29.

4.9K 343 3
                                    

Setelah peristiwa aku 'ditembak' oleh Ditya tempo hari, yang tidak kutolak tapi juga tidak mengiyakan, Ditya benar-benar menunjukkan keseriusan ucapannya.

Sikapnya kepadaku sangat manis, dia juga sangat memperhatikan segala hal yang kulakukan. Sangat peduli terhadap anak-anak dan sama sekali tidak membedakan antara Bella dengan Diandra.

Dan sekarang dia jauh lebih berani melakukan skinship, meski tidak berlebihan. Kadang aku merasa risih diperlakukan seperti itu, tapi di sisi lain aku merasa sebagai istri yang durhaka. Ditya ini suamiku yang sah secara agama dan negara, bebas saja dia mau memeluk atau menciumku, bahkan yang lebih pun dia berhak meminta dan aku wajib memberi.

Tapi untuk yang terakhir, sepertinya Ditya cukup pengertian. Dia tidak pernah secara gamblang minta 'itu' padaku, mungkin dia tidak mau aku terpaksa melakukannya. Thanks, Dit.

Padahal aku yang notabenenya pernah menikah sebelumnya, sangat paham saat suami menginginkan hal itu, meski tidak diutarakan. Tapi aku juga nggak mau berinisiatif menawarkan diri, JANGAN!!!

Seperti biasa, untuk membela diriku sendiri, aku selalu beralasan-pada diri sendiri pula-selama Ditya nggak minta, maka aku nggak bersalah.

"Mbak, udah siap belum? Dari tadi perasaan nggak siap-siap?" Rina mengetuk pintu kamarku.

Kami memang berencana berwisata ke Dieng. Diandra yang meminta, kata Ditya, terakhir Diandra datang ke Wonosobo ialah saat libur lebaran enam tahun silam, saat itu Diandra masih dua tahun dan masih ada ibunya. Wajar kalau sekarang Diandra minta ke sana-sini selama di sini.

Sejak kepulanganku dari Bandung lima hari lalu. Hampir setiap hari Diandra minta diajak jalan ke daerah wisata di Wonosobo, yang tentu saja didukung Bella dengan penuh semangat. Dan kami hanya bisa pasrah memenuhi kemauan anak-anak.

"Iya, Na. Udah kok ini," seruku.

Aku sebenarnya tidak sedang bersiap-siap seperti pamitku tadi. Aku justru sibuk merenung di kamar. Entahlah, akhir-akhir ini aku jadi sering duduk merenung.

Segera kusambar tasku lalu melangkah keluar kamar. Setelah mengunci pintu, aku menghampiri Ditya yang sudah menunggu di sisi mobil ditemani Bapak, Ibuk dan Mama.

Anak-anak beserta Rina dan Miko sudah lebih dulu masuk mobil.

"Mama beneran nggak mau ikut?" tanyaku memastikan lagi "Bapak apa Ibuk gitu?"

"Nggak, ah, yang muda-muda aja sana, kita mah yang udah tua nunggu di rumah wae," jawab Mama yang diangguki oleh Ibuk dan Bapak.

"Ya udah deh, kita berangkat dulu, ya," aku menyalami mereka bertiga. Begitupun dengan Ditya.

Perjalanan kita cukup ramai, dengan adanya tiga bocil di mobil, selalu ada saja yang dibahas dan dimainkan oleh mereka.

Kami sampai setelah satu jam lebih berkendara, musim liburan seperti ini membuat berbagai destinasi wisata alam Dieng cukup ramai pengunjung. Sehingga jalanan pun cukup padat.

Kami hanya mengunjungi beberapa destinasi, sengaja tidak kami kunjungi semua. Karena 2 hari lagi kami akan kembali ke Bandung. Jadi kami, khususnya aku dan Ditya harus hemat energi untuk perjalanan panjang nanti.

Justru seharusnya saat ini aku perlu istirahat di rumah, karena tubuhku sudah mulai terasa tidak enak. Mungkin karena belakangan ini energiku benar-benar terkuras. Mulai dari menyiapkan pernikahan, pergi ke Bandung mengurus ini-itu, pulang lagi ke Wonosobo, yang mana setelahnya hampir setiap hari pergi wisata bersama anak-anak, hingga hari ini.

Tubuhku lelah dan jiwaku apalagi. Aku merasa seperti istri yang melakukan poliandri. Setiap malam aku masih setia memandangi foto Mas Rafi dengan rasa rindu yang teramat dalam. Bahkan tak jarang aku masih menangis mengenang Mas Rafi. Hanya saja sekarang aku melakukan itu sambil ditemani Ditya di sampingku, lalu setelahnya aku tidur dalam pelukan Ditya. Sungguh ironis.

Aku rasa aku memang jahat, aku merasa jahat pada Mas Rafi, tapi aku juga sadar-meski tak mau mengakui- aku pun jahat pada Ditya. Lebih merasa jahat lagi saat Ditya justru memberikan dada bidangnya untukku dan mengatakan aku boleh memeluknya sambil membanyangkan ia adalah Mas Rafi, yang aku terima.

Aku tahu, memikirkan apalagi mencintai pria selain suami itu dosa, tapi aku selalu beralasan pada diri sendiri, orang yang aku pikirkan dan yang aku cintai itu juga suamiku. Meski orangnya telah pergi.

"Melamun lagi?" suara Ditya mengagetkanku.

Aku hanya menatapnya sebal tanpa menjawab. Ditya mendudukan diri di sebelahku. Saat ini kami sedang berada di kawasan Kawah Sikidang. Aku yang merasa tidak fit hanya menunggui mereka sembari duduk mengawasi di batu besar yang bertebaran di sekitar kawah.

Anak-anak sedang bermain menyewa sepeda ditemani Rina. Sedang aku duduk berdua dengan Ditya.

"Kamu kayaknya nggak semangat banget sih, Yang?" ujar Ditya dengan tangannya memeluk pinggangku.

Demi apapun aku sangat geli di panggil 'sayang' oleh Ditya dan itu sudah berlangsung sedari Ditya memberiku bunga mawar tempo hari. Semakin aku menolak semakin Ditya berkeras, dan di saat aku pasrah malah membuat Ditya semakin menjadi-jadi. Serba salah, kan?

Tarik napas pelas Arin, keluarkan!

"Aku agak nggak enak badan doang kok, kecapekan mungkin," jawabku kalem.

"Perlu periksa nggak?"

"Nggaklah, orang cuma capek doang, nanti malem aku panggil tukang pijit aja," sergahku.

"Nggak perlu, biar aku aja yang mijitin. Ganteng gini aku jago juga loh mijitnya," ujar Ditya sok.

"Dih, nggak usah, mending panggil tukang pijit aja, jelas langsung enakan badannya."

"Loh pijitanku juga enak kok, kalau udah ngerasain juga kamu bakal ketagihan."

Kenapa ucapan Ditya jadi terdengar ambigu, ya?

"Embuhlah," balasku acuh mencoba tak terpengaruh.

Aku berdiri dan menghampiri anak-anak. "Udahan yuk mainnya, Mamah udah capek, nih. Kita pulang, ya?" bujukku yang dijawab dengan 'yaaahhhh' panjang dan serempak dari mereka. Tapi meski begitu mereka menurut juga akhirnya.

***

Kami baru sampai rumah menjelang maghrib, meski saat turun gunung tadi masih pukul setengah 3 sore. Karena kami sempat singgah sebentar di rumah Bu Retno, sekalian membahas kepulangan kami ke Bandung bersama Mas Hendra dan Teh Mirna.

Badanku terasa pegal-pegal semua. Rencananya sehabis maghrib nanti aku mau memanggil tukang pijat.

Sepulangnya dari masjid, anak-anak langsung tidur di kamarnya, mungkin kelelahan. Bahkan mereka nggak sempat makan malam, jadilah makan malam ini hanya ada aku dan Ditya, karena Mama makan dan tidur di rumah Ibuk.

"Dit, kamu yang cuci piring, ya, aku mau keluar bentar," pintaku saat kami telah selesai makan.

"Boleh, kamu mau keluar ke mana emang?" jawab Ditya seraya mengambil air minum.

"Aku mau manggil tukang pijit, tuh rumahnya yang di pojokan."

"Heh! Dibilangin nggak usah manggil tukang pijit, biar aku aja yang mijitin," sahut Ditya sebal.

"Duh, Dit, aku tuh capek beneran, butuh dipijit seluruhnya ini. Kaki, tangan, kepala, punggung. Udah, ya, kamu nyuci piring aku keluar bentar," aku meletakkan piring kotor di wastafel kemudian berjalan menuju pintu.

"Ehh tunggu, nggak usah, Yang. Biar aku aja yang mijitin, kamu minta dipijit semua, kan? Iya aku pijitin sekujur tubuh, ayok!" Ditya mencegahku dan sekarang menyeretku ke kamar.

"Eh nggak usah, kamu nyuci piring aja sana," tolakku panik.

"Udah, itu urusan nanti, udah sana tiduran, ambil posisi yang nyaman," titah Ditya sambil menutup pintu kamar.

Tuh, kan, jadi ambigu lagi. Aku kok jadi takut, ya?

Melihatku yang masih mematung, Ditya lantas mendorongku hingga aku jatuh di ranjang.


______________

Heh, itu Pak Ditya mau ngapain?




Second LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang