7.

5.7K 403 0
                                    

Setelah mengirim chat ke pelangganku, aku memasukkan ponsel ke dalam saku celana, kemudian bangkit berdiri untuk kembali ke pabrik, nggak enak juga kalau istirahat kelamaan.

Tapi, baru saja aku hendak berdiri, ponselku kembali berdering, kuraih lagi ponselku dan terlihat di layar ada nama Nita yang sedang memanggil.

"Halo Nit, gimana?" tanyaku langsung.

"Lo di mana, Rin?"

"Gue di taman," jawabku, tak perlu menjelaskan pada Nita tepatnya aku di mana, karena Nita sudah paham betul dengan taman yang kumaksud.

"Ya udah, tungguin, gue mau ke situ," kata Nita sebelum memutuskan panggilan.

Sekitar dua menit kemudian, kulihat Nita datang menghampiriku dengan perutnya yang sudah agak membesar.

"Lo kenapa, Rin?" todong Nita tanpa basa-basi.

"Kenapa emang? Orang nggak kenapa-napa," elakku, Nita tahu betul dengan kebiasaanku tiap datang ke tempat ini.

"Udah, Rin, gue tahu banget elo! Dan gue juga tahu, lo kalau ke sini pasti lagi ada sesuatu, kan?" selidik Nita.

Tuh, kan.

"Dan lo nggak usah ngelak, Rin, muka lo aja keliatan banget kalau abis nangis. Seharian tadi gue lihatin, lo tuh lemes nggak semangat, mata lo juga panda gitu. Lo tuh kalau ada apa-apa cerita ke gue, Rin, siapa tahu gue bisa bantu cari solusi, jangan di pendem sendiri mulu!" cerocos Nita tanpa jeda.

"Nit, gue nggak pa-pa, percaya deh sama gue," jawabku setelah Nita selesai bicara.

" Rin, lo anggep gue apa? Gue selama ini anggep lo tuh lebih dari sekedar sahabat, lo udah kayak keluarga buat gue, sampai gue kalau butuh curhat, ya, ke elo, kalau butuh masukan, ya, minta ke elo. Tapi, kenapa lo nggak bisa gitu juga ke gue? Gue juga pingin dengerin curhatan elo, gue pingin dianggep sahabat juga sama lo, Rin!"

Duh, ibu hamil dengan segala kesensiannya. Dikit-dikit bawaannya mellow.

"Nit, gue juga anggep lo sahabat gue kok, cuma-"

"Kalau lo anggep gue sahabat, ya lo cerita ke gue apa masalah lo," potong Nita, "Itu gunanya sahabat, Rin, kalau dengan cerita kita tetep nggak bisa nemu solusi, seenggaknya perasaan lo jadi lebih lega."

Tumben, Nita ngomong bijak.

Tapi ... ada benarnya juga, aku memang perlu menumpahkan segala unek-unek dalam hati. Kalau dulu selalu ada Mas Rafi sebagai tempat penampungan keluh kesahku, sekarang aku lebih sering memendam sendiri.

Mungkin curhat dengan Nita bisa sedikit meringankan perasaanku yang cukup kacau ini.

"Iya, Nit, tapi nggak sekarang juga, gue masih harus kerja dulu," hampir saja aku lupa, bahwa aku masih dalam jam kerja.

"Udah nggak pa-pa, kalau ada yang tanya, bilang aja lo sama gue," sanggah Nita, yang kemudian duduk di tempat yang tadi kududuki.

Setelah menimbang-nimbang lagi, aku pun mengambil posisi di samping Nita. Dan setelah menghela napas berulang kali, barulah aku mulai cerita tentang apa yang mengganggu pikiranku.

Aku menceritakan tentang Ibuk yang terus memintaku supaya menikah lagi sampai keinginan Bella buat punya Papah lagi.

Aku juga cerita tentang Ibuk yang sempat kecewa berat, gara-gara aku menolak pinangan Mas Roni, padahal Ibuk sudah sreg sama orangnya.

Second LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang