20.

5.3K 318 1
                                    

Hari sabtu, harusnya Rina libur kerja. Libur kerja di sekolah memang iya, tapi tidak di rumah. Karena tugas yang banyak membuat Rina sampai lembur berhari-hari. Tetapi, sekarang ini Rina bukannya menyelesaikan tugasnya malah kekeh membantuku membuat pesanan pizza milik temannya.

Seperti diriku yang suka batu, Rina juga begitu, dia kekeh membantuku biar sudah kutolak sekalipun. Katanya untuk pengalihan pikiran biar nggak sumpek lihat tugas siswa melulu. Beginilah, sedari pagi kami sudah sibuk di dapur.

Pukul sebelas kami sudah selesai membuat pesanan dan juga membereskan dapur. Pizza pesanan sudah kusiapkan, tinggal menyerahkan saat nanti teman Rina datang mengambil. Ketika adzan berkumandang, kami bersiap ke masjid bersama orang dari rumah Ibuk.

Teman Rina datang tepat ketika kami baru pulang dari masjid, bahkan kami baru sampai depan pintu. Setelah teman Rina masuk sebentar dan membayar kekurangan kemarin. Aku pun segera menyerahkan dus berisi 50 boks pizza mini. Lalu setelahnya teman Rina pamit pulang.

Selepas kepergian temannya Rina, aku bersiap menjemput Bella menggunakan motor Rina. Aku baru saja naik ke motor yang terparkir di depan rumah saat mobil Ditya yang sudah mulai kukenal memasuki halaman.

Glabelaku mengerut bingung. Ditya ada urusan apa lagi? Kesini melulu perasaan.

Pertanyaanku terjawab saat kulihat Bella duduk di kursi penumpang dan melambai ke arahku.

Ohh... jadi Ditya jemput Bella?

"Mamaahh!" seru Bella dan berlari ke arahku lalu salim padaku.

"Bella kok nggak nunggu Mamah, baru mau dijemput ini. Kan Mamah udah bilang tadi, pulangnya nunggu dijemput Mamah," tegurku namun dengan nada lembut.

"Nggak pa-pa lah, Mah, dijemput sama Papah juga kan sama aja," Ditya menyahuti.

Tunggu, APAA? DITYA MANGGIL AKU MAH?? Aku melototi Ditya yang justru nyengir tanpa dosa.

"Ya udah, Bella masuk cuci tangan sama kaki terus ganti baju," kataku pada Bella.

Bella tak menjawab tapi langsung lari masuk ke dalam. Aku pun mengikuti masuk ke rumah tanpa mengajak Ditya. Tanpa diajak juga orangnya akan ikutan masuk.

Sebelum Ditya sempat duduk aku menarik tangannya. Ditya menoleh dan bertanya lewat matanya.

"Bisa 'kan manggilnya biasa aja, nggak usah aneh-aneh, deh!" todongku dengan berbisik.

Ditya mengerutkan kening sebelum menjawab dengan berbisik pula. "Aku rasa saran Ibuk ada benarnya, Rin, kita mau terlihat harmonis di depan anak dan keluargamu, kan? Ya bisa dimulai dari panggilan kita satu sama lain, jadi mulai sekarang kamu juga biasain panggil aku Papah atau Mas, gitu."

Aku menatap tak percaya pada Ditya, "Nggak perlu segitunya juga kali, harmonis itu bukan diukur dari panggilan sayang?"

Ditya menghela napas pelan. "Tapi nggak etis juga kalau kamu manggil nama doang ke aku, didenger orang juga nggak enak, kan?"

Aku tidak menjawab, masih kekeh dengan pemikiranku, geli banget manggil Ditya Papah atau Mas.

"Oke, seenggaknya kita pakai panggilan sayang cuma di depan anak sama keluarga kamu aja. Di depan yang lain kamu bebas mau manggil aku apa," Ditya frustasi, mungkin karena aku hanya diam saja.

Hmm... bolehlah kalau cuma di depan orang tertentu. "Oke, tapi cuma di depan anak sama ortu kita doang," jawabku setelah berpikir.

Ditya mengangguk pasrah. "Terserah kamu aja. Udah sana, kamu siapin makan siang buat kita," perintahnya.

"Belum sah aja udah nyuruh-nyuruh!" sungutku sambil berlalu.

Ditya mengikuti dan duduk di sofa ruang tengah. "Heh, tamu tuh duduknya di ruang tamu," kataku sarkas dengan tangan sibuk menyiapkan makanan di atas meja.

Second LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang