25.

4.8K 326 8
                                    

Hari ini merupakan hari pernikahan kami. Banyak keluarga yang sudah datang. Bahkan Pakde dan Bude sudah datang dari kemarin. Karena mereka tinggal di kota sebelah, Magelang. Sedang anak-anaknya, Mbak Vira dan Mbak Lusy datang tadi pagi bersama suami dan anaknya.

Keluargaku tidak terlalu besar, ibuku anak kedua dari tiga bersaudara yang semuanya perempuan. Sedang Bapak hanyalah anak tunggal.

Dan karena Pakde orang Magelang, maka Bude pun ikut tinggal di sana. Otomatis kita jarang bertemu. Begitupun dengan Bulek, dia ikut suaminya yang meski masih satu kota, tapi sudah di ujung perbatasan. Sedangkan rumah kami berada di daerah tengah kota.

Meski acara belum dimulai, tapi rumahku sudah ramai oleh sepupu Ibuk dan Bapak. Kebanyakan dari mereka datang sambil misuh-misuh, mereka merasa tak dianggap karena kami baru mengabari dua hari yang lalu. Itu pun setelah urusan dengan KUA beres, baru kami berani mengabari mereka.

Ibuk dari tadi sibuk menerima tamunya dan sibuk menjelaskan juga soal pernikahan dadakan ini. Dan aku bersyukur, karena setidaknya Ibuk sudah tidak perlu kepikiran omongan orang tentangku lagi.

Beberapa hari yang lalu setelah kami mengajukan izin nikah ke RT, RW dan Kelurahan, para tetangga yang julid kembali menyerang kami.

"Arin kok nikahnya buru-buru amat ya, Bu Maya? Nggak kenapa-napa, kan?" tanya seorang ibu pada Ibuk dengan nada sok perhatian.

Ibuk yang tahu maksud dari pertanyaanya hanya mengelus dada dan beristighfar.

"Alhamdulillah, Bu, pernikahan ini diadakan karena memang izin dari Allah, bukan karena sesuatu. Ya, mungkin sudah rejekinya Arin dapetnya sekarang, jadi kenapa musti ditolak?" jawab Ibuk bijak.

Sebelum terjadi perbincangan lebih lanjut, aku segera menyeret ibuk pergi dari sana.

Ya, beginilah janda. Nggak nikah salah, nikah pun masih salah. Menolak laki-laki dibilang sombong, nggak tahu diri. Diterima, dituduh kecentilan. Yo wis lah, trimo ing pandum kalau kata orang Jawa.

***

Di luar, terdengar hiruk pikuk para saudara dan tetangga, aku terduduk di kamarku ditemani Mbak Nisa. Dia yang paling tahu tentang alasan pernikahan ini. Dan juga tentang perasaanku yang tiba-tiba jadi melow, aku nggak siap buat 'ninggalin' Mas Rafi.

Mengenang momen serupa tujuh tahun lalu, membuat mataku berkaca-kaca, saat itu aku merasa sangat bahagia karena telah sah menjadi istri Mas Rafi.

Tapi sekarang, aku merasa sangat jahat karena akan menjadi istri orang lain. Menduakan Mas Rafi.

Air mataku perlahan terjatuh. Tak peduli dengan make-upku yang bisa luntur karena tangisanku. Masih tergambar dengan jelas sosok Mas Rafi saat itu. Wajah tampannya terlihat bahagia dan lega setelah membacakan ijab qabul dengan lancar dalam satu tarikan nafas.

"Sudah, Rin, yang ikhlas, ya? Niat kamu itu baik, meski harus korban perasaan, tapi Mbak yakin, pengorbanan kamu nggak akan sia-sia," Mbak Nisa mencoba membujukku.

Tak lama kemudian pintu kamarku terbuka dan memunculkan ibu dari Mas Rafi yang datang dengan wajah sembab.

Melihat kedatangan Ibu, tangisanku semakin menjadi. Begitu pun dengan Ibu yang sekarang memelukku dengan badan terguncang.

Kami saling berpelukan dan menangis. Meski tak ada satu katapun terucap dari mulut kami, tapi kami mengerti perasaan kami satu sama lain. Kami sama-sama merasakan kerinduan pada satu sosok, Mas Rafi.

Second LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang