bicara kami langsung jalan.

Ya, meskipun tadi sempat saling meledek yang membuat Dani agak kesal, tapi kami kembali seperti biasa, karena kami sama-sama tahu, yang tadi itu murni becandaan saja, nggak serius sama sekali, jadi nggak perlu dimasukkan hati.

Dani mengantarku sampai depan rumahku. Aku turun dari motor, "Mampir dulu, nggak?" aku berbasa-basi. Basa-basi doang, nggak berniat menyuruh dia mampir betulan. Bisa dicincang Ibuk kalau Dani betulan mampir.

"Thanks deh, kapan-kapan aja," jawab Dani acuh. Tangannya merogoh sesuatu di saku jaketnya.

"Nih, ada pesenan lagi, 100 boks, soal varian isinya mau apa aja, udah dicatet di situ, sama ini buat dp," kata Dani saat nyodorin selembar kertas dan sejumlah uang.

Ini yang membuatku nggak bisa terlalu marah dengan Dani, ya, karena dia salah satu sumber uangku.

Dani itu 'kan anak kampus, yang mana kalau di kampus itu sering kali ada acara dari berbagai jurusan, nah tiap bulan pasti ada saja yang bikin acara. Dan entah bagaimana ceritanya, Dani bisa melobi ke panitia acara agar pesan snack padanya yang kemudian diteruskan padaku. Begitulah sudah setahun belakangan, sejak aku bekerja di pabrik, aku sering menerima orderan untuk acara di kampus Dani. Baik itu snack box maupun nasi boks.

Bahkan, kadang ada orderan untuk acara pribadi teman atau dosennya Dani, yang tentunya tidak kutolak.

Itu sebabnya, walau mulut Dani suka menyebalkan, namun aku lebih sering pasrah saja daripada mendebat, yang penting orderan dari Dani mengalir terus.

"Siplah, sering-sering aja nyenengin gue," sambutku senang menerima kertas dan uang dari Dani, sedangkan Dani hanya mendengus, "Btw, ini buat kapan?" tanyaku.

"Buat senin, nggak usah dianterin, biar gue ambil ke sini aja," jawab Dani, sembari menyalakan motornya, "Dah, gue duluan," lanjutnya sambil berlalu.

Second LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang