15.

5K 350 2
                                    

Sepanjang perjalanan tadi Ditya seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi ditahan lagi. Aku hanya diam pura-pura tidak tahu, hingga kami sampai depan rumahku.

Aku turun dari mobil begitu pun dengan Ditya. Aku sedikit gugup, takut Ibuk lihat aku diantar pulang sama lelaki lagi. Tadi aku sudah minta agar diturunkan di depan gang saja, namun Ditya tetap melajukan mobilnya hingga sampai depan rumah.

Dan kegugupanku semakin bertambah tatkala kulihat Ibuk keluar dari rumah bersama Bella dan memandang kami dengan pandangan menyelidik.

Bella melihat kami dengan tatapan bingung lalu menghampiri kami berdua. Bella sama sekali mengacuhkan aku dan justru bertanya pada Ditya. "Om siapa?"

"Halo, ini Bella, ya?" tanya Ditya balik yang diangguki oleh Bella.

"Jangan panggil Om, Bella, tapi panggil Papah. Oke?" jawab Ditya lembut, yang sukses membuat jantungku seolah berhenti berdetak.

Bella terlihat kaget yang sedetik kemudian melompat kegirangan dan menerima begitu saja uluran tangan Ditya yang hendak menggendongnya.

Aku membelalakkan mata terkejut menatap tak percaya pada Ditya yang sedang tersenyum pada Bella. Ya Tuhan, masalah apa lagi ini?

Dengan takut-takut aku melirik ke arah Ibuk, yang tak kalah terkejutnya denganku. Sedetik kemudian Ibuk melirik ke arahku, dan memberi kode dengan matanya untuk masuk ke rumahnya, bukan rumahku, sebelum masuk ke dalam.

Aku menoleh kearah Ditya. "Maksud kamu apa!?" desisku pelan. Meski rasanya ingin menjambak rambutnya, tapi aku harus bisa menahannya. Kami di tempat umum dan lagi ada Bella yang sedang digendong Ditya.

"Kita disuruh masuk," Ditya tidak menjawab pertanyaanku dan mulai melangkah.

Aku menghela napas pasrah, kutarik lengan Ditya yang sedang menggendong Bella untuk mengikutiku.

Sampai di ruang tamu aku mempersilahkan Ditya duduk, Ditya lantas menurunkan Bella, yang langsung lari mencari Miko.
Ibuk tidak terlihat di ruang tamu, yang justru membuatku takut kalau Ibuk akan memanggil Bapak.

Aku berniat masuk ke ruang tengah, tapi niatku terhenti saat kulihat ibuk keluar dari ruang tengah bersama Bapak, Mbak Nisa dan juga Mas Eza. Hatiku mencelos melihat mereka semua kumpul.

Ini kenapa pada keroyokan gini, sih? Ini lagi Mas Eza, tumbenan amat jam segini udah di rumah.

Mereka langsung mengambil posisi duduk masing-masing, aku yang tidak siap dan ingin menghindar, berjalan mengendap ke arah ruang tengah.

"Mau kemana, Rin?" tanya Ibuk spontan begitu melihatku hendak pergi.

"Ehm anu, Buk ... mau bikin minum," jawabku gugup.

"Nggak usah, lagi dibikinin sama Rina, kamu duduk di sini!" perintah Ibuk tegas, tak boleh dibantah. Anyway, Ibuk gercep juga, ya, ngumpulin orang sekaligus nyuruh Rina?

Dengan enggan aku duduk di kursi kosong samping Ditya. Melihat Ditya tersenyum, membuatku ingin meminjam sepatu berhak lancip milik Rina dan melemparnya tepat ke muka Ditya.

Suasana sidikit tegang. Tapi Ditya malah terlihat santai, berbanding terbalik denganku yang gugup luar biasa.

"Ekhem...," Bapak berdeham sebelum memulai.

"Jadi namanya siapa, Nak?" kini Ibuk yang bertanya, tapi kenapa nadanya terdengar antusias?

Duh, jangan, Buk. Jangan!

"Kenalin Pak, Bu, Mas dan Mbak, saya Ditya Gunawan, saya asalnya dari Bandung," jawab Ditya lugas.

"Oh ... anak Bandung to, jauh, ya? Punya saudara di sini? Lha, terus kenal sama Arin di mana?" Ibuk bertanya sudah seperti tembakan perang, rentet.

Second LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang