Bab 1🍃

861 32 3
                                    

"Cewek panggilan lewat, kasih jalan kasih jalan."

Gisella Maharani berusaha tak mengindahkan suara mengganggu itu. Ia berada disini untuk belajar, bukan membuat masalah. Ia tetap mengatur langkahnya senormal mungkin untuk mencapai pintu kelasnya.

Seperti biasa, setiap ia sampai di sekolahnya-SMA Purnabakti, maka siulan para siswa dan tatapan sinis para siswi akan selalu menyambut kedatangannya.

Dia tidak pernah peduli.

Mereka hanya kerikil kecil yang tak akan mampu melukainya.

"Lo gak panas gitu denger omongan mereka?" Sharena, temannya di bangku depan terlihat menopang dagu sambil menatap kedatangan Gisell, si gadis yang menjadi bulan-bulanan para siswa karena rumor yang terlanjur beredar.

Entah ia harus menyebut Sharena teman atau lawan. Karena Sharena pernah ikut menjelekkannya dibelakang Gisell.

Ia hanya melirik sekilas Sharena tanpa berniat membalas ucapan temannya itu.

Lalu ia memasang earphone dan menghubungkannya ke ponsel. Tangannya yang satu bergerak mengambil sebuah buku dan membuka halaman demi halaman.

Sharena berdecak kesal karena merasa diabaikan.

"Mana mungkin dia bisa panas gara-gara omongan itu, tu cewek panasnya kan kalau..."

Seorang siswa langganan guru BP tiba-tiba saja berceletuk. Ia bahkan sengaja menggantung kalimatnya. Membuat semua yang ada di kelas itu tersenyum meremehkan. Bahkan ada yang terang-terangan tertawa mengejek.

"Tuh lihat hapenya aja baru, hadiah kerja keras semalem ya Sel? Pinjem bentar buat selfie." Entah siapa yang bicara.

"Sel, gimana rasanya kalau lagi panas? Lo pasti selalu dapet pelampiasan kan Sel?" Suara siswa berandal itu lagi.

"Berapa rupiah per malem Sel? Celengan gue cukup nggak buat booking Lo?"

"Ssttt.. kasihan anak orang, jangan dibully terus. Kalau dia nangis, kalian dilaporin ke Omnya." Kali ini suara Sharena. Benar kan, dia sekarang bisa menyimpulkan bahwa gadis itu layak disebut lawan.

Gisell jelas bisa mendengar semuanya, dan ini bukan kali pertama ia mendapatkan sindiran kasar yang membuat harga dirinya terhina.

Dia juga tidak berniat membalas ucapan mereka, itu hanya buang-buang waktu.

Bukankah ia sudah bilang kalau mereka hanya kerikil kecil yang tak akan bisa melukainya?

Dan sampai kapanpun ia tetap tak akan mampu dilukai. Karena ia hidup bukan untuk menerima luka, tapi untuk bahagia.

Meskipun ia sendiri tidak yakin apakah kini ia sudah bahagia, atau malah sebaliknya...

Selamat sore menjelang malam😁
(Di Bali masih pukul 18.25 Wita)

Ini cerita kedua saya, dengan genre yang berbeda namun masih dengan latar sekolah dan anak remaja.

Ceritanya tidak akan panjang, karena membuat cerita panjang kali lebar bukan keahlian saya *hehe

Semoga suka, maaf dengan segala kekurangannya ya..

😍🤗

Love UnconditionallyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang